Sunday, December 14, 2008

Terima Kasih PKBI Yogya :-)



Terima kasih banyak untuk PKBI Yogya, hari Jum'at kemarin (12 Desember 2008) hadiah berupa piagam, plakat dan uang sejumlah Rp 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) sebagai pemenang ketiga lomba blog yang diadakan PKBI Yogya sudah aku terima.

Makasih banget ya, semoga blogku yang di http://titiana-adinda.blogspot.com tetap konsisten memunculkan isu anti kekerasan terhadap perempuan. Makasih bgt ya untuk hadiah-hadiahnya yang sangat tidak aku duga.

Salam hangat,

Dinda

Tuesday, December 9, 2008

[Resensi Buku] Poligami; Don’t try this at home






[Resensi Buku] Poligami; Don’t try this at home

Penyusun : Siti Habibah Jazila dan Mail Sukribo
Editor : Nukman Firdausie
Ilustrasi dan Design : Sebikom (Sedang Bikin Komik)
Penerbit : Institue for women rights
Halaman : 30 Halaman


Komik Anti Poligami
Oleh: Titiana Adinda
[Relawan Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Keketasan RSCM]


Aku dapat kiriman dari mas Mail buku komik, nama aslinya Ismail. Aku tak heran karena memang mas Mail ini seorang komikus. Karyanya tampil setiap hari Minggu di harian Kompas berjudul Sukribo. Suka lihat dong karyanya? Tapi yang membuatku penasaran judul buku komik itu Poligami; Don’t try this at home. Bukunya sendiri sangat mengundang keingintahuan karena ilustrasi dan warna pada kavernya yang menarik perhatian. Tidak tebal pula, hanya 30 halaman.

Pada pendahuluan bisa kita temui pengertian poligami. Setelah itu kita masuk pada pembahasan kekerasan terhadap perempuan menurut CEDAW (The Convebtion on Elimination of All of Discrimination Against Women/ Konvensi Kekerasan Terhadap Perempuan) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984. Disebutkan dan digambarkan dengan baik bentuk-bentuk kekerasan itu terdiri dari: Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis.

Kemudian kita baru diajak untuk membahas tentang poligami, dampak poligami pada pelaku (laki-laki), dampak pada anak dan dampak pada perempuan. Kemudian kita diberi pengertian lewat gambar tentunya tentang bagaimana poligami terjadi, yaitu karena dibohongi, pertimbangan daripada jadi perawan tua, menghindari stigma janda. Bab selanjutnya kita akan disuguhkan alasan-alasan yang umum digunakan sebagai pembenar praktik poligami yaitu: Istri dianggap tidak mampu melayani, sangat menginginkan anak laki-laki, Jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, berbagi rezeki karena sudah kelebihan rezeki, melindungi janda/anak yatim, menghindari perzinahan dan perselingkuhan, dan mengikuti sunnah nabi karena merasa dapat berbuat adil.

Pada bagian penutup digambarkan dialog bahwa poligami bukan tradisi Islam, jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban patriarkis, tidak hanya di Arab tetapi juga di peradaban dan belahan dunia lainnya. Secara umu, poligami menimbulkan relasi suami istri yang buruk. Para istri biasanya tidak memperoleh hak-haknya baik nafkah maupun kesenangan.Dan ditutp dengan dialog para tokoh di komik tersebut dengan statemen bahwa “Keberpihakan Islam pada monogami diajarkan secara bertahap. Aku ingat sekarang nabipun akhirnya hingga beliau meninggal hanya beristri satu orang saja”
Sungguh komik yang sangat baik karena bisa menjelaskan dengan baik bahwa poligami merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan melanggar hak-hak asasi perempuan. Sebuah buku yang sangat singkat, menrik, tetapi penuh dengan pesan-pesan. Aku kira langkah mempopulerkan isu tentang penegakan hak asasi perempuan lewat media komik sangat menarik, menginggat minat baca pada orang Indonesia masih sangat rendah. Membaca buku komik ini hanya membutuhkan waktu yang sebentar saja dan sangat visual karena penjabaran maksud dan idenya disampaikan lewat gambat.

Menurut Mas Mail untuk membuat buku komik itu beliau tidak main-main. Perlu dialog dan masukan dari para pemuka agama, untuk menghindari kesalahan penuturan. Aku patut acungi jempol atas usaha Mas Mail, dkk ini karena telah berhasil menyampaikan pesan anti poligami yang jelas merugikan perempuan dan anak.

Apabila tertarik ingin memiliki buku tersebut dapat menghubungi:

Instite For Women Human Rights
Jl. Nagan Tengah No.40 A Yogyakarta 5133
Telp/Fax: 0274- 382393, email: ihap@indosat.net.id

Wednesday, December 3, 2008

[Resensi Buku] Kekerasan Itu Berulang Padaku



[Resensi Buku] Kekerasan Itu Berulang Padaku

Judul : Kekerasan Itu Berulang Padaku
Penulis : Titiana Adinda
Penerbit: Elex Media Komputindo
Genre: Kumpulan kisah nyata (true story)
ISBN: 978-979-27-3578-9


Kekerasan Itu Berulang Padaku
Oleh: Ajeng Nirmala
(Single parent dengan 2 orang anak, bekerja sebagai karyawan swasta)

Membaca buku ini seperti mengingatkan saya akan peristiwa yang pernah terjadi padaku beberapa tahun silam. Ya saya pernah menjadi korban kekerasan terhadap perempuan seperti sepuluh kisah dalam kumpulan kisah ini. Pelakunya tak lain adalah suami saya sendiri (sekarang kami sudah bercerai). Dulu waktu saya bercerai belum ada undang-undang perlindungan kekerasan dalam rumah tangga.

Pengalaman saya melapor peristiwa kekerasan yang saya alami ke polisi sungguh tidak menyenangkan. Polisi tidak peduli dengan keadaan saya ketika itu. Begitu juga ketika dipersidangan, mantan suami saya tidak dihukum apa-apa karena kekerasan yang dia lakukan kepada saya. Padahal rasa sakit disekujur tubuh saya akibat ditendang, dicekik dan ditampar, serta dicaci maki meninggalkan luka yang dalam dihati saya. Tapi saya bersyukur bisa terbebas dari kekerasan dalam rumah tangga itu.

Memang betul seperti yang disampaikan oleh penulis buku ini bahwa pelaku kekerasan sering kali memberi hadiah misal bunga, pakaian, atau coklat sesudah kekerasan terjadi. Hal itu yang membuat saya kacau pikirannya untuk meminta cerai. Apalagi saya sudah punya dua orang anak dan pernikahan saya tidak direstui oleh orangtua saya. Seperti dalam kisah yang banyak ditulis dibuku ini, meski tidak semuanya tidak direstui orangtuanya. Saya bisa merasakan perih dan pedihnya penderitaan para korban di buku itu.

Laki-laki memang brengsek! Sukanya menjahati perempuan. Meski saya tahu tidak semua laki-laki seperti itu. Tapi koq rata-rata begitu ya kelakuannya? Mungkin itu karena persoalan relasi gender yang timpang. Ketidakberdayaan dan ketidakkuasaan perempuan untuk melawan merepresentasikan bagaimana perempuan telah dikonstruksi menjadi pihak yang tidak punya posisi tawar atau bernilai rendah dalam status sosial daripada laki-laki. Hal itu saya kutip dari pernyataan Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dalam Pengantar Ahli dalam buku ini.

Buku ini juga terasa betul manfaatnya, karena kita tidak hanya diceritakan kisah-kisah kekerasan terhadap perempuan tetapi juga diberi pengetahuan tentang apa itu kekerasan terhadap perempuan dari dua orang ahli yaitu dr.Mutia Prayanti Errufana, SpOG dan Mariana Amiruddin. Juga didalam buku ini dilampirkan tentang tips jika anda menjadi korban kekerasan, alamat women crisis centre seluruh Indonesia, serta sekilas tentang UU No.23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pokoknya saya tidak merasa rugi membeli buku ini. Terima kasih kepada Titiana Adinda sang penulis buku ini, yang sudah menuliskan dengan baik buku kisah nyata ini. Sehingga saya larut dibawa oleh ceritanya sampai tak terasa saya menitikkan airmata setelah membaca buku ini. Terima kasih.

