Monday, July 28, 2008

(Resensi Buku) Menembus Badai




(Resensi Buku) Menembus Badai


Judul Buku : Menembus Badai, Antara Pengkhianatan dan Pengorbanan

Penulis : Nagiga dan Arni

Penerbit : Elex Media Komputindo

Halaman : vi + 153

Terbit : 2008

Jenis : Kisah Nyata (True Story)

Derita Seorang Istri

Oleh : Titiana Adinda

(Relawan Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan RSCM)

Buku ini bercerita tentang pengkhianatan cinta dalam pernikahan, sehingga perempuan menjadi korban kekerasan psikologis. Ceritanya berawal dari Asti yang menikah dengan Ryan, rekan satu kantor tetapi beda cabang. Pengorbanan Asti untuk menikah tidaklah mudah. Dia harus keluar dari kantornya karena ada peraturan suami istri dilarang bekerja di satu instansi. Padahal kariernya cukup bagus. Dia juga mesti berhenti dari kuliahnya karena tidak punya waktu lagi.

Pada awal pacaran Ryan sungguh perhatian, menelepon minimal tiga kali sehari hanya untuk mengingatkan untuk makan atau sekadar menanyakan kabar. Dia juga mengantar jemput Asti padahal rumah mereka sangat jauh yaitu Bekasi dan Kwitang, Jakarta. Saat memutuskan untuk menikah, mereka membereskan rumah Ryan untuk ditempati bersama. Saat membereskan lemari di kamar Ryan, Asti sungguh kaget karena menemukan pakaian dalam perempuan. Lalu dia menanyakan hal tersebut. Kata Ryan, itu punya temannya Sarah. Saat itu Sarah berganti pakaian di rumahnya untuk pergi ke pernikahan. Kemudian dia langsung pulang, dan tidak sempat mengambil pakaian dalamnya. Di hadapan Asti, Ryan membuang pakaian dalam tersebut.

Asti juga kerap mendapat teror dari Sarah yang mengaku sebagai pacar Ryan, dan mengancam akan membuat hidupnya tidak bahagia. Lalu dia menyampaikan hal tersebut pada Ryan. Ryan menjawab bahwa Sarah itu mantan kekasihnya. Mereka tidak jadi menikah karena berbeda agama. Jadi, dia menasehati Asti agar tidak mengindahkan telepon itu sebab takut Sarah kalap dan menyakiti Asti. Tak lupa Ryan mengeluarkan kata-kata gombal bahwa dia sangat mencintai Asti.

Mereka akhirnya menikah. Kini Asti telah mendapat pekerjaan di kantor lain, tapi Ryan tetap setia mengantar-jemput. Asti senang melihat kesungguhannya, walaupun Ryan juga menjadi sangat pencemburu. Asti dikekang kebebasannya. Dia tidak boleh bertemu dengan teman-teman lelakinya. Asti pikir itu tanda cinta dan perhatian Ryan padanya. Padahal dia salah...

Hingga suatu malam Ryan membuat pengakuan bahwa dia sudah menikah dengan Sarah. Dia terpaksa melakukannya karena dia sudah berjanji pada Sarah. Apabila Sarah mau pindah agama, Ryan akan menikahinya. Ternyata Sarah benar-benar pindah agama. Dunia seakan runtuh. Asti menangis sejadi-jadinya. Bahkan dia punya rencana bunuh diri karena merasa cintanya telah dikhianati. Untunglah dia sadar, sehingga bunuh diri urung dilakukan.

Bagaimana caranya Ryan mengauli dan datang ke istri mudanya? Ternyata itu dilakukan Ryan pada saat dia pura-pura pergi ke bengkel setiap minggu, dan ketika Asti mendapatkan shift malam di tempat kerjanya yang buku. Pintar sekali Ryan memainkan perannya sebagai lelaki yang mempunyai dua orang istri sehingga Asti tidak curiga.

Lalu Asti mengadu pada keluarga Ryan. Mereka mengusulkan agar Asti memiliki anak, karena siapa tahu itu bisa membuat Ryan makin cinta dengan Asti dan mau menceraikan istri keduanya. Lalu Asti menuruti permintaan tersebut. Walaupun dalam hati sangat jijik untuk berhubungan seksual dengan suaminya yang sudah mengkhianatinya. Akhirnya Asti hamil dan melahirkan seorang putra bernama Fahmi. Kebahagiaan Asti makin lengkap ketika Ryan memberikan surat perceraiannya dengan Sarah. Tapi Asti merasa curiga. Dia lalu mengecek langsung ke KUA tempat Ryan bercerai. Ternyata benar, akta cerai itu palsu.

