Wednesday, December 6, 2006

Office Boy, Stereotipe Terhadap Perempuan, dan Kekerasan Fisik





www.layarperak.com coba lihat ke http://layarperak.com/news/tv/2006/index.php?id=1164312649



Oleh:Titiana Adinda


Suka menonton situasi komedi berjudul Office Boy (OB) di RCTI? Kalau begitu Anda cukup mengenal tokoh-tokohnya. Ada karakter Saodah atau biasa dipanggil Mpok Odah (Tika Panggabean), Ismail atau Mail (Daus Separo), Susi (Oline Mendeng), Sayuti (Aditya Padat Karya), Gusti (Bayu Oktara), Hendra (M.Ridwan) , Sascya (Winda Viska) dan Taka (Marlon Renaldy). Lalu apa yang salah dari serial situasi komedi itu?

Tidakkah Anda melihat bagaimana peran Mpok Odah galak dan amat sering meminjam uang?Tak sekalipun ditayangkan Mpok Odah mengembalikan uang tersebut kepada rekannya? Atau peran tokoh Sascya yang digambarkan sebagai sekretaris perempuan yang kegiatan yang digambarkan selalu aja bercermin untuk mempercantik diri, agak sedikit bodoh, tapi oleh Pak Taka amat dimanja karena Pak Taka diam-diam jatuh hati padanya? Sampai-sampai ketika Sascya sakit dia ternyata meninggalkan kerjaan yang setumpuk kepada rekannya karena dia ternyata tidak pernah bekerja selama ini. Atau tokoh Susi yang terlihat jatuh hati sekali dengan Sayuti sehingga dia rela melakukan apapun untuk Sayuti, tanpa tahu kapan Sayuti akan membalas cintanya.

Penokohan terhadap perempuan di situasi komedi tersebut amat stereotipe terhadap perempuan. Bahwa perempuan itu galak, suka pinjam uang, suka bersolek, bodoh, tidak bisa bekerja, dan kalau sudah jatuh cinta akan mengorbankan segala-galanya. Sedangkan penokohan terhadap laki-laki di situasi komedi ini digambarkan sebagai orang yang tegas dan berkuasa, seperti Taka yang amat suka menghukum anak buahnya dengan hukuman pushup. Memangnya bisa dibenarkan secara kemanusiaan seorang bos menghukum anak buahnya dengan hukuman fisik? Tindakan Taka jelas sekali membudayakan kekerasan fisik sebagai hukuman dari atasan kepada bawahan tanpa sedikitpun bawahan bisa membela dirinya. Karena kerap kali hukuman itu dilakukan untuk hal-hal sepele sekalipun. Seperti urusan jatuh cinta dimana Taka dapat selalu bertingkah manis terhadap Sascya meskipun dia tidak mempekerjakan kerjaannya dan tidak memberi hukuman kepadanya.

Perempuan tidak ditampilkan sebagai sosok yang baik hati, pintar, tidak suka bersolek, bisa bekerja dan akan rasional kalau sedang jatuh cinta. Apa susahnya jika penulis skenario (Winny R, Eki NF) dan sutradara film ini (Adek AZ ) menggambarkan penokohan perempuan itu seperti yang saya sebutkan tadi. Menurut Veven S.Warhana pengamat televisi dan media ada tiga tipologi perempuan dalam tayangan televisi indonesia: [1] perempuan pembawa petaka, [2] perempuan pelaku duka nestapa yang sama sekali tak pernah punya daya untuk menghadapi dan melawan penyebab duka derita, [3] pseudo-manusia alias perempuan 'sakti' yang menjadi pendekar aneh macam mak lampir atau sekalian menjadi hantu macam si manis jembatan ancol -- dan mereka inilah yang bisa balas dendam.

Di dalam situasi komedi itu, kita melihat bahwa perempuan digambarkan sebagai pembawa petaka. Bagaimana tidak jika anak buahnya Mpok Odah yaitu Sayuti, Mail dan Susi harus selalu taat padanya saat ia sedang marah.