Tuesday, December 2, 2008

Laporan Donasi PKT RSCM

Laporan Donasi PKT RSCM
(Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
RS. Cipto Mangukusumo)


Bersama ini kami laporkan penerimaan uang bantuan/sumbangan/zakat maal/infaq/shadaqoh Bpk/Ibu sekalian kepada PKT RSCM (Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan RS.Cipto Mangukusumo)

Adapun mereka yang berbaik hati membantu biaya operasional PKT RSCM adalah:

Bulan April 2008:
1. Martha Ismail Santoso Rp 500,000
2. Subiyantoro Rp 50,000
3. Sadiqah Begum Rp 150.000
4. No Name Rp 350,000
5. No Name Rp 250,000
6. Dewi Puspitasari Rp 100,000

Bulan Mei 2008
7. BTM Rp 20,000
8. Sahrani Alzam Rp 50,000
9. No name Rp 500,000
10. Valia Irawati Rp 200,000
11. Nita Ristanti Setiadi Rp 50,000
12. No Name Rp 500,000
13. Khairani Rp 50,000
14. Ivonne Lestari Rp 70,000
15. Purwandari Rp 250,000

Bulan Juni 2008
16. Sahrani Alzam Rp 50,000
17. Mia Savitri Rp 50.000
18. Triana (Rina) Rp 5,000,000
19. Nita Ristanti Setiadi Rp 50,000
20. Sjenny A Hartono Rp 100,000

Bulan Juli 2008
21. Mia Savitri Rp 50,000
22. Valia Irawati Rp 500,000
23. Indigy Rp 1,000.000
24. Nita Ristianti Setiadi Rp 50,000
25. Fiona Rp 200,000

Bulan Agustus 2008
26. Mia Savitri Rp 50,000
27. Devi Prita Sekarcita Rp 250,000

Jumlah seluruhnya adalah Rp 10,440,000
(Sepuluh juta empat ratus empat puluh ribu rupiah)

Terima kasih sekali kami ucapkan kepada para penyumbang. Semoga dana itu bisa kami gunakan untuk membantu biaya operasional guna menolong perempuan dan anak korban kekerasan.

Bagi Bpk/Ibu yang ingin mengirimkan bantuan/sumbangan/zakal maal/infaq dan shadaqohnya silahkan kirim ke rekening kami di :

Nama pemilik rekening: Pusat Krisis Terpadu
Bank: Bank Mandiri
Cabang : RS.Cipto Mangukusumo
No.Rekening: 122-00-0002497-9

Kami akan melaporkannya pada bulan Maret 2009.

Tak peduli seberapa jumlah yang Bpk/Ibu berikan yang pasti dana itu pasti berguna untuk para perempuan dan anak korban kekerasan yang datang ke PKT RSCM. Apabila ada pertanyaan tentang PKT RSCM ini silahkan kirim email ke titiana.adinda@gmail.com / titiana.adinda[at]gmail.com atau menelpon ke 021-316 2261 (dgn Nola/sekretaris PKT) atau 08588 243 8950 (dgn Dinda).

Hanya do’a yang bisa kami panjatkan semoga Tuhan menerima kebaikan Bpk/Ibu dan melipatgandakan rezeki kepada Bpk/Ibu. Amin

Hapus kekerasan terhadap perempuan !

Terima kasih

Hormat Kami,



Dr.Mutia Prayanti, SpOG Titiana Adinda
Ketua PKT RSCM Relawan Fundraising PKT RSCM

Aku berduka....

Hari ini mbak yg menderita kanker anus (yg sebelumnya ku kira kanker usus) meninggal dunia. Aku berduka sekali...Aku sedih...Masih tergiang semangat hidupnya yg dia ucapkan dan cita2 mulianya untuk mati syahid.

Mbak, selamat jalan... Semoga Tuhan memberimu tempat yang terbaik. Kesakitanmu sudah berakhir sekarang. Mbak, aku menyimpan rinduku padamu.

Insya Allah kisah ttgmu akan kami selesaikan mjd sebuah buku. Do'akan kami bisa menuliskan itu sesuai keinginanmu.

Istirahat yang tenang ya mbak... Selamat jalan mbak...

Friday, November 28, 2008

Kekerasan Dalam Pacaran





Kekerasan Dalam Pacaran

Oleh: Titiana Adinda

Jatuh cinta berjuta rasanya. Itulah pepatah yang mungkin juga ada benarnya. Sampai-sampai meskipun pacar kita melakukan kekerasan kepada kita seperti memukul, menampar, memaksa berhubungan seksual, bahkan meminjam uang tanpa pernah mengembalikan kita pasrah saja. Sekarang saatnya mengatakan tidak jika itu dilakukan oleh pacar kita. Baru pacaran aja sudah berani melakukan kekerasan, gimana kalau nikah nanti?

Ingatlah:
• Kekerasan terjadi bukan salah kamu
• Kamu tidak patut mendapat kekerasan
• Kamu tidak dapat mengubah perilaku kasar/perbuatan kekerasan seseorang
• Bertahan dengan kekerasan tidak akan menghentikan kekerasan
• Jika kamu tetap ingin bertahan, buatlah perencanaan yang membuat diri kamu aman dari kekerasan berikutnya

Kenalilah pacar kamu jika dia adalah pelaku kekerasan:

Tanda-tanda kalau pacar kamu adalah pelaku kekerasan:
- Dia sangat cemburu buta kepada kamu
- Ingin tahu keberadaan kamu setiap waktu
- Marah jika kamu menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman
- Menyalahkan kamu dan orang lain atas kesalahan dirinya
- Memperlakukan kamu dengan penuh kekerasan

Apa yang harus kita tahu dari pelaku kekerasan?
- Dia mencoba mengisolasimu dari keluarga dan teman-teman
- Dia menyangkal kebiasaannya melakukan kekerasan
- Dia mengontrol penuh perilakumu
- Dia menyalahkan korban
- Dia selalu mengurangi pertemuan kamu dan teman-teman serta keluarga kamu
- Dia kadangkala minim kepercayaan dirinya
- Dia kemungkinan besar pernah menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya atau menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga

Tips aman kamu berpacaran :
- Janganlah berpacaran hanya berduaan dalam tempat yang sepi
- Hindarilah hubungan seksual sebelum menikah karena banyak merugikan perempuan
- Berani untuk menolak kemauan pelaku jika dia mengajak kamu berhubungan seksual
- Jangan sekali-kali percayakan ATM/Buku Tabungan kamu kepadanya
- Jangan percaya 100% pada ucapannya
- Lakukan visum et repertum di Rumah Sakit kalau luka kamu dikarenakan kekerasan
- Pelajari ilmu beladiri Self Defense For Women (Pertahanan Diri untuk Perempuan) untuk berjaga-jaga kalau kekerasan terjadi pada kamu

Ok teman-teman, jadi mulai sekarang berpacaranlah dengan cara yang sehat. Lebih baik menjomblo daripada kamu berpacaran tetapi jadi korban kekerasan. Buat kamu yang telah menjadi korban kekerasan dalam pacaran ini. Kamu bisa berkonsultasi dengan para psikolog di lembaga perempuan di antaranya:
1. Yayasan Pulih, Telpon: 021-78842580 / 021-9828639, Fax: 021-78842580
Hotline Konseling: 08881816860
2. Mitra Perempuan Telp/fax: 021-8291708 /
Hotline: 021-83790010.
3. Pusat Krisis Terpadu RSCM. Telp: 021-316 2261

Tenang aja biaya konsultasinya gratis koq! Jadi jangan ragu ya untuk datang berkonsultasi. Semoga gaya berpacaranmu sehat ya? Dan jauh dari kekerasan dalam pacaran. Lebih baik menjomblo deh daripada terikat dengan pacar yang suka melakukan tindak kekerasan kepadamu.

***TA***

Thursday, November 27, 2008

Waduh blogku ini dapat award (",)

Waduh aku kaget bgt ternyata blogku yang di http://titiana-adinda.blogspot.com dapat award dari PKBI Yogya sebagai pemenang ke-3. Aku gembira bgt karena tidak menyangka blogku akan mendapatkan award. Padahal kalo tau aku belajarnya waktu pertama kali bikin blog susahnya minta ampun. Terima kasih untuk mbak Riana Puspasari yang sudah amat berjasa karena memberikanku buku-buku tentang bagaimana memodifikasi blog.