Setelah mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, Asti mengajukan gugatan cerai di pengadilan Jakarta Pusat. Proses sidang berlarut-larut karena Ryan sering tidak datang. Namun akhirnya Asti berhasil cerai dan memulai kehidupan baru bersama Fahmi, tinggal di rumah orangtuanya. Asti kembali berkumpul dengan teman-temannya yang selama ini dilarang oleh suaminya. Dia juga melanjutkan kuliah yang sempat ditinggalkan karena menikah.

Di dalam buku ini kita mempunyai gambaran tentang sosok Asti yang luar biasa tegar karena telah dikhianati dan dibohongi oleh suaminya. Juga kita bisa lihat pengorbanan seorang istri untuk mempertahankan rumah tangganya. Menunggu dengan sabar janji suami untuk menceraikan istri mudanya. Untung Asti sadar bahwa lingkaran kekerasan itu harus dia hentikan sendiri. Itu terlihat dari keberaniaannya mengugat cerai suami.

Seperti pada umumnya kekerasan rumah tangga, bisa dilihat bagaimana pelaku mempersempit ruang gerak korban dengan melarang korban bergaul dengan teman-temannya. Pasti karena pelaku khawatir bahwa dengan pergaulan yang luas, ada kemungkinan korban akan bercerita dan meminta solusi kepada teman-temannya.

Belajar dari kisah ini, satu hal yang dapat kita pelajari adalah jangan bangga apabila pasangan kita cemburu berat terhadap pergaulan kita. Itu bukan pertanda cinta melainkan upayanya untuk mengontrol.


Wednesday, July 9, 2008

(Resensi buku) Harapan Itu Masih Ada

RESENSI BUKU

Judul : Harapan Itu Masih Ada

Penulis : Titiana Adinda

Penerbit : Elex Media Komputindo

Genre : True Story

Terbit : 2008

Tebal : 103 hlm.

HIDUP, SEPATUTNYA DIBELA!

Oleh: Y. Budi U*

Sedikit orang yang mampu menulis tentang “rahasia” dirinya, kecuali untuk otobiografi dan kepentingan publikasi. Titiana Adinda, bagian dari jumlah yang sedikit itu. Rahasia ‘penderitaan’ hidup, apalagi menyangkut eksistensi diri, memang tak seharusnya murah diumbar. Pengakuannya dalam pengantar, Dinda menulis, “Sungguh tidak mudah mengingat kembali peristiwa menyedihkan ini. Bahkan tak jarang meneteskan air mata saat menuliskannya.”


Datangnya cobaan

Meningoensefalitis adalah radang infeksi yang menyerang selaput dan jaringan otak. Efek yang ditimbulkan berupa kelumpuhan tubuh bagian kanan, kelopak mata mengecil, bahkan amnesia. Lebih dari itu, Dinda mengalami meningoensefalitis Tb (tuberkulosis), dimana bakteri TBC ikut andil menyerang selaput otaknya. Bisa dibayangkan bagaimana Dinda ‘belajar keras’ menerima keadaan dirinya. Dan, Dinda menuliskan semua pengalaman itu dengan lugas, sekaligus menegaskan ketegarannya yang luar biasa.

Pada tahap awal, Dinda hanya sering merasakan demam dan pusing, sebagaimana gejala flu biasa. Seorang dokter menyarankannya untuk segera operasi usus buntu. Dinda melakoninya. Namun, tak kunjung sembuh. Hingga di awal tahun 2004, Dinda, yang saat itu masih aktif di Komnas Perempuan, mengalami puncak sakitnya. Hasil pemeriksaan, baik CT-scan maupun MRI, menyimpulkan adanya peradangan di selaput otak (meningitis) dengan deskripsi meningitis Tb. Mulailah, hari-hari Dinda dilalui di rumah sakit, ruang terapi, dan kamar rawat.

Rasa rendah diri Dinda yang pertama adalah kesulitan bicara. Dengan kondisi bibir yang miring ke kiri dan bicara yang terbata, membuatnya sedih. “Ya Tuhan, kalau begini terus, aku tidak tahan menerima cobaan ini.” Rasa percaya diri semakin hilang saat tahu dirinya terkena amnesia, pandangannya jadi dobel, dan mata kirinya semakin mengecil.

