Friday, December 8, 2006

Anakmu Bukan Milikmu


Oleh : Titiana Adinda

05-Des-2006, 13:48:05 WIB - [www.kabarindonesia.com]

Mereka putra putri yang rindu pada diri sendiri. Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu. Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu.

Itu adalah sepenggal puisi karya Khalil Gibran, kiranya masih sangat efektif untuk menunjukan fakta kepada kita tentang kondisi anak-anak kita sekarang ini.Dengan fakta bahwa (almarhum) Dede,harus mati karena dibunuh oleh ayah tirinya, Anggi (6 tahun) telah memperoleh kekerasan dari ibunya. Lintang dan (Almarhumah) Indah yang menjadi korban ibunya.Ismi yang telah menjadi korban dari ibu Suri tempat ia tinggal.Riska Rosdiana(7 tahun) yang dicekik oleh ibu tirinya dan diperkosa oleh adik ibu tirinyaTia yang telah menjadi korban setrika dari ayahnya karena dituduh mencuri hingga Nia Siahaan (2 Tahun) di Manado mendapatkan luka fisik dari ayah tirinya. “Tia nggak mau ketemu sama bapak lagi, habis bapak udah setrika kaki Tia kan sakit….” Itu adalah sepenggal penturan Tia yang merupakan korban kekerasan ayah kandungnya, yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV.Anak sekecil itu kasihan sekali karena sudah menjadi obyek kekerasan ayahnya sendiri.Mereka bukan saja menderita secara fisik tapi juga psikis.Rasa ketakutan yang terus membayangi adalah dampak dari kekerasan yang mereka terima.

Saat ini setiap hari apabila kita melihat berita di televisi,mendengar radio,membaca surat kabar dan majalah, serta melihat situs internet sering kali kita mendapati anak yang menjadi korban kekerasan.Perasaan empati dan simpati kita lalu muncul dan yang terpikirkan oleh kita adalah “Koq tega ya orang tuanya menganiaya anaknya sendiri?’ Anakmu Bukan Milikmu Hak kepemilikan anak sering disalah artikan oleh orang tua hingga seolah-olah anak adalah harta kepemilikannya,sehingga dia berhak menentukan masa depan anak tersebut.Hal inilah yang mencetus kekerasan terhadap anak.Dalam dialog yang dilakukan sebuah radio swasta pada tanggal 14 Januari2006 selama pukul 01.00-05.00 dini hari menunjukan hampir semua pendengar yang menyampaikan opininya menyatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak adalah salah besar,karena anak adalah titipan dari Tuhan yang harus kita jaga. Mereka juga sebagian percaya bahwa ekonomi yang sulit saat ini menjadi faktor pemicunya.

Orangtua jadi gampang mengumbar nafsunya dengan menganiaya anak.Lalu kemudian pertanyaannya kenapa harus anak yang menerimanya? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah paradigma yang keliru yang menempatkan anak sebagai obyek jika terjadi sesuatu dalam keluarga.Data yang dikumpulkan oleh Komnas Perlindungan Anak menunjukan adanya peningkatan kasus dari 441 kasus pada tahun 2004 meningkatkan secara tajam menjadi 736 kasus pada tahun 2005.Bahkan sampai saat ini Komnas Perlindungan Anak sudah menerima 10 kasus baru di tahun 2006 ini.Dan di Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSUPN Cipto Mangunkusumo menunjukan angka256 pada tahun 2005.Belum lagi jika kita kumpulkan dari women crisis cente ataupun lembaga perlindungan anak tentu angka tersebut akan banyak sekali. Hal ini bagaikan ujung gunung es yang tidak menunjukan fakta sebenarnya,karena pasti masih banyak yang belum melaporkan kasusnya.Dialog di radio itu juga menunjukan bahwa peran para ulama atau pemuka masyarakat amat ditunggu untuk memberantas kekerasan kepada anak.

Mereka menilai bahwa ulama sekarang hanya mampu menawarkan surga dan neraka saja.Belum menyentuh realitas sesungguhnya. Padahal dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 45 disebutkan bahwa kewajiban orangtua adalah memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya. Artinya, sangatlah jahat bila seorang ibu dan atau ayah yang menganiaya,menyiksa,dan bahkan sampai membunuhnya. Tindakan kekerasan terhadap anak dalam bentuk sekecilpun misalnya menjewer patut kita hindari.Dengan alasan apapun misalnya saja kedisiplinan dan masa depan anak patut untuk kita tinggalkan,dan hadapi pola tingkah anak dengan penuh pengertian dan senyuman. Itu tentu akan lebih baik untuk orang tua maupun anak itu sendiri.Dialog di radio itu juga menyoroti soal rendahnya penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini.Meskipun sudah ada UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga jarang sekali penegak hukum yang mempergunakannya. Padahal dalamUU Perlindungan Anak sudah mengancam hukuman selama 3 tahun jika terjadi penganiayaan ringan, 5 tahun jika terjadi penganiayaan berat dan hukuman 10 tahun jika korbannya mati.Ditambah 1/3 lagi jika pelakunya adalah orang tua si korban.

