Tuesday, November 28, 2017

Karena Seks Memang Harus Bebas

http://voxpop.id/seks-bebas/

 
Peristiwa sepasang muda-mudi yang diarak bugil karena dituduh bersetubuh bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Ribuan pasangan lain telah diarak bugil dan dipermalukan oleh segelintir warga. Otoritas dan otonomi tubuh diberangus, dijadikan bulan-bulanan di jalanan.
Sementara, ketika perempuan diperkosa atau dipukuli suami hingga dijemput ajal, tak ada warga yang hendak mendobrak rumah tetangganya.
Ketika perempuan melaporkan kejadian pemerkosaan, segelintir warga itu malah berseloroh, “Pakai baju apa? Keluar malam sampai jam berapa? Nongkrongnya di mana?” Ada yang salah dengan prioritas warga dalam mendefinisikan ikut campur.
Bagaimana bisa warga begitu marah pada mereka yang merayakan tubuh, sementara membiarkan pemerkosaan dan pemberangusan otonomi tubuh? Apa yang membuat warga sebegitu beringas?
Lantas, kuasa mana yang berhak mendominasi tubuh, sehingga mereka merasa berhak menelanjangi dan mempermalukan tubuh? Kuasa warga? Negara? Agama?
Asketisme memang sering kali menuntut penyangkalan atas tubuh. Kebutuhan seksual dinegasikan, persetubuhan masuk dalam hitungan dosa. Burukkah tubuh, mengganggu jiwakah ia?
Negara tak mau kalah dalam urusan mengatur tubuh. Negara muncul dengan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang mengusung tubuh sebagai bahasan utama. Negara berkeras bahwa tubuh sosial harus diatur agar tak memicu degradasi moral.
Hal itu mengingatkan kita pada abad pertengahan di Eropa yang memenjarakan Sade tanpa diadili, karena menulis Justine dan Juliette yang dinilai erotis. Busukkah tubuh hingga harus ditahan-tahan keberadaannya?
Sebegitu takutnya negara atas otonomi dan otoritas masyarakat atas tubuh, sehingga pada 2012 santer terdengar soal pencanangan pendidikan anti seks bebas oleh Kementerian Pendidikan. Apa itu seks bebas? Bukankah seks harus bebas?
Seks yang tidak bebas namanya pemerkosaan. Sementara seks yang tidak bebas dan berbayar adalah transaksi.
Ambiguitas dari istilah seks bebas ini sering menjadi inti persoalan pemberagusan otonomi tubuh, pemerkosaan atas hak seksual.
Katanya pasangan yang divideokan beberapa waktu lalu tidak sedang berhubungan seks. Kalaupun mereka berhubungan seks, seberapa salahnya sampai harus diarak telanjang?
Sekali lagi, warga tidak pernah begitu marahnya hingga mendobrak dan mengarak pelaku pemerkosaan. Padahal, mana yang lebih salah antara seks yang dilakukan dengan terhormat, atas dasar suka sama suka, dan selesai tanpa masalah, dengan seks dalam pernikahan namun penuh pemerkosaan dan kekerasan?
Atau, dibanding seks dalam pernikahan anak di bawah umur? Seks dalam pernikahan tanpa menggunakan kondom, padahal pasangannya suka membeli jasa pekerja seksual?
Atas nama seks bebas, warga lebih suka memberangus seks yang dilakukan dengan konsen, dibanding tindakan kriminal.
Katanya seks bebas adalah budaya barat yang urakan. Orang barat, katanya lagi, kalau berpakaian lebih terbuka dan kalau berhubungan seks seenaknya saja. Sementara orang timur lebih sopan, tertutup, dan tidak asal berhubungan seks. Padahal, di barat tidak ada istilah seks bebas.
Di luar perdebatan seks bebas, pemerintah Indonesia justru menjamin hak warganya untuk berhubungan seks. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan reproduksi ini tertera dalam rekomendasi 12 hak kesehatan reproduksi dan seksualitas dalam International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo, Mesir, pada 1994, yang juga ditandatangani oleh Indonesia.
Sementara penelanjangan dan pengarakan yang dilakukan warga tak sekadar tindakan kekerasan biasa, tetapi melanggar UU No 7/1984 mengenai pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW).
Sama seperti kasus-kasus pemerkosaan yang merupakan masalah relasi kuasa alih-alih libido pemerkosa, penelanjangan adalah unjuk gigi atas relasi kuasa warga dalam bentuk massa. Segelintir warga merasa memiliki kuasa untuk menjatuhkan hukuman terhadap pasangan yang katanya melakukan seks bebas.
Libido warga untuk menelanjangi dan mengarak bisa jadi upaya untuk membuat efek jera bagi mereka yang memiliki nilai-nilai yang tak sesuai dengan keinginan warga. Namun, jika objektifnya adalah memang untuk menghindari seks bebas, tujuan tersebut terbukti tidak pernah berhasil.
Lagipula, sekali lagi, apa itu seks bebas?
Kecurigaan saya adalah bahwa warga sering kali menyamakan seks bebas dengan seks yang tidak bertanggung jawab. Seks yang tidak bertanggung jawab menjadi krusial, lantaran berkaitan dengan otonomi dan otoritas tubuh (termasuk soal konsen), penciptaan manusia baru, serta penyebaran penyakit.
Sementara untuk seks bebas, siapa yang berhak melarang dua orang yang ingin berhubungan seks, jika tidak ada kerugian ditimbulkan? Sejauh mana pelarangan bisa efektif?
Pelarangan tidak pernah menjadi cara yang efektif. Negara-negara bagian di Amerika yang tidak mengajarkan pendidikan seks sama sekali, atau sebatas melarang seks sebelum menikah seperti Texas, mencatatkan jauh lebih banyak kehamilan remaja jika dibandingkan dengan negara bagian yang memiliki pendidikan seks yang komprehensif seperti California.
Angka kehamilan remaja di California turun hingga 74% dalam kurun waktu 24 tahun sejak pemerintahnya berinvestasi pada kurikulum pendidikan seks yang komprehensif.
Seks bertanggung jawab juga dapat menghindari penyakit menular seksual, termasuk HIV dan AIDS. Indonesia termasuk tiga negara dengan kasus HIV dan AIDS tertinggi di Asia dan Pasifik. Padahal, kebanyakan negara lain justru menunjukkan penurunan jumlah kasus.
Mirisnya lagi, jumlah ibu rumah tangga di Indonesia dengan HIV dan AIDS justru lebih tinggi daripada populasi kunci. Populasi kunci yang dimaksud antara lain pekerja seks