Kehilangan ingatan merupakan satu siksaan tersendiri. Terutama bila kenangan akan aktivitas menyenangkan yang pernah dilakukannya tak bisa dilakukan lagi. Untuk melakukan hal-hal biasa (rutin) saja tentu menjadi kerinduan luar biasa. Di bagian-bagian selanjutnya, Dinda bercerita bagaimana ia harus belajar lagi mengoperasikan Mic. Word, sebuah aktivitas biasa yang telah mahir dilakukannya jauh sebelum sakit.

Belum usai dari keterpurukan, Dinda harus menerima fakta pahit di tempatnya bekerja. Maret 2005, selang ia sedang memulihkan keadaanya, Dinda di-PHK tanpa prosedur semestinya. Dinda pun meradang. Ia menuntut Komnas Perempuan secara hukum. Tidak main-main, hampir 15 bulan lamanya, Dinda berjuang mendapatkan haknya. Dan, untuk kesekian kalinya, jauh di lubuk hatinya, Dinda makin merasa sangat sepi. Sakit dan penderitaan yang dialaminya seolah membuatnya banyak kehilangan teman dan juga “nasib” baik.

Masa pemulihan

Keakrabannya dengan penderitaan di saat sakit, membuat Dinda mulai terbiasa dan bisa menerima keadaan dirinya. Perlahan-lahan, Dinda bangkit sebagaimana ia sendiri mengeraskan hati untuk sembuh. Aktivitas demi aktivitas dia lakukan, konsultasi, terapi, dan menulis artikel di media massa.

Yang menarik adalah tumbuhnya kesadaran Dinda untuk melakukan konsientisasi tentang meningoensefalitis, termasuk dituliskannya di buku ini. Tentunya supaya jangan ada lagi orang yang terkena penyakit ini. Menurut data dari berbagai sumber, angka kematian penderita meningoensefalitis di Indonesia mencapai 18-40 persen, dengan angka kecacatan 30-50 persen.

Meningitis sendiri, lebih sering terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-2 tahun. Gejala yang umum terjadi adalah demam, sakit kepala, dan kekakuan otot pada leher. Penderita ini juga mengalami fotofobia (takut cahaya) dan fonofobio (takut dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak bingung, susah untuk bangun tidur, bahkan tak sadarkan diri. Pada bayi, umumnya menjadi sangat rewel dan terjadi gangguan kesadaran. Gejala lainnya adalah warna kulit menguning (jaudice), tubuh dan leher terasa kaku, demam ringan, tidak mau makan atau minum ASI. Tangisannya pun menjadi lebih keras dan bernada tinggi, serta ubun-ubunnya terdapat benjolan atau bagian itu terasa kencang.

Menjaga kebersihan diri adalah kiat pertama mencegah terjangkitnya penyakit ini. Media penularan bakteri Neisseria meningitidis meningokokus ini melalui udara. Hubungan langsung dengan terkena lendir atau percikan hidung atau tenggorokan ketika orang bersin, mencium, batuk, atau barang-barang pribadi seperti gelas dan sikat gigi, juga rentan pada penularan.

Pencegahan lain bisa dilakukan dengan vaksinasi Hemophilus influenzae tipe b untuk anak-anak. Sementara vaksin meningokukus diberikan untuk orang dewasa. Para jamaah haji biasanya mendapatkan vaksin ini sebelum masuk di negara Arab Saudi.

Akhirnya, Dinda menyadari bahwa di dalam penderitaanya, ia masih bisa mensyukuri semua nikmat yang diberikan Tuhan. Perhatian orang-orang dekat, keluarga, dan sahabatnya membuatnya semakin semangat menyalakan api hidup. Dari balik kamarnya, lahir gagasan-gagasan indah, termasuk menjadi penggagas beladiri SDFW (Self Defense for Woman) Indonesia di Jakarta dan menuliskannya dalam buku dengan judul yang sama.

Rasanya, judul buku “Harapan Itu Masih Ada” ini bukan sekadar puitisasi fonetik. Dinda, sang penulis telah benar-benar menaruh harapan itu dalam hatinya, dalam hidupnya. Dan, sekarang tinggal menjaga nyala harapan itu, agar tetap hidup untuk dirinya juga untuk orang lain.