Blogku masih jauh dari sempurna, tapi kalau isinya bermanfaat aku senang. Artinya aku bisa menyampaikan informasi ttg kekerasan terhadap perempuan, aktivitas PKT RSCM, buku-buku tulisanku, bahkan tak jarang curhatan hatiku. He..He..

Makasih bgt ya untuk PKBI Yogya. Semoga award ini bisa memotivasiku untuk banyak memuat isu tentang kekerasan terhadap perempuan. Terima kasih byk bgt...

Lihat beritanya di: http://cahandong.org/2008/11/27/penerima-pkbi-blog-award.html

Tuesday, November 25, 2008

Ada pihak keberatan dengan wawancaraku di The Jakarta Post dan Republika

Ada pihak keberatan dengan wawancaraku di The Jakarta Post dan Republika


Rupanya ada pihak yang keberatan dengan wawancaraku di The Jakarta Post dan Republika. Mereka tidak merasa memecatku dan merasa membayarkan pesangonku. Padahal kisah aslinya adalah aku mesti berjuang dulu selama 15 bulan baru aku diberi pesangon. Menyiksa bukan 15 bulan menunggu? Padahal ketika itu aku sedang sakit parah. Untung masih kusimpan sms-sms dan email rayuan agar aku tidak mengugat mereka. Walaupun aku akhirnya mendapatkan pesangon itu karena aku berani menguggat mereka. Itupun aku mengunakan jasa pengacara. Tak tahu bagaimana ceritanya kalau aku berjuang sendirian. Untunglah ada kawan pengacara yang berbaik hati mau menolongku. Aku benar-benar sakit parah ketika itu.

Memang rasanya sakit sekali bagai teriris hati ini. Aku bahkan belum bisa melupakan peristiwa itu. Meskipun setiap hari aku berdo’a kepada Tuhan agar segera bisa melupakan peristiwa yang panjang dan melelahkan tersebut. Aku heran dengan pandangan mereka kepadaku. Sehingga perspektif kemanusiaan melihat kawannya sedang sakit keras tidak ada sedikitpun rasa kasihan. Padahal aku tidak masuk kerja karena tidak ingin menularkan sakitku yang menular ini kepada mereka. Tidakkah mereka mengetahuinya kalau penyakit yang aku idap ini menular?

Sudahlah semua sudah masa lalu, aku ingin sekali melupakannya tetapi tidak untuk memaafkannya. Biar nanti di pengadilan Tuhan semuanya akan jelas terlihat siapa yang menjadi korban sesungguhnya.

Kini aku bahagia dengan hidupku, walaupun bayang-bayang masa lalu masih menghantuiku. Tetapi aku telah terlahir menjadi orang baru. Aku sedang berusaha melupakan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupku. Do’akan aku...

Friday, November 14, 2008

Nulis True Story Kanker Usus

Besok pagi Insya Allah aku dan mbak Riana akan ke suatu tempat dan akan wawancara pasien kanker usus yang luar biasa tegarnya. Ini adalah pertemuan keduaku dengannya. Aku deg-degan mau wawancara dengannya. Nggak tahu ya koq bisa begitu. Kondisi pasien sudah sangat mengkhawatirkan. Buang air besarnya sudah melalui perutnya karena anusnya sudah dioperasi. Katanya dokter sudah memvonisnya ajal akan menjemputnya dalam waktu tidak lama lagi. Ya Allah berikanlah tempat terbaikmu untuknya, ampuni dosa-dosanya, amin. Semoga besok aku akan tegar mewawancarainya untuk kemudian menulisnya bersama mbak Riana dalam sebuah buku. Amin

Sunday, October 26, 2008

Wawancaraku di Republika, 26 Okt 08, Minggu

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/119/news_id/10030

2008-10-26 11:13:00

Titiana Adinda
Kami Ini Kumpulan Orang-orang Optimistis

Menjadi difabel di usia dewasa sungguh merupakan cobaan hebat bagi Titiana Adinda. Perempuan ini setahun penuh berjuang memulihkan fisiknya yang terlumpuhkan oleh meningoensefalitis tb. ''Januari 2004, saya terkena radang infeksi otak yang disertai dengan serangan tuberkulosis,'' kenang Dinda, begitu ia akrab disapa.

Dinda tak tahu asal penyakit itu. Serangkaian gejala --sering pusing dan demam-- tak pernah dihiraukannya hingga suatu hari ia kejang dan tak sadarkan diri. ''Kemungkinan, aku kena bakteri ini saat kunjungan kerja ke daerah atau semasa bertugas ke luar negeri,'' kata dara kelahiran Jakarta, 19 Februari 1979, ini.

Sebelum dilumpuhkan meningitis tb, Dinda memang sangat aktif bepergian. Dalam sebulan, terhitung hari ia berada di Jakarta. ''Selebihnya, saya ke daerah untuk advokasi maupun mengadakan pelatihan sesama aktivis. Entah ke Surabaya, Flores, atau Makassar,'' ungkap Dinda.

Sebelum terserang meningitis, Dinda sempat ke Singapura dan Thailand. Ia dikirim untuk mengikuti pelatihan seputar hak asasi manusia. ''Di Bangkok, tahun 2002, aku menjadi pembicara,'' kata dia.

Hidup Dinda sontak berubah menyusul serangan meningitis. Ia sempat amnesia. ''Sebulan dirawat di RS Pusat Pertamina, 13 hari di antaranya, saya koma.''

Ujian buat Dinda menjadi-jadi setelah ia di-PHK secara lisan dari Komnas Perempuan. Sejak tahun 2000, Dinda bergabung dengan Komnas Perempuan. ''Saat di-PHK secara lisan, saya bertugas sebagai asisten koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Korban di Komnas Perempuan,'' ucap Dinda.

Sebagai karyawan tetap, Dinda terusik tidak diberhentikan secara tertulis dan tak mendapat pesangon. Ia tak tinggal diam. ''Saya kemudian menggugat Komnas Perempuan.''

Dalam masa pemulihan tubuhnya, Dinda memperjuangkan hak-haknya. Momen itu ia rekam dalam sebuah buku berjudul Harapan Itu Masih Ada. Berikut petikan kisah hidup penuh warna yang diceritakan Dinda kepada wartawan Republika, Reiny Dwinanda dan fotografer Amin Madani, Selasa (14/10) pekan lalu:

Sebagai orang yang dinamis, bagaimana rasanya terlumpuhkan oleh penyakit?
Awalnya, saya kesal, nyaris putus asa. Saya mempertanyakan apa maksud Tuhan memberi penyakit ini. Tetapi, kemudian saya berbaik sangka kepada Tuhan. Mungkin, dengan cara ini, Allah SWT menyuruh saya istirahat. Kalau tidak, mungkin saya akan menjadi orang yang tak tahu diri.
Sebab, saya sering sekali keliling, ke luar kota. Waktu saya malah lebih banyak di luar kota ketimbang di Jakarta. Banyak daerah yang sudah saya kunjungi. Kaki saya pernah menjejak di sebagian besar Jawa, Flores, Makassar, juga Bengkulu.

Sudah pernah ke Papua?
Nah, itu dia. Sebelum kena meningitis, saya sedang bersiap ke Papua. Tapi, keburu sakit. Nggak jadi deh....

Apa sebetulnya yang Anda lakukan di daerah-daerah yang Anda kunjungi?
Saya melakukan advokasi ke pemerintah daerah. Tujuannya agar perda lebih berpihak kepada perempuan. Saya melobi pemerintah daerah agar memiliki pusat pemulihan korban kekerasan. Saya juga men-training aktivis kemanusiaan.

