Monday, April 20, 2009

(Resensi) Kekerasan Itu Berulang Padaku




(Resensi) Kekerasan Itu Berulang Padaku

Judul : Kekerasan Itu Berulang Padaku
Penulis : Titiana Adinda
Penerbit :Elex Media Komputindo
Terbit : 2008
Tebal : 104 hlm
Harga : Rp 22.800

Siklus Kekerasan pada Perempuan
Oleh: Y. Budi U*

Sejak tahun 2000, Pusat Krisis Terpadu RSCM Jakarta telah menangani 4.651 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau 2 kasus setiap harinya. Angka ini belum termasuk kasus-kasus KDRT di kota lain. Sebuah penelitian lain menyebutkan selama tahun 2005 saja terjadi 20.391 kasus kekerasan di Indonesia. Sebanyak 16.615 kasus di antaranya adalah KDRT. Tahun 2006 meningkat menjadi 22.512 kasus, 16.709 di antaranya adalah KDRT.

Mengapa kasus KDRT di Indonesia begitu memprihatinkan? Gerakan emansipasi wanita sejak era Kartini, termasuk perjuangan kaum feminis, ternyata belum sepenuhnya berbuah manis. Bahkan, kekerasan pada perempuan semakin menjelajah wilayah-wilayah privat. Di mana para tindak kekerasan itu justru dilakukan oleh orang-orang yang terdekat.

Budaya patriarkhi yang kuat, mungkin menjadi refren yang terus dipersalahkan. Tetapi, alasan penafsiran yang salah kaprah terhadap agama juga berperan di dalamnya. Satu kisah berjudul “Nikah Siri” dalam buku ini menyiratkan akan hal itu.
Terlepas dari dua aspek di atas, keberanian yang ciut dan minimnya pengetahuan perempuan untuk keluar dari siklus kekerasan, turut melanggengkan kekerasan itu terus terjadi. Hampir seluruh kisah nyata dalam buku ini menunjukkan keterlambatan kesadaran perempuan membebaskan diri. Setelah terluka dan babak belur, akhirnya mereka datang ke rumah sakit, dan dirujuk ke Pusat Krisis Terpadu. Dalam hal ini, memang korban kekerasan tidak sepenuhnya bisa disudutkan. Pihak-pihak terkait, LSM, dan pemerintah sendiri harus terus berupaya menyosialisasikan advokasi pada korban-korban kekerasan.

Sebaiknya, mungkin Anda perlu waspada terhadap sikap-sikap “aneh” dari pasangan Anda. Tanda-tanda bahwa pasangan Anda mempunyai kecenderungan sebagai pelaku kekerasan, misalnya pencemburu buta, ingin tahu keberadaan Anda setiap waktu, marah bila Anda menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman, menyalahkan Anda dan orang lain atas kesalahan dirinya, dan memperlakukan Anda dengan kekerasan.

Apabila mengalami hal itu, Anda bisa melakukan beberapa tindakan, seperti berkonsultasi dengan lembaga-lembaga advokat, Woman Crisis Center. Bahkan, seandaipun Anda merasakan indikasi kuat adanya KDRT itu, Anda wajib melaporkan kepada pihak berwajib.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjamin hak-hak hukum korban kekerasan. Kategori KDRT yang dijamin Undang-undang meliputi kekerasan fisik,kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi atau penelantaran rumah tangga (pasal 5).

Kekerasan fisik meliputi tindakan yag mengakibatkan rasa sakit dan menimbulkan jejak pada tubuh seseorang, mungkin keguguran, pingsan, bahkan kematian. Sedangkan kekerasan psikis adalah tindakan yang mengakibatkan rasa takut, kehilangan percaya diri, kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan kejiwaan yang serius.

Bentuk kekerasan ekonomi adalah pembatasan seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah guna menghasilkan barang atau uang. Sedangkan kekerasan seksual menyangkut perbuatan berupa pemaksaan seksual, dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, maupun pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu.

Dalam pengantar, penulis yang telah menghasilkan 3 buku ini mengatakan bahwa buku ini terbit sebagai bentuk penghargaan bagi perempuan korban kekerasan yang mampu keluar dari kekerasan yang menghimpitnya. Buku yang berisi 10 kisah nyata para korban KDRT ini memberi Anda, terutama kaum perempuan yang rentan mengalami kekerasan, segudang wawasan yang penting dan berguna. Meski, beberapa kisah di antaranya tidak berhasil diceritakan secara tuntas. Namun, esensi dari buku ini tetap mengena dalam perannya mengadvokasi korban kekerasan.

Pada bagian akhir buku, penulis juga melengkapinya dengan pasal-pasal penting dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, alamat Lembaga Perempuan dan Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit di Indonesia. Dengan harapan, bisa menjadi panduan Anda dalam upaya menghentikan siklus kekerasan.