*Y. Budi U, Ketua Komunitas Studi INSPICIO

Tuesday, July 1, 2008

Januari-Mei 2008 sudah 296 korban ke PKT RSCM

Januari-Mei 2008 sudah 296 korban ke PKT RSCM

Dalam waktu 5 bulan saja yaitu dari Januari sampai Mei 2008, sudah datang ke Pusat Krisis Terpadu RSCM sebanyak 298 perempuan dan anak korban kekerasan. Rinciannya adalah: Perkosaan sebanyak 15 orang, KDRT sebanyak 113 orang, Perkosaan anak perempuan sebanyak 75 orang, kekerasan seksual lain pada anak perempuan sebanyak 42 orang, kekerasan seksual pada anak laki-laki sebanyak 21 orang, penderaan anak sebanyak 15 orang, dan kekerasan lainnya sebanyak 15 orang.

Kasus kekerasan itu umumnya datang meminta visum atas permintaan pihak kepolisian namun ada juga korban yang datang ke RSCM karena ingin diobati luka fisik dan psikologisnya. Yang oleh petugas RSCM dirujuk ke PKT karena merupakan korban kekerasan. Baru saja lima bulan tetapi korban yang datang sudah begitu banyak. Itu saja korban yang datang ke PKT RSCM belum lagi yang datang ke women crisis centre seperti Mitra Perempuan dan LBH Apik Jakarta.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak memang seperti fenomena gunung es, mereka yang datang melapor hanyalah sebagian kecil korban saja. Karena pasti banyak korban lainnya yang memilih menyembunyikan kekerasan karena takut kepada ancaman pelaku atau malu karena dianggap suatu aib bagi dirinya sendiri sehingga memilih merahasiakan kekerasan pada dirinya.

Melihat banyaknya korban yang datang ke PKT RSCM apakah pemerintah masih mau mengelak dari tanggungjawabnya untuk mendanai PKT RSCM ini? Kemana nanti para korban mendapat pertolongan yang relatif terpadu yaitu mengobati luka fisik sekaligus psikis terhadap korban?

Kini kita sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 bahkan kita sudah memiliki Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang didalamnya mewajibkan pemerintah untuk membiayai proses pemulihan korban termasuk membiayai Pusat Krisis Terpadu dan women crisis centre di Indonesia.

Saat ini PKT RSCM tidak menerima dana operasional dari pemerintah. Hal ini sangat memprihatinkan karena PKT RSCM telah bekerja melakukan proses pemulihan korban dari kekerasan seperti yang diamanatkan dua Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tsb. Sekarang tinggal pemerintah menunjukan itikad baik untuk membiayai PKT RSCM. Sebab kalau tidak, 3 bulan lagi PKT RSCM tidak dapat beroperasi karena kehabisan dana operasional. Kami sangat berharap ada bantuan dari pemerintah yang besarnya mencukupi kebutuhan operasional PKT RSCM sehingga kami dapat berkonsentrasi memulihkan korban dan tidak pusing memikirkan keberlangsungan operasional PKT RSCM.

Jika anda peduli dan mau menolong PKT RSCM dari krisis keuangan ini, kami mohon dengan sangat anda mau menolong perempuan dan anak korban kekerasan yang datang ke PKT RSCM dengan mengirimkan bantuan/sumbangan/zakat maal/infaq dan shadaqoh anda ke rekening kami di:

Nama Pemilik Rekening : Pusat Krisis Terpadu

Bank : Bank Mandiri

Cabang : RS.Cipto Mangukusumo

No.Rekening: 122-00-0002497-9

Besar harapan kami anda dapat menolong PKT RSCM dari ancaman ditutupnya operasional PKT RSCM ini karena ketidaktersediaan dana. Semua laporan penerimaan akan kami laporkan pada akhir Oktober 2008, tidak jadi September 2008 karena libur Idul Fitri. Kami akan umumkan dimilis ini atau dengan melihat di blog:

http://titiana-adinda.blogspot.com

Jika anda ingin datang bahkan juga mungkin datang membawa korban kami persilahkan datang ke PKT RSCM lokasinya di Lt.2 Ruang Instalasi Gawat Darurat Rs. Cipto Mangunkusumo, Jl Diponegoro No. 71 ,Jakarta. Telp: 021-316 2261, email: pkt_rscm@yahoo.co.id

Atas perhatian dan bantuannya kami ucapkan terima kasih. Dan kepada pemerintah tolong berikan perhatian dan bantuanmu agar PKT RSCM ini tetap beroperasi. Kami tentu akan lebih hormat dan sayang kepada pemerintah yang bersungguh-sungguh memperhatikan pemulihan perempuan dan anak korban kekerasan. Katakan tidak untuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak !

Salam hangat,


Titiana Adinda

Relawan PKT RSCM