Begitu terserang meningitis, apa yang berubah dari hidup Anda?
Saya kehilangan pekerjaan. Lima belas bulan lamanya saya memperjuangkan hak untuk mendapatkan surat pemecatan dan pesangon. Johnson Panjaitan dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) membantu saya tanpa berbayar. Tahun 2006, keinginan saya terpenuhi. Sejujurnya, saya hanya ingin mendidik Komnas Perempuan bagaimana bersikap kepada karyawannya yang sakit. Jangan PHK orang sembarangan.
Selain itu, saya juga sempat ditinggalkan oleh teman-teman di Komnas Perempuan. Mereka sesungguhnya hanya khawatir dengan atasannya. Tetapi, kini kami berteman baik kembali. Saya kini bekerja sebagai staf administrasi kantor hukum Adhikoro, Purwanto, dan Rekan.
Fisik saya juga berubah. Kelopak mata kiri saya mengecil dan pandangan saya jadi dobel. Bagian kanan tubuh sempat lumpuh hingga membuat saya harus berkursi roda setahun penuh. Kini, saya sudah bisa berjalan dengan bantuan tongkat. Semoga bisa lepas tongkat dalam waktu dekat. Sejujurnya, saya belum percaya diri. Saya masih takut jalan tanpa tongkat. Saya takut jatuh. Soalnya, meski sudah setahun lewat terbebas dari penyakit, keseimbangan badan saya tetap tidak seperti orang sehat lainnya.
Saya masih sukar menulis banyak. Tangan saya cepat letih. Tetapi, untuk mengetik, tak ada masalah. Karena itu, saya rajin mengisi blog titiana-adinda.blogspot.com.

Apa yang memotivasi Anda menuliskan perjalanan penyakit ini?
Saya tidak hendak mengumbar kesedihan. Meningoensefalitis belum banyak dikenal orang. Saya ingin berbagi. Mungkin ada yang mengalami seperti saya. Saya ingin memberi tahu penyakit ini berbahaya. Untuk menghindarinya, jagalah daya tahan tubuh. Vaksinasi diri ke rumah sakit terdekat bagi mereka yang sering bepergian ke tempat endemi meningitis.
Setelah kena meningitis, saya sadar pentingnya asuransi kesehatan. Saya harus menjalani fisioterapi, terapi wicara, dan hidroterapi yang membutuhkan uang yang tak sedikit. Saya bersyukur ada seseorang yang sangat perhatian yang membantu dana pengobatan. Beliau tak mau dipublikasikan namanya.

Anda juga menulis buku Kekerasan Itu Berulang Padaku. Dari mana narasumbernya Anda dapatkan?
Di buku ini terdapat 10 kisah nyata perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan psikologis. Lima orang di antaranya adalah mereka yang pernah curhat dengan saya. Lima orang lainnya merupakan klien Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo (PKT RSCM).
Saya fund raiser di PKT RSCM. Saya bergabung sejak tahun 2006. Latar belakang pendidikan saya Politeknik Universitas Indonesia jurusan Manajemen Keuangan. Saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia hanya sampai semester enam. Saya tidak punya pengetahuan psikologi.
Untuk mendapatkan cerita dari korban yang mendatangi PKT RSCM, saya meminta bantuan pekerja sosial. Para korban kekerasan itu sepakat untuk berbagi kisah. Mereka menceritakan kronologisnya secara tertulis. Saya meramunya menjadi sebuah kisah. Nama, pekerjaan, dan latar belakang lainnya saya samarkan. Hanya inti ceritanya yang saya sajikan di buku ini.

Dari menulis kisah nyata tersebut, kesimpulan apa yang Anda dapatkan tentang berulangnya kekerasan terhadap perempuan?
Perempuan yang mengalami kekerasan masih banyak yang takut melapor ke polisi. Tanpa pelaporan, sukar memutus mata rantai kekerasan. Mereka takut melapor karena banyak hal. Mulai dari ketergantungan ekonomi, khawatir menjadi aib bagi keluarga, dan pertimbangan masa depan anak.
Ketakutan macam ini terjadi merata di seluruh lapisan perempuan. Yang terdidik maupun tidak. Dari yang paling kaya sampai yang paling miskin.

Apa saran Anda bagi perempuan yang akan menikah. Bagaimana cara praktis mengenali tabiat calon suami?
Lamanya masa pacaran bukan garansi. Mungkin, selama itu, pria masih jaga image. Waspada saja jika pasangan mulai mencoba meng-isolir Anda, memaki, memukul, dan berlaku tidak jujur.
Ingat, cemburu berat bukan berarti cinta. Cemburu berat merupakan kekerasan. Dikategorikan begitu karena pada dasarnya rasa cemburu itu bersifat ingin mengendalikan.

Pandangan serupa Anda sampaikan ke calon suami?
Tentu saja. Saya minta rumah tangga kami nantinya didasari dengan prinsip no violence. Dia mengerti itu. Kami sesama aktivis. Hubungan kami sudah seperti adik-kakak. Sejak menjadi difabel, saya tak bisa lagi main ke toko buku dan nonton ke bioskop dengannya. Fasilitas umum di Ibu Kota belum bersahabat dengan orang yang bertongkat seperti saya.

Beberapa waktu lalu Anda mengangkat permasalahan pendanaan PKT RSCM ke media massa. Ada yang berubah setelah problem itu diliput wartawan?
Tentu ada. Tujuan kami ingin membuat persoalan ini diketahui banyak orang. Masyarakat kemudian banyak yang tergugah membantu. Dari April hingga Agustus 2008, donasi yang masuk ke rekening PKT RSCM mencapai Rp 10.440.000. Dana ini cukup untuk operasional tiga bulan.
Kami juga mendapat donasi dari UNFPA Rp 46 juta. Lantas, ada Rp 30 juta dari UNIFAM untuk mendirikan PKT support group. Namun, kondisi PKT RSCM statusnya masih gawat. Kami masih mengadvokasi pemerintah agar menyediakan dana dari APBN dan APBD. Ini sejalan dengan amanat PP no 4 tahun 2006.

Kabarnya, menyusul pemberitaan seretnya dana PKT RSCM, Anda mendapat e-mail dari anggota DPR.
Betul. Beliau menanyakan kebenaran berita itu. Saya sudah tanggapi. Setelah dua e-mail, tak pernah ada progres. Kontak terputus. Mungkin nanti jelang pilpres 2009 ada yang mau mengangkat isu ini sebagai bahan kampanye.

Selagi dana PKT RSCM masih belum lancar, Anda dan rekan kini malah menggagas proyek pembuatan buku kumpulan foto perempuan korban kekerasan...
Senin (13/10) kemarin kami baru mendiskusikannya. Rencananya, bulan depan kami mulai bekerja. Ada tiga fotografer yang sudah bergabung. Nantinya akan ada rekrutmen terbuka untuk para fotografer yang ingin terlibat dalam proyek ini. Buku ini merupakan proyek pertama foto perempuan korban kekerasan yang digarap serius.
Mengapa ini penting? Foto itu penting untuk edukasi. Jika digarap dengan benar --seperti buku Living With The Enemy, kisah nyata karya fotografer Donna Ferrato-- foto perempuan korban kekerasan bisa bermanfaat. Ferrato telah berbuat sesuatu untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dengan mendokumentasi dan menyebarkan hasil fotonya kepada orang lain.
Kami di PKT RSCM adalah kumpulan orang optimistis. Kami maju saja dengan konsep tersebut. Kami percaya berjalan dengan tujuan yang baik. Masak sih Tuhan tidak bantu. Sebagai fund raiser, saya akan melobi donor asing dan pemerintah. Susah banget. Tetapi, Lillahi Ta'ala sajalah.


Jengah Bermanja-manja

Titiana Adinda adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Putri pasangan (alm) Tosanto dan Titisari ini tak sontak menjadi anak manja meski berstatus anak bontot. Sang bunda ingin sekali Dinda bermanja dengannya. Namun, Dinda tak mau. ''Saya justru jengah bermanja-manja,'' ungkapnya.

Dinda tumbuh sebagai gadis yang sangat mandiri. Sejak bekerja, Dinda pisah rumah dengan bundanya yang menetap di Depok, Jawa Barat. Selagi bekerja di Komnas Perempuan, Dinda mengontrak rumah di Rusun Harum, Tebet, Jakarta Selatan. Kini, ia bersama teman mengontrak rumah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. ''Sejak memakai tongkat, saya tak memiliki alternatif transportasi selain taksi. Lebih mahal, memang. Tapi mau bagaimana lagi.''

Bekerja sebagai staf administrasi di kantor hukum, Dinda tak lagi sesibuk seperti dulu di Komnas Perempuan. Seminggu sekali, ia datang ke PKT RSCM. ''Saya lebih banyak mengisi waktu dengan menulis blog, artikel, dan buku,'' kata alumnus SMA Negeri 1 Cibinong, Jawa Barat, ini.

Lantas, bagaimana cara Dinda bersenang-senang? Dinda mengaku senang menonton VCD. ''Tetapi, bukan yang action dan horor. Saya tak habis pikir mengapa orang harus disakiti...''

Dinda juga suka membaca buku, terutama komik Donald Bebek dan Doraemon. Belum lama ini, koleksi komik kesayangannya diminta oleh keponakan Dinda. ''Tante kan sudah gede. Nggak usah koleksi komik,'' kata sang keponakan merayu.

Dinda berpikir argumentasi keponakannya ada benarnya. Lantas, ia pun merelakan komik koleksinya untuk berpindah tangan. ''Lebih dari 25 komik koleksi yang saya kirimkan untuknya,'' ujar Dinda yang juga penulis buku Self Defence for Women ini sumringah.

Dinda juga menikmati hari dengan bersantap malam di area wisata malam di Kemang, Jakarta Selatan. Namun, ia tak suka nongkrong hingga larut malam. ''Saya tak suka kehidupan malam. Lebih enak main internet!'' serunya.

Saturday, October 25, 2008

"My Aura"












gURL.comI took the "The Aura Color Personality" quiz on gURL.com
My aura is...
violet

In the world of auras, violet is the color of visionaries. Violets are inspired individuals who are filled with enormous amounts of compassion for the human race. They are usually committed to great causes--think environmental or peace activism--that they think will save the world. Read more...

What color is your aura?


Sunday, October 19, 2008

Wawancaraku di The Jakarta Post, Minggu, 19 Oktober 2008

Titiana Adinda: Fighting violence against women

Prodita Sabarini ,  The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Sun, 10/19/2008 11:00 AM  |  People

Writer and women's rights activist Titiana Adinda, 29, is a fighter: Partly paralyzed by meningoencephalitis in 2004 and laid off upon her return to work 18 months later, she refused to give in to her illness and continued the work she loved the most: Fighting violence against women.

On a sweltering hot day, Titiana dragged her right foot while leaning on a walking stick.

She posed for the The Jakarta Post photographer by a wall-length window at the law firm where she now works.

"I'm supposed to be able to walk without this walking stick. But I'm still nervous walking without it. I'm afraid of falling," Titiana said.

"I'm certain, however, that someday I will be able to walk again without using the stick."

Titiana spoke as if making a promise to herself. Four years ago, after recovering from a 13-day coma caused by the bacterial infection that attacked her brain, she found herself unable to move the right side of her body.

Now, she can walk and use her right hand. Her speech ability, which deteriorated after the illness, has been restored.

Her determination to get better is parallel with her determination in fighting violence against women.

While she was still seriously ill in 2006, she organized a self-defense class for women and wrote a book about it. In the same year, she volunteered as a fund-raiser at Cipto Mangunkusumo hospital crisis center for women and children who are victims of abuse, which opened in 2000. She has also published a collection of true stories about violence against women.

"I feel that it is our responsibility to address the problem of violence against women and children. I'm not going to give up on that just because of my illness," she said.

Currently she is busy looking for donations for the crisis center, which is on the verge of shutting down because of lack of funding for operational costs.

"Victims of abuse receive treatment for free at the crisis center, because usually they do not have access to finance," she said.

The local administration funds the medicines and medical facilities needed for the treatment of victims of abuse but does not pay the salaries of the center's staff.

The crisis center has about 20 employees, including doctors, nurses and psychologists.

"We recently received a donation of around Rp 46 million from a UN organization which is enough to cover two months' operational costs. After those 2 months, we will have to search for donations again," she said.

"The operational cost of the center is high because it's open 24 hours."

Titiana said that from January to May this year the center treated 298 women and children victims of abuse.

"We need help to keep going," she said.

Titiana said her passion to help victims of abuse started when she was at school.

"I used to listen to my friends talking about problems at home, where domestic violence occurs. Domestic violence is all around us and it needs to be addressed," she said.

Before falling ill, Titiana worked at the National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan).

In her book Harapan Itu Masih Ada (There is Still Hope), she told the story of her illness and how she fought for her right to get severance pay from the commission, which fired her without reason.

"I did not want to write my story at first. It's really personal and I didn't want to parade my sadness. But a friend who worked in the publishing company persuaded me to do it," she said.

A lot of families of patients of meningoencephalitis contacted her after the book came out.

"It's nice to spread optimism among families and patients about this illness," she said.

The doctors have declared that she has been cured of her illness.

"I'm really lucky," she said. "Most of the people that have the illness don't make it."

Titiana said she would continue her work as an activist, with several fund-raising projects in mind. She also has ideas for future books.

Her next projects will be the memoir of a gay friend who was abused in Aceh and a book on the lives of obese people.

 

Wednesday, October 8, 2008

[Buku Baru] Kekerasan Itu Berulang Padaku




[Buku Baru] Kumpulan Kisah Kekerasan Terhadap Perempuan

 

Judul Buku                  : Kekerasan Itu Berulang Padaku

Penulis                         : Titiana Adinda

Genre                          : Kumpulan Kisah Nyata (True Story)

Penerbit                       : Elex Media Komputindo (Gramedia Group)

Tahun Terbit                : 2008

Pengantar Ahli            : dr. Mutia Prayanti, SpOG (Ketua PKT RSCM)

                                      Mariana Amiruddin (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan)

 

 

Kisah kekerasan terhadap perempuan sering terjadi di sekitar kita. Dampaknya selain menimbulkan luka fisik juga luka psikologis. Para korban enggan melapor karena takut pada ancaman pelaku atau menggangap kekerasan itu sebagai aib keluarga.  Fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan semata masalah pribadi, tapi juga merupakan tanggungjawab negara dan masyarakat. Masyarakat maupun penegak hukum harus terlibat untuk mengatasi dan menyelamatkan perempuan dari segala bentuk kekerasan.

 

Buku ini berisi sepuluh kisah nyata tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan saat berpacaran. Mulai dari suami yang suka menyiksa dan tak mau memberi nafkah, sampai kisah korban yang melakukan aborsi karena sang pacar tak ingin bertanggungjawab.

 

Hapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan!

Monday, September 22, 2008

Melukis Pelangi


Melukis Pelangi

Oleh : Titiana Adinda

 

Malam ini kuingin melukis pelangi,

Tidak bisa kata bundaku sebab hari sudah gelap...

Aku bilang aku ingin melukisnya di buku gambar,

Meski tak seindah Tuhan yang membuatnya...

Semua warna kusiapkan sudah...

Tetapi warna biruku tiada

Hilang entah kemana...

Tetap kulukis pelangi itu tanpa warna biru...

Tampak tak indah memang...

Tapi tak mengapa toh kepuasan adanya dihati kita..

Bukan dimata kita...

 

 

Senin, 22 September 08 di kamar tidurku.

For someone: Don’t give up....

 

 

Monday, September 1, 2008

[Resensi Buku] Fotografi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan


[Resensi Buku] Fotografi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Judul Buku: Living With The Enemy
Karya Fotografer: Donna Ferrato
Genre : Kisah Nyata (True Story)
Bahasa : Inggris
Halaman: 175 halaman
Fotografi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Oleh : Titiana Adinda
[Relawan Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak RSCM]
Aku dihadiahi buku ini seminggu yang lalu oleh sahabatku yang baik hati. Dia memesannya lewat www.amazon.com. Total harga buku dan biaya pengiriman ke Indonesia sejumlah Rp 400.000,- (Empat Ratus Ribu Rupiah). Hmm..Bukan harga yang murah ya hanya untuk sebuah buku. Apa sih istimewanya buku ini? Sampai aku ingin sekali memiliki buku ini.
Pertama kali melihat buku ini dari temanku seorang fotografer bernama mas Ahmad ‘Deny’ Salman. Kami, bersama-sama dgn PKT RSCM dan Jurnal Perempuan serta para fotografer sedang merancang sebuah program tentang fotografi kasus kekerasan terhadap perempuan. Sekarang sedang masa pematangan program dengan diskusi-diskusi yang kami adakan.
Begitu melihat buku ini kesan pertama adalah buku ini amat ‘lux’ pasti bukan buku biasa. Termasuk tema yang diangkat oleh fotografernya yaitu Donna Ferrato. Ya dia mengambil foto perempuan korban kekerasan. Ada foto korban kekerasan yang berdarah-darah, di rumah sakit, pertemuan para perempuan dalam kegiatan support group, di kepolisian, perempuan latihan self defense for women (latihan pertahanan diri untuk perempuan) hingga perempuan-perempuan yang dihukum dipenjara akibat upayanya bertahan dari kekerasan yang dihadapinya. Semua terlihat dari foto sepanjang buku itu. Misalnya kita bisa melihat bagaimana reaksi seorang anak kepada ayahnya yang telah melakukan kekerasan terhadap ibunya. Terlihat dalam foto itu anak tersebut marah sambil menunjuk ayahnya yang saat itu sudah dipegangi oleh polisi. Semu foto-foto tersebut adalah hitam putih.
Buku ini benar-benar membawa pelajaran baru untukku. Bagaimana seharusnya masalah kekerasan terhadap perempuan harus masuk dalam ranah publik bukan lagi dalam ranah domestik. Tentu saja dalam proses pembuatan buku ini setiap korban yang akan dipublish fotonya akan dimintai dulu ijinnya. Fotografer tidak boleh sembarangan mem-publish foto tersebut. Karena itu menyalahi hak korban atas perlindungan kerahasian identitasnya. Dan itu yang harus dipegang oleh setiap fotografer yang ingin memfoto korban kekerasan terhadap perempuan.
Buku ini relatif lengkap selain dipenuhi oleh foto-foto kasus kekerasan, ilustrasi kasus, penjelasan foto juga ada penjelasan tentang apa itu kekerasan terhadap perempuan serta kemana para perempuan bisa meminta pertolongan. Ada alamat lengkap lembaga perempuan penyedia layanan bagi perempuan korban (women crisis centre). Kita patut menyimak kalimat pembuka dalam buku tersebut:
Domestic violence is a human rights emergency. Donna Ferrato’s photographs are a call to acyion.
- No one can deserves to hit, beaten, threatened, humiliated or otherwise subjected to physical or emotional harm.
- Everyone can help stop domestic violence if given the tools and information.

We hope by providing the information in the following pages, more poeple will be able to:
- Reach out for help
- Offer support and information
- Feel confident in approaching someone in an
- Upload human rights for all
Information is power. Read this book, get the facts, share what you know woth others –and take action. Domestic violence can be stopped. All poeple have the rights to live with respect and dignity- free from fear.
Ya Donna Ferrato sang fotografer telah berbuat sesuatu untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dengan mendokumentasi, dan menyebarkan hasil fotonya kepada orang lain. Bahasa kerenya dia telah melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan. Akankah lahir fotografer-fotografer yang berjiwa mulia seperti Donna Ferrato di Indonesia? Entahlah hanya waktu yang bisa menjawabnya. Hal yang penting adalah kami, PKT RSCM, Jurnal Perempuan serta beberapa fotografer akan memulai program ini. Dengan niat baik tentunya mengkampanyekan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Meski kami belum sampai tahapan proses merekrut para fotografer yang mau terlibat dalam program ini. Ya semoga saja para fotografer di Indonesia ini yang jumlahnya banyak itu mau mengabadikan peristiwa kekerasan terhadap perempuan lewat hasil jepretan mereka. Benar juga nampaknya pepatah yang mengatakan” Foto lebih banyak bicara daripada kata-kata”.
Salam hangat,

Titiana Adinda

Sunday, August 17, 2008

STASIUN



STASIUN


Karya: M.Mustofa Bisri


kereta rinduku datang menderu

gemuruhnya meningkahi gelisah dalam kalbu

membuatku semakin merasa terburu-buru

tak lama lagi bertemu, tak lama lagi bertemu

sudah kubersih-bersihkan diriku

sudah kupatut-patutkan penampilanku

tetap saja dada digalau rindu

sabarlah rindu, tak lama lagi bertemu

tapi sekejap terlena

stasiun persinggahan pun berlalu

meninggalkanku sendiri lagi

termangu

NB: Untuk "A" terima kasih kiriman puisinya, I miss you too (" ,)

Tuesday, August 12, 2008

Fotografi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan



Fotografi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Kemarin (Senin, 11 Agustus 2008), aku, teman-teman Jurnal Perempuan, PKT RSCM serta beberapa fotografer berdiskusi soal fotografi korban kekerasan terhadap perempuan. Ini adalah persoalan yang baru di Indonesia. Bagaimana kita mengunakan media foto sebagai alat advokasi kekerasan terhadap perempuan.

Mas Deny membawa satu buah buku judulnya “Living With The Enemy” karya fotografer Donna Ferrato yang memuat foto dan ilustrasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Asli bagus banget tuh buku. Salut banget sama yang buatnya...

Ada sebuah pemahaman yang keliru yang beredar di kalangan pendamping korban/women crisis centre bahwa memotret korban adalah tabu. Padahal kalau itu dilakukan dengan cara yang ‘benar’ justru akan membela kepentingan korban kekerasan. Diskusi itu berjalan menarik sekali. Muncul ide-ide dan pemikiran yang bagus tentang fotografi korban kekerasan terhadap perempuan korban. Satu hal yang wajib ditaati oleh pekerja kemanusiaan dan fotografer tersebut adalah bahwa untuk meminta foto korban untuk dipublikasikan harus dengan seijin pihak korban. Korbanlah yang berhak mengatakan iya atau tidak fotonya dipublikasikan....

Diskusi ini masih berjalan, kami akan ketemu enam belas hari lagi. Mudah-mudahan ini akan jadi program advokasi yang menarik. Dan tentunya akan mengundang teman-teman fotografer untuk terlibat dalam kegiatan ini. Belum ada kan fotografer Indonesia yang benar-benar terlibat dan mengerti benar tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan? Diharapkan lewat program ini akan hadir fotografer-fotografer Indonesia yang peduli terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan. Ya semoga saja....

Link bukunya Donna Ferrato:

http://www.amazon.com/Living-Enemy-Ann-Jones/dp/0893814806/ref=pd_bbs_sr_1?ie=UTF8&s=books&qid=1218554691&sr=8-1

Monday, July 28, 2008

(Resensi Buku) Menembus Badai




(Resensi Buku) Menembus Badai


Judul Buku : Menembus Badai, Antara Pengkhianatan dan Pengorbanan

Penulis : Nagiga dan Arni

Penerbit : Elex Media Komputindo

Halaman : vi + 153

Terbit : 2008

Jenis : Kisah Nyata (True Story)

Derita Seorang Istri

Oleh : Titiana Adinda

(Relawan Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan RSCM)

Buku ini bercerita tentang pengkhianatan cinta dalam pernikahan, sehingga perempuan menjadi korban kekerasan psikologis. Ceritanya berawal dari Asti yang menikah dengan Ryan, rekan satu kantor tetapi beda cabang. Pengorbanan Asti untuk menikah tidaklah mudah. Dia harus keluar dari kantornya karena ada peraturan suami istri dilarang bekerja di satu instansi. Padahal kariernya cukup bagus. Dia juga mesti berhenti dari kuliahnya karena tidak punya waktu lagi.

Pada awal pacaran Ryan sungguh perhatian, menelepon minimal tiga kali sehari hanya untuk mengingatkan untuk makan atau sekadar menanyakan kabar. Dia juga mengantar jemput Asti padahal rumah mereka sangat jauh yaitu Bekasi dan Kwitang, Jakarta. Saat memutuskan untuk menikah, mereka membereskan rumah Ryan untuk ditempati bersama. Saat membereskan lemari di kamar Ryan, Asti sungguh kaget karena menemukan pakaian dalam perempuan. Lalu dia menanyakan hal tersebut. Kata Ryan, itu punya temannya Sarah. Saat itu Sarah berganti pakaian di rumahnya untuk pergi ke pernikahan. Kemudian dia langsung pulang, dan tidak sempat mengambil pakaian dalamnya. Di hadapan Asti, Ryan membuang pakaian dalam tersebut.

Asti juga kerap mendapat teror dari Sarah yang mengaku sebagai pacar Ryan, dan mengancam akan membuat hidupnya tidak bahagia. Lalu dia menyampaikan hal tersebut pada Ryan. Ryan menjawab bahwa Sarah itu mantan kekasihnya. Mereka tidak jadi menikah karena berbeda agama. Jadi, dia menasehati Asti agar tidak mengindahkan telepon itu sebab takut Sarah kalap dan menyakiti Asti. Tak lupa Ryan mengeluarkan kata-kata gombal bahwa dia sangat mencintai Asti.

Mereka akhirnya menikah. Kini Asti telah mendapat pekerjaan di kantor lain, tapi Ryan tetap setia mengantar-jemput. Asti senang melihat kesungguhannya, walaupun Ryan juga menjadi sangat pencemburu. Asti dikekang kebebasannya. Dia tidak boleh bertemu dengan teman-teman lelakinya. Asti pikir itu tanda cinta dan perhatian Ryan padanya. Padahal dia salah...

Hingga suatu malam Ryan membuat pengakuan bahwa dia sudah menikah dengan Sarah. Dia terpaksa melakukannya karena dia sudah berjanji pada Sarah. Apabila Sarah mau pindah agama, Ryan akan menikahinya. Ternyata Sarah benar-benar pindah agama. Dunia seakan runtuh. Asti menangis sejadi-jadinya. Bahkan dia punya rencana bunuh diri karena merasa cintanya telah dikhianati. Untunglah dia sadar, sehingga bunuh diri urung dilakukan.

Bagaimana caranya Ryan mengauli dan datang ke istri mudanya? Ternyata itu dilakukan Ryan pada saat dia pura-pura pergi ke bengkel setiap minggu, dan ketika Asti mendapatkan shift malam di tempat kerjanya yang buku. Pintar sekali Ryan memainkan perannya sebagai lelaki yang mempunyai dua orang istri sehingga Asti tidak curiga.

Lalu Asti mengadu pada keluarga Ryan. Mereka mengusulkan agar Asti memiliki anak, karena siapa tahu itu bisa membuat Ryan makin cinta dengan Asti dan mau menceraikan istri keduanya. Lalu Asti menuruti permintaan tersebut. Walaupun dalam hati sangat jijik untuk berhubungan seksual dengan suaminya yang sudah mengkhianatinya. Akhirnya Asti hamil dan melahirkan seorang putra bernama Fahmi. Kebahagiaan Asti makin lengkap ketika Ryan memberikan surat perceraiannya dengan Sarah. Tapi Asti merasa curiga. Dia lalu mengecek langsung ke KUA tempat Ryan bercerai. Ternyata benar, akta cerai itu palsu.

Setelah mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, Asti mengajukan gugatan cerai di pengadilan Jakarta Pusat. Proses sidang berlarut-larut karena Ryan sering tidak datang. Namun akhirnya Asti berhasil cerai dan memulai kehidupan baru bersama Fahmi, tinggal di rumah orangtuanya. Asti kembali berkumpul dengan teman-temannya yang selama ini dilarang oleh suaminya. Dia juga melanjutkan kuliah yang sempat ditinggalkan karena menikah.

Di dalam buku ini kita mempunyai gambaran tentang sosok Asti yang luar biasa tegar karena telah dikhianati dan dibohongi oleh suaminya. Juga kita bisa lihat pengorbanan seorang istri untuk mempertahankan rumah tangganya. Menunggu dengan sabar janji suami untuk menceraikan istri mudanya. Untung Asti sadar bahwa lingkaran kekerasan itu harus dia hentikan sendiri. Itu terlihat dari keberaniaannya mengugat cerai suami.

Seperti pada umumnya kekerasan rumah tangga, bisa dilihat bagaimana pelaku mempersempit ruang gerak korban dengan melarang korban bergaul dengan teman-temannya. Pasti karena pelaku khawatir bahwa dengan pergaulan yang luas, ada kemungkinan korban akan bercerita dan meminta solusi kepada teman-temannya.

Belajar dari kisah ini, satu hal yang dapat kita pelajari adalah jangan bangga apabila pasangan kita cemburu berat terhadap pergaulan kita. Itu bukan pertanda cinta melainkan upayanya untuk mengontrol.


Wednesday, July 9, 2008

(Resensi buku) Harapan Itu Masih Ada

RESENSI BUKU

Judul : Harapan Itu Masih Ada

Penulis : Titiana Adinda

Penerbit : Elex Media Komputindo

Genre : True Story

Terbit : 2008

Tebal : 103 hlm.

HIDUP, SEPATUTNYA DIBELA!

Oleh: Y. Budi U*

Sedikit orang yang mampu menulis tentang “rahasia” dirinya, kecuali untuk otobiografi dan kepentingan publikasi. Titiana Adinda, bagian dari jumlah yang sedikit itu. Rahasia ‘penderitaan’ hidup, apalagi menyangkut eksistensi diri, memang tak seharusnya murah diumbar. Pengakuannya dalam pengantar, Dinda menulis, “Sungguh tidak mudah mengingat kembali peristiwa menyedihkan ini. Bahkan tak jarang meneteskan air mata saat menuliskannya.”


Datangnya cobaan

Meningoensefalitis adalah radang infeksi yang menyerang selaput dan jaringan otak. Efek yang ditimbulkan berupa kelumpuhan tubuh bagian kanan, kelopak mata mengecil, bahkan amnesia. Lebih dari itu, Dinda mengalami meningoensefalitis Tb (tuberkulosis), dimana bakteri TBC ikut andil menyerang selaput otaknya. Bisa dibayangkan bagaimana Dinda ‘belajar keras’ menerima keadaan dirinya. Dan, Dinda menuliskan semua pengalaman itu dengan lugas, sekaligus menegaskan ketegarannya yang luar biasa.

Pada tahap awal, Dinda hanya sering merasakan demam dan pusing, sebagaimana gejala flu biasa. Seorang dokter menyarankannya untuk segera operasi usus buntu. Dinda melakoninya. Namun, tak kunjung sembuh. Hingga di awal tahun 2004, Dinda, yang saat itu masih aktif di Komnas Perempuan, mengalami puncak sakitnya. Hasil pemeriksaan, baik CT-scan maupun MRI, menyimpulkan adanya peradangan di selaput otak (meningitis) dengan deskripsi meningitis Tb. Mulailah, hari-hari Dinda dilalui di rumah sakit, ruang terapi, dan kamar rawat.

Rasa rendah diri Dinda yang pertama adalah kesulitan bicara. Dengan kondisi bibir yang miring ke kiri dan bicara yang terbata, membuatnya sedih. “Ya Tuhan, kalau begini terus, aku tidak tahan menerima cobaan ini.” Rasa percaya diri semakin hilang saat tahu dirinya terkena amnesia, pandangannya jadi dobel, dan mata kirinya semakin mengecil.

Kehilangan ingatan merupakan satu siksaan tersendiri. Terutama bila kenangan akan aktivitas menyenangkan yang pernah dilakukannya tak bisa dilakukan lagi. Untuk melakukan hal-hal biasa (rutin) saja tentu menjadi kerinduan luar biasa. Di bagian-bagian selanjutnya, Dinda bercerita bagaimana ia harus belajar lagi mengoperasikan Mic. Word, sebuah aktivitas biasa yang telah mahir dilakukannya jauh sebelum sakit.

Belum usai dari keterpurukan, Dinda harus menerima fakta pahit di tempatnya bekerja. Maret 2005, selang ia sedang memulihkan keadaanya, Dinda di-PHK tanpa prosedur semestinya. Dinda pun meradang. Ia menuntut Komnas Perempuan secara hukum. Tidak main-main, hampir 15 bulan lamanya, Dinda berjuang mendapatkan haknya. Dan, untuk kesekian kalinya, jauh di lubuk hatinya, Dinda makin merasa sangat sepi. Sakit dan penderitaan yang dialaminya seolah membuatnya banyak kehilangan teman dan juga “nasib” baik.

Masa pemulihan

Keakrabannya dengan penderitaan di saat sakit, membuat Dinda mulai terbiasa dan bisa menerima keadaan dirinya. Perlahan-lahan, Dinda bangkit sebagaimana ia sendiri mengeraskan hati untuk sembuh. Aktivitas demi aktivitas dia lakukan, konsultasi, terapi, dan menulis artikel di media massa.

Yang menarik adalah tumbuhnya kesadaran Dinda untuk melakukan konsientisasi tentang meningoensefalitis, termasuk dituliskannya di buku ini. Tentunya supaya jangan ada lagi orang yang terkena penyakit ini. Menurut data dari berbagai sumber, angka kematian penderita meningoensefalitis di Indonesia mencapai 18-40 persen, dengan angka kecacatan 30-50 persen.

Meningitis sendiri, lebih sering terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-2 tahun. Gejala yang umum terjadi adalah demam, sakit kepala, dan kekakuan otot pada leher. Penderita ini juga mengalami fotofobia (takut cahaya) dan fonofobio (takut dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak bingung, susah untuk bangun tidur, bahkan tak sadarkan diri. Pada bayi, umumnya menjadi sangat rewel dan terjadi gangguan kesadaran. Gejala lainnya adalah warna kulit menguning (jaudice), tubuh dan leher terasa kaku, demam ringan, tidak mau makan atau minum ASI. Tangisannya pun menjadi lebih keras dan bernada tinggi, serta ubun-ubunnya terdapat benjolan atau bagian itu terasa kencang.

Menjaga kebersihan diri adalah kiat pertama mencegah terjangkitnya penyakit ini. Media penularan bakteri Neisseria meningitidis meningokokus ini melalui udara. Hubungan langsung dengan terkena lendir atau percikan hidung atau tenggorokan ketika orang bersin, mencium, batuk, atau barang-barang pribadi seperti gelas dan sikat gigi, juga rentan pada penularan.

Pencegahan lain bisa dilakukan dengan vaksinasi Hemophilus influenzae tipe b untuk anak-anak. Sementara vaksin meningokukus diberikan untuk orang dewasa. Para jamaah haji biasanya mendapatkan vaksin ini sebelum masuk di negara Arab Saudi.

Akhirnya, Dinda menyadari bahwa di dalam penderitaanya, ia masih bisa mensyukuri semua nikmat yang diberikan Tuhan. Perhatian orang-orang dekat, keluarga, dan sahabatnya membuatnya semakin semangat menyalakan api hidup. Dari balik kamarnya, lahir gagasan-gagasan indah, termasuk menjadi penggagas beladiri SDFW (Self Defense for Woman) Indonesia di Jakarta dan menuliskannya dalam buku dengan judul yang sama.

Rasanya, judul buku “Harapan Itu Masih Ada” ini bukan sekadar puitisasi fonetik. Dinda, sang penulis telah benar-benar menaruh harapan itu dalam hatinya, dalam hidupnya. Dan, sekarang tinggal menjaga nyala harapan itu, agar tetap hidup untuk dirinya juga untuk orang lain.

*Y. Budi U, Ketua Komunitas Studi INSPICIO

Tuesday, July 1, 2008

Januari-Mei 2008 sudah 296 korban ke PKT RSCM

Januari-Mei 2008 sudah 296 korban ke PKT RSCM

Dalam waktu 5 bulan saja yaitu dari Januari sampai Mei 2008, sudah datang ke Pusat Krisis Terpadu RSCM sebanyak 298 perempuan dan anak korban kekerasan. Rinciannya adalah: Perkosaan sebanyak 15 orang, KDRT sebanyak 113 orang, Perkosaan anak perempuan sebanyak 75 orang, kekerasan seksual lain pada anak perempuan sebanyak 42 orang, kekerasan seksual pada anak laki-laki sebanyak 21 orang, penderaan anak sebanyak 15 orang, dan kekerasan lainnya sebanyak 15 orang.

Kasus kekerasan itu umumnya datang meminta visum atas permintaan pihak kepolisian namun ada juga korban yang datang ke RSCM karena ingin diobati luka fisik dan psikologisnya. Yang oleh petugas RSCM dirujuk ke PKT karena merupakan korban kekerasan. Baru saja lima bulan tetapi korban yang datang sudah begitu banyak. Itu saja korban yang datang ke PKT RSCM belum lagi yang datang ke women crisis centre seperti Mitra Perempuan dan LBH Apik Jakarta.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak memang seperti fenomena gunung es, mereka yang datang melapor hanyalah sebagian kecil korban saja. Karena pasti banyak korban lainnya yang memilih menyembunyikan kekerasan karena takut kepada ancaman pelaku atau malu karena dianggap suatu aib bagi dirinya sendiri sehingga memilih merahasiakan kekerasan pada dirinya.

Melihat banyaknya korban yang datang ke PKT RSCM apakah pemerintah masih mau mengelak dari tanggungjawabnya untuk mendanai PKT RSCM ini? Kemana nanti para korban mendapat pertolongan yang relatif terpadu yaitu mengobati luka fisik sekaligus psikis terhadap korban?

Kini kita sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 bahkan kita sudah memiliki Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang didalamnya mewajibkan pemerintah untuk membiayai proses pemulihan korban termasuk membiayai Pusat Krisis Terpadu dan women crisis centre di Indonesia.

Saat ini PKT RSCM tidak menerima dana operasional dari pemerintah. Hal ini sangat memprihatinkan karena PKT RSCM telah bekerja melakukan proses pemulihan korban dari kekerasan seperti yang diamanatkan dua Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tsb. Sekarang tinggal pemerintah menunjukan itikad baik untuk membiayai PKT RSCM. Sebab kalau tidak, 3 bulan lagi PKT RSCM tidak dapat beroperasi karena kehabisan dana operasional. Kami sangat berharap ada bantuan dari pemerintah yang besarnya mencukupi kebutuhan operasional PKT RSCM sehingga kami dapat berkonsentrasi memulihkan korban dan tidak pusing memikirkan keberlangsungan operasional PKT RSCM.

Jika anda peduli dan mau menolong PKT RSCM dari krisis keuangan ini, kami mohon dengan sangat anda mau menolong perempuan dan anak korban kekerasan yang datang ke PKT RSCM dengan mengirimkan bantuan/sumbangan/zakat maal/infaq dan shadaqoh anda ke rekening kami di:

Nama Pemilik Rekening : Pusat Krisis Terpadu

Bank : Bank Mandiri

Cabang : RS.Cipto Mangukusumo

No.Rekening: 122-00-0002497-9

Besar harapan kami anda dapat menolong PKT RSCM dari ancaman ditutupnya operasional PKT RSCM ini karena ketidaktersediaan dana. Semua laporan penerimaan akan kami laporkan pada akhir Oktober 2008, tidak jadi September 2008 karena libur Idul Fitri. Kami akan umumkan dimilis ini atau dengan melihat di blog:

http://titiana-adinda.blogspot.com

Jika anda ingin datang bahkan juga mungkin datang membawa korban kami persilahkan datang ke PKT RSCM lokasinya di Lt.2 Ruang Instalasi Gawat Darurat Rs. Cipto Mangunkusumo, Jl Diponegoro No. 71 ,Jakarta. Telp: 021-316 2261, email: pkt_rscm@yahoo.co.id

Atas perhatian dan bantuannya kami ucapkan terima kasih. Dan kepada pemerintah tolong berikan perhatian dan bantuanmu agar PKT RSCM ini tetap beroperasi. Kami tentu akan lebih hormat dan sayang kepada pemerintah yang bersungguh-sungguh memperhatikan pemulihan perempuan dan anak korban kekerasan. Katakan tidak untuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak !

Salam hangat,


Titiana Adinda

Relawan PKT RSCM


Wednesday, June 25, 2008

Aku mendapat email dari anggota DPR-RI

Tadi pagi 25 Juni 2008 aku mendapatkan email dari Bapak Ondos/Koekerits, anggota DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan. Beliau menanyakan kebenaran berita kalo PKT RSCM tidak mendapatkan dana dari pemerintah aku udah jawab iya. Katanya beliau akan menyampaikan ini ke dalam rapat fraksi dan rapat komisi bahkan rapat lintas komisi untuk perhatian para anggota dewan.

Ya mudah2an aja itu benar2 dilakukannya. Bukan sekedar janji. Apalagi skrg udah dekat pemilu. He..He.. Aku bilang pemerintah sudah melanggar PP No.4 Thn 2006 yang mewajibkan pemerintah lewat APBN/APBD membiayai PKT dan women crisis centre di Indonesia. Ya harapanku sih pernyataannya di email itu benar-benar dilaksanakan sehingga PKT dan women crisis centre tidak pada tutup karena tidak adanya dana kegiatan.

Yg punya pengalaman kerja dgn anggota dewan, bagaimana kita bisa memantau proses beliau memperjuangkan PKT dan women crisis centre agar dananya masuk ke APBN/APBD. Mohon sharing pendapat dong?