*Y. Budi U, Peminat Buku

Note: Buku ini dapat dibeli secara online di :
http://kutukutubuku.com/2008/open/12209/kekerasan_itu_berulang_padaku_kumpulan_kisah_kekerasan_terhadap_perempuan_

===
http://titiana-adinda.blogspot.com
http://buku-buku-dinda.blogspot.com

Tuesday, April 7, 2009

Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan






Pusat Krisis Terpadu
Untuk Perempuan dan Anak RSCM

Lokasi: Instalasi Gawat Darurat RSCM Lantai II
Jl.Diponegoro 71 Jakarta Pusat
Telp/Fax: 021- 316 2261


Pusat Krisis Terpadu RSCM
Merupakan suatu Pusat Krisis yang berbasis Rumah Sakit yang bertujuan untuk membantu proses penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak secara terpadu.

Visi
- Menuju pemberdayaan perempuan melalui respon yang layak dan akuntabel pada kekerasan terhadap perempuan.
- Menjadi tempat bagi para profesional yang multi disiplin untuk melayani masyarakat.

Misi :
- Memberikan layanan menyeluruh bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dibidang medis, medikolegal dan psikososial.
- Memberikan akses ke jaringan advokasi dan rumah aman.

LAYANAN DI PKT RSCM:
- Layanan medis baik fisik maupun mental
- Layanan medikolegal berupa: dokumentasi, laboraturium dan visum et repertum
- Analisis dan konseling psikososial
- Akses ke jaringan untuk pendampingan shelter (rumah aman) dan advokasi hukum.
- Tersedia dokter, perawat dan pekerja sosial yang telah terlatih selama 24 jam, serta psikolog setiap hari kerja.

Sasaran layanan:
- Korban kekerasan seksual (pelecehan seksual, perkosaan, dll).
- Korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) seperti penganiayaan oleh orang tua, suami atau pacar.
- Korban kekerasan terhadap anak (kekrasan seksual, kekerasan fisik, dan penelentaran)

DATA:
- Sejak Juni 2000 sampai Desember 2007 PKT RSCM telah menangani 4500 kasus.
- Terbanyak adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga mencapai 1226 kasus, kemudian perkosaan pada anak (usia < 18 tahun) sebanyak 939 kasus
- Kasus perkosaan dewasa sebanyak 529 kasus, sedangkan kasus pecabulan anak perempuan 708 kasus dan kasus kekerasan seksual pada anak laki-laki terdapat 118 kasus.
- Untuk kasus penderaan anak terdapat 82 kasus, dan 3 kasus penelantaraan anak.
- Sebanyak 779 kasus adalah kasus kekerasan lainnya yang tidak dapat dikelompokkan dengan jenis kasus diatas.


JIKA ANDA PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DAN INGIN MENYELESAIKAN MASALAH ANDA SEGERA HUBUNGI PKT RSCM. ANDA TIDAK AKAN DIBEBANI BIAYA PEMERIKSAAN ALIAS GRATIS.

Mari wujudkan dunia tanpa kekerasan terhadap perempuan dan anak

Jika anda ingin membantu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat menghubungi PKT RSCM atau salurkan bantua anda melalui
Bank Mandiri Cab.RSCM a/n Pusat Krisis Terpadu,
No.Rek: 122-00-0002497-9

Wednesday, April 1, 2009

[Resensi Buku] Biarkan Aku Memilih




[Resensi Buku] Biarkan Aku Memilih

RESENSI BUKU
>> minggu, 2009 maret 29

Nestapa “Gay” di Negeri Syariat

Judul Buku : Biarkan Aku Memilih; Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out
Penulis : Hartoyo dan Titiana Adinda
Halaman : 134 halaman + xxx
Penerbit : Elex Media Komputindo (Gramedia Group)
Terbit : Februari 2009

Oleh
Murizal Hamzah

Tujuh polisi menghajar dua pemuda tanpa ampun. Belum puas, anggota Polisi Sektor Banda Raya, Banda Aceh, memaksa pemuda itu mencopot semua baju dan celana. Seorang polisi menodongkan senjata laras panjang ke anus pemuda itu. Kemudian seorang pemuda dipaksa memegang penis rekannya hingga ereksi. Tiga puluh menit kemudian, pukul 02.00 WIB, mereka digiring ke halaman Markas Polisi Sektor (Mapolsek) dengan berjongkok. Lalu dimandikan dengan selang air. Ketika seorang pemuda ingin buang air kecil, polisi meminta dia untuk kencing di atas kepala rekannya. “Proses itu berlangsung selama 15 menit. Aku sangat marah, tapi tidak bisa mampu berbuat apa-apa,” tulis Hartoyo dalam buku bersampul putih ini. (hlm. 84-85).