Sekarang terjadi kecenderungan sinetron atau situasi komedi yang ditampilkan di stasiun televisi selalu menokohkan perempuan yang galak dan licik. Selain di OB, juga ada situasi komedi Bajaj Bajuri yang menokohkan Emak (Nani Wijaya) sebagai sosok yang galak, sok berkuasa, tak pernah salah dan mengalah dan licik terutama kepada menantunya yaitu Bajuri (Mat Solar).Dan tokoh Oneng (Rieke Diah Pitaloka) sosok perempuan cantik tetapi sangat o’on (Bodoh) sekali.

Apa itu suatu pertanda masyarakat kita yang mudah dibodohi atau terjadi proses pembodohan di masyarakat. Simaklah apa kalimat yang diucapkan oleh keponakan saya berusia 7 tahun, ”Tante, aku nggak mau ah kalau udah besar kerja di Televisi apalagi jadi anak buahnya Pak Taka atau Mpok Odah.Mereka galak sih,suka pinjam uang nggak pernah dikembalikan dan suka menghukum pushup. Kan aku nggak bisa pushup, tante”.Saya bengong, kok segitunya pengaruh drama situasi komedi itu terhadap anak-anak ya? Ketika aku cek jam tayangnya, pantas saja mereka nonton, soalnya diputar jam 17.00 sore, saat mereka nonton televisi ketika baru bangun dari tidur siang.


(5 Desember 2006)

3 comments:

Titiana Adinda said...

Masukan ini aku ambil dari www.layarperak.com dan email yang masuk ke email pribadiku:
==========
Gue sebagai perempuan juga turut prihatin dengan masalah yg lagi dibahas. Tapi kita sebagai penonton ya... mending ngambil yang lucu - lucunya aja. Tapi, bagi pembuat program2 yang sering mengeksploitasi perempuan, artikel ini harus menjadi bahan pelajaran dan pertimbangan. Chayooo...

Dari: Ocha
-------

Kita memang benar2 harus mengelus dada melihat tayangan2 di TV saat ini. Tidak hanya didalam sinetron2 biasa bahkan di tayangan2 yang bersifat religius pun selalu menayangkan cerita yang menggambarkan tokoh wanita yang culas, gila harta, sadis thd suami/ anak, ataupun lebih parah lagi dengan menayangkan sosok wanita yang digambarkan sebagai sosok yang tertindas, dipukuli, di zholimi atau bahkan dijadikan sebagai obyek pemuas nafsu.. Jadi saya pribadi sangat setuju dengan tulisan dalam artiket ini. Akan kah ada tayangan yang menceritakan sosok seorang wanita yang sesungguhnya tanpa dibumbui adegan2 pelecehan2 seperti itu ya??

Dari: ano1605

---------------
makasih banget komennya... semiga ke depan OB bisa lebih menjadi inspirasi buat semua yang nonton.. btw pada konsep awal, sebenarnya setiap tokoh yang ada dalam Sitkom OB merupakan sindiran bagi para pegawai yang ada di hampir setiap kantor yang ada di Jakarta atau mungkin Indonesia, banyak diantara kita sering kali minjam uang taoi jarang mengembalikannya, banyak atasan yang selalu merasa benar padahal selalu saja salah, banyak yang datang ke kantor hanya untuk memanfaatkan fasilitas kantor, dan nerima gaji buta, ada juga yang tulus dan ikhlas dalam bekerja tapi nasibnya ya gitu - gitu aja hingga akhir hayat mungkin..., yaa.. kira - kira begitulah... jadi kalau pun kita tertawa dari apa yang diceritakan pada Sitkom OB, itu tidak lain adalah kita menertawakan diri kita sendiri... :) btw sekali lagi makasih banget yang masukannya....