Begitu juga dengan sosialisasi hukum UU Perlindungan Anak yang mereka nilai masih belum meluas.Masih banyak sekali masyarakat yang belum menegetahui itu.Apalagi aparat penegak hukum yang mempergunakan UU tersebut. Kerjasama antara aparat hukum,aparat kesehatan dan masyarakat Untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak perlu kerjasama antara aparat hukum,aparat kesehatan dan masyarakat. Untuk proses hukumnya sudah jelas kita membutuhkan kerjasama antara kepolisian, kejaksaan dan kehakiman agar pelaku diganjar hukuman berat, tidak sekedar memakai KUHP Pasal 359 tentang penganiayaan tetapi sudah menambahkannnya dengan UU No23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Untuk kasus-kasus anak dengan luka fisik misalnya yang di hadapi oleh (almarhum) Dede, (almahumah) Indah dan Lintang yang terluka bakar oleh ibunya sendiri hendaknya pihak rumah sakit memberikan perawatan secara cuma-cuma kepada pasien. Dan untuk memulihkan psikologinya maka bisa menggunakan jasa psikolog atau pekerja sosial secara gratis.Keterlibatatan masyarakat juga amat diperlukan dalam memerangi kekerasan terhadap anak,yakni dengan mengadukan kepada aparat yang berwajib jika menyaksikan seorang anak mendapat perlakuan buruk dari orang tua ataupun orang di sekeliling anak tersebut kepada aparat kepolisian. Perlu mengaktifkan kembali fungsi RT/RW sebagai garda terdepan untuk menghindari terjadinya kekerasan terhadap anak. Semua hal tersebut perlu ditingkatkan agar anak terhindar dari kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Dalam UU Perlindungan Anak juga diatur apabila ada masyarakat yang mengetahui kekerasan terhadap anak terjadi tetapi tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka akan kena hukuman selama 5 tahun penjara.

Hal yang menarik adalah kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh ibu mereka adalah bahwa ternyata itu berawal dari kekerasan terhadapnya yang dilkukan oleh ayah mereka.Misalnya saja pada kasus (Almarhumah) Indah dan Lintang yang dibakar oleh ibunya berawal dari kekesalan hati ibunya melihat ayahnya selalu bermabuk-mabukan dan tidak pernah menafkahinya secara ekonomi,jadi kehadiran 2 orang anaknya itu dianggap beban oleh sang ibu.Jadi jelas kekerasan terhadap anak berkaitan erat dengan kekerasan terhadap istri. Stop Kekerasan Sekarang Juga! Komnas Perlindungan Anak dan bekerjasama dengan Kantor Menko Kesejehateraan Rakyat telah mencanangkan tahun 2006 ini sebagai tahun kampanye Hentikan Kekerasan Terhadap Anak Sekarang. Kampanye tersebut sekaligus bentuk sosialisasi terhadap UU Perlindungan Anak sebagai UU yang bisa menjerat secara maksimal kepada pelaku kekerasan terhadap anak.Jadi tidak ada alasan lagi bagi aparat penegak hukum hanya mengunakan KUHP pasal 359 yang menyatakan melakukan kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal tetapi sudah dapat mempergunakan UU Perlindungan Anak agar pelaku mendapat ganjaran yang lebih berat. Partisipasi masyarakat juga perlu ditingkatkan dalam menghadapi kekerasan terhadap anak.Laporan dari masyarakat kepada aparat hukum juga diperlukan untuk mengungkap kasus kekerasan terhadap anak. Sudah saatnya kita semua menyatakan TIDAK pada perlakuan kekerasan terhadap anak.

( Dimuat pada www.kabarindonesia.com,pada tanggal 5 Desember 2006,lihat
http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20061205124608 )

2 comments:

Titiana Adinda said...

Dari milis perempuan aku ambil komentarnya:

Dari: Mbak Ashri Putri Rahadi

Rekan Perempuan
Ibu Titiana,

Menanggapi tulisan Ibu Titiana,

Saya prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan fisik, metal dan psikis pada anak-anak di Indonesia. Saya setuju bahwasanya masalah ini adalah fenomena gunung es, kasus yang tercatat hanya menunjukkan sebagian kecil dari fakta yang ada di lapangan. Kekerasan pada anak yang banyak Ibu bahas dalam artikel ibu lebih banyak pada jenis kekerasan langsung (straight) terutama pada fisik.. Kasus kekerasan lainnya banyak, terutama yang berdampak penderitaan psikis. Sebut saja contohnya perselingkuhan (atau bahkan poligami ) yang dilakukan orang tua si anak. Sepanjang saya hidup, teman-teman saya yang Broken Home (cerai, selingkuh, poligami, kekeradan dalam rumah tangga), sang anak memiliki “sakit mendalam” secara psikologis. Dampaknya mungkin tidak bisa dirasakan sekejap, tapi terakumulasi, malah beberapa tidak pernah tersalurkan. Bahkan paling buruknya, saya memiliki teman yang meninggal akibat overdosis karena semenjak stress orang tua bercerai dan ibu dipukuli bapak. Sekiranya saya punya pemikiran semestinya ada pendidikan sebelum menikah (pranikah) bagi setiap pasangan yang akan menikah dan berencana memiliki anak. Pernikahan apalagi memiliki anak seringkali tidak disadari banyak pasangan untuk menomorsekiankan kebutuhan dan keinginin mereka pribadi dan seharusnya menempatkan kepentingan anak diatas segalanya.

Bagaimana Rekan Perempuan?

CIa-o,
-aCI-

Titiana Adinda said...

Dari Mbak Riana:
(aku salin dari blogku di friendster):
tidak jalannya law enforcement... terus terjadinya kekerasan...ada hubungannya dengan kemiskinan. persoalannya gimana caranya mengentaskan kemiskinan???
Posted by: r i a n a | December 19, 2006 06:30 PM