Apa kesalahan dua pemuda itu? Dalam buku inilah Toyo--panggilan akrab Hartoyo-- memaparkan secara ringkas kisah dirinya, seorang gay yang tinggal di negeri syariat. Tragedi penyiksaan ini diawali pada malam 23 Januari 2007 di Banda Aceh. Kala itu, pria dari Binjai Sumatera Utara ini sedang asyik memadu kasih di kosnya dengan pasangannya Bobby (nama samaran), warga Aceh. Warga menangkap mereka di lantai dua Kedai Kopi Pesona di Lamlagang Banda Aceh.

Dalam sekejap, pukulan bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuh gay ini. Mereka dianggap telah mencemarkan desa tersebut. Kemudian, warga bingung, mau dibawa ke mana dua gay ini? Jika diusung ke Kantor Waliyatul Hisbah alias polisi syariat--lembaga ini hanya ada di Aceh--warga khawatir esok nama desa ini masuk koran dan ini sama artinya mendatangkan aib. Akhirnya, polisi dipanggil untuk menjemput Toyo dan Bobby.
“Gay” Sejak SD

Di lembaga pengayom masyarakat inilah, dua gay itu kembali disiksa. Esok paginya, mereka dibebaskan setelah penggiat kemanusiaan datang. Seminggu kemudian, setelah didukung oleh berbagai lembaga pembela HAM, perempuan di Jakarta dan Aceh, Toyo yang bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Banda Aceh pascatsunami 2005 ini melapor balik kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 8 Oktober 2008 melakukan persidangan dengan empat terdakwa anggota polisi. Vonis hakim, pelaku dihukum tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan serta denda Rp 1.000. Pelaku tidak harus menjalani hukuman di penjara karena dihukum percobaan.

Dari kasus ini juga, Toyo memahami ada teman-temannya di lembaga kemanusiaan yang tetap mendukung dia atau menceramahinya. Padahal, sebagai lembaga kemanusiaan, mereka harus menghargai berbagai perbedaan, termasuk memilih menjadi gay. Karena itu, dia mempertanyakan lembaga-lembaga kemanusiaan di Aceh yang mengesampingkan isu penyiksaan dirinya karena berkaitan dengan seksualitas. Apakah seorang gay tidak layak untuk hidup aman di bumi Serambi Mekah?

Tak diragukan lagi, Toyo merupakan gay sejati. Sejak kecil hingga kini, dia senang dengan laki-laki. Masa kecil dilalui dengan sukacita sekaligus pada masa itu juga dia merasakan diri sebagai gay. Ketika kelas 5 SD, dia menawarkan saudaranya untuk dipijit. Toyo kecil tidak paham, mengapa dirinya senang mengamati pria bugil. Hingga jari Toyo pun meremas-reman penis saudaranya, menciumnya. Anehnya, saudaranya, membiarkan aksi itu. Sejak itulah, rasa suka dengan laki-laki terus dirasakan dan semakin besar (hlm 8).

Inspirasi bagi Keluarga
Menyimak lembaran demi lembaran, termasuk empat halaman berwarna foto Toyo di berbagai daerah, pembaca diberi kebebasan untuk memahami cara pikir dan bertindak seorang gay. Dalam pengantar penulis, secara terus terang pengalaman ini disampaikan bukan untuk mencari “pembenaran” dan meminta belas kasihan orang. Apalagi mengajak orang lain memilih menjadi gay.

Penulis mengakui, buku yang mengisahkan pengalaman hidup seorang gay dari sisi kemanusiaan selama ini belum banyak diterbitkan. Toyo menuturkan, menjadi gay adalah sebuah pilihan kejujuran hidup. “Buku ini menjadi inspirasi bagi keluarga yang mulai tahu bahwa ada anggota keluarganya yang menjadi bagian kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan quee (LGBTIQ). Bagaimana bersikap manusiawi terhadap anggota keluarga,” tulis Toyo yang menghabiskan masa kuliah selama lima tahun di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Sejatinya, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui dunia gay, termasuk juga di Aceh yang membentuk komunitas sendiri. Yang sangat menakutkan bagi seorang homeseksual adalah keluar dari persembunyian dan memproklamasikan kepada publik bahwa dirinya adalah gay. Dalam hal ini, Toyo telah memperlihatkan diri bahwa Indonesia tidak hanya memiliki keragaman suku bangsa, agama, budaya, tapi juga keragaman seksual. Dan tentu saja, semua orang bisa tinggal di seluruh pelosok Bumi Ibu Pertiwi ini. n