Dari: eki_nf2
---------------

Hi Mbak Titi,

Ulasan di tulisan mbak titi di layar perak sangat menarik. Saya teringat saat berkesempatan hadir di Festival Film Independen Indonesia yang digelar di the University of Melbourne, Australia. Salah seorang pembicaranya, kalo gak salah dia aktivis kesetaraan gender yang sangat concern dengan kualitas perfilman di Indonesia termasuk program TV (Sinetron) menerangkan bahwa isu kesetaraan gender perlu menjadi perhatian serius termasuk stereotip terhadap perempuan yang terefleksi di garapan-garapan produksi baik sinetron maupun film di Indonesia...


Office Boy boleh dibilang satu dari sekian banyak sinetron/komedi di Indonesia yang mengindikasikan stereotip terhadap kaum perempuan. Saya juga kadang-kadang sering terusik dengan sinetron-sinetron yang tidak bermutu yang ditayangkan di Teve-teve kita... apalagi regulasi terhadap jam tayang masih belum memperhatikan aspek sosial dan pendidikan. I think, sudah keharusan yang sangat mendesak untuk menetapkan undang2 penyiaran yang melindungi anak-anak khususnya, serta yang bersifat mendidik..

salam,
arzal

Dari: Arzal ismail

Titiana Adinda said...

-----------
Dari :Mbak Anik

Hai Dinda,

aku dah baca tulisan kamu di layarperak.com & kabarindonesia.com.
Bagus kok. Cuma... hm... ada satu ide nih. Tulisan kamu kurang balance di bagian tertentu. Misalnya yg ttg Office Boy alias OB. Jujur, aku tuh hobi banget nonton OB krn lucu (bandingin dg sinetron yg klise itu). meski gitu, emang kamu bener bahwa pencitraan perempuan di layar kaca & lebar seringkali diambil stereotypenya aja. Contoh di Bajaj Bajuri ada tokoh Parti yan wong Solo, digambarkan lugu dg gaya bicara & tingkah yg halus, lamban & lemah lembut. Itukah imej perempuan Jawa? Di masyarakat mungkin iya, tapi utk perempuan Jawa itu sendiri, malah bisa jadi nggak. Contohnya aku, hehehe. tapi apa mau dikata, stereotype kan timbul krn masyarakat melihat sesuatu yg dominan shg dipukul rata. Contohnya ya itu tadi, imej perempuan Jawa.

nah, utk tulisan Dinda, dibikin sequel aja. Misalnya, okelah di tv ada stereotype perempuan (bisa di OB, Bajaj bajuri, dll) lalu kenapa stereotype itu bisa muncul? Kalo di OB, karakter cewek kayak Odah emang beneran ada di kehidupan nyata. Cewek tomboi yang otoriter & berkuasa. Sebaliknya, cewek kayak Sasyapun ada. Yang manja, o'on, bisanya cuma dandan tapi disayang bos (itu beneran ada di kantorku, soalnya, hehehe). Nah, sequelnya bisa kamu bikin dengan menggali penjelasan dari para pencipta karakter. Menarik lho utk dibahas. Di OB kan karakter cowok juga pada gak keruan. Pak Taka yg bujang lapuk. Gusti yang pleiboi cap duren. Pak Hendra yg jayus. Di Bajaj Bajuri juga gitu kan? Misal Ucup yg males dan bego. Pak Yanto yg buaya darat. Kalo nurut aku sih dibandingin sinetron2 kita, dua serial TV ini termasuk kreatif, bagus & imbang dalam penciptaan karakter. Kayaknya sengaja diparodi, diambil sifat yang jelek2 gitu biar ketauan betapa absurdnya dunia. hehehe.

Kalo di sinetron tuha ku malah tambah sebel. Si baik selalu digambarkan sbg orang yg pasrah meski teraniaya, (sok) baik hati (yg terlalu), bisanya cuma nangis, dll. Kentara banget si sutradara &penulis naskah menjadi 'dewa penyelamat' dengan menciptakan tokoh cowok/cewek protagonis sbg penyelamat & mereka akhirnya live happily ever after. Ih, yg bener aja. masa kalo diapa2in pasrah aja cuma nangis kok bis akeluar dari masalah?

Eh sori Dinda, panjang banget. Tapi aku salut dg sudut pandang tulisan kamu, meski aku fans OB & Bajaj bajuri, hihihi.

Congrats,

-anik-
-------------
Dari: Mbak Visca

Wah mba Titiana, aku setuju banget dengan tulisan mba tuh...Aku sih seringnya nonton sinetron Bajaj Bajuri kalo OB jarang...Bener apa yang mba sampaikan penokohan perempuan seperti Emak di Bajaj Bajuri memang galak, sok berkuasa, & licik...Memang sepertinya itu tidak bisa menjadi contoh baik bagi anak2, apalagi Emak itu kan statusnya sebagai orang tua bukannya menasehati anaknya (Oneng) untuk lebih menghargai suami malah disuruh berbohong dengan kelicikan-kelicikannya.Apalagi Emak juga berkuasa dilingkungan tempat tinggalnya sehingga orang pada takut semua pada dia...
Yang aku heran kenapa para pemain sinetron dan penulis naskah tersebut tidak melihat sisi-sisi yang sangat penting itu, padahal mereka tahu kalau itu tidak baik.Salah satu dari mereka juga merupakan aktifis LSM perempuan yang pada dasarnya mempunyai pendidikan tinggi, tapi apa mau dikata mereka semua perlu uang (UUD) untuk hidup sehingga melupakan kaidah2 penting tersebut.
Mungkin hanya itu komentarku mba...Mudah2an kritikan mba dapat didengar dan menjadi perhatian bagi kita (Ibu) yang harus mendidik anaknya dengan baik...Terus berkarya dan aktif ya Mba...
Demikian dan Terima kasih kalau ada kata-kata yang tidak berkenan...

Salam,
Visca
---------
Dari : Mbak Nia
Dear Mba Dinda,

Menurut saya tulisan Anda cukup bagus tapi perlu diingat juga bahwa
kita mengenal istilah satir alias sindiran pada bahasa Indonesia
dimana hal itu yang terjadi di sitkom OB tersebut dan hal itu rasanya tidak ada hubungan dengan stereotipe gender ya... Apalagi kalo mau adil kita liat tokoh para laki-lakinya juga penuh dengan stereotipe bukan? laki-laki pelit yang diperankan pak hendra, playboy cap duren tiga yang ditokohkan gusti dan bos yang kejam seperti pak taka.

untuk paragraf di bawah ini:

Apa itu suatu pertanda masyarakat kita yang mudah dibodohi atau terjadi proses pembodohan di masyarakat. Simaklah apa kalimat yang diucapkan oleh keponakan saya berusia 7 tahun, "Tante, aku nggak mau ah kalau udah besar kerja di Televisi apalagi jadi anak buahnya Pak Taka atau Mpok Odah.Mereka galak sih,suka pinjam uang nggak pernah dikembalikan dan suka
menghukum pushup. Kan aku nggak bisa pushup, tante"Saya bengong, kok segitunya pengaruh drama situasi komedi itu terhadap anak-anak ya? Ketika aku cek jam tayangnya, pantas saja mereka nonton, soalnya diputar jam 17.00 sore, saat mereka nonton televisi ketika baru bangun dari tidur siang.

menurut saya adalah tugas orang tua atau orang dewasa untuk
mendampingi putra-putrinya menonton sitkom itu. sehingga mereka bisa
memberi penjelasan bahwa kejadian itu hanyalah karangan dan tidak
terjadi di kehidupan yang sesungguhnya.

keep on your good work

cheers
-nia-

Titiana Adinda said...

Dari: Arzal

Iya mbak, selain bimbingan orang tua, juga undang2 penyiaran kita perlu dipertegas and law inforcement juga harus diperketat.. sayang banget kan kalo kita liat misalnya berita pemerkosaan terhadap anak2 atau perempuan ditayangkan di prime hours seperti jam 12 siang dimana semua orang bisa liat...saya pikir ini tugas besar yang sedang diemban oleh kita smua...

salam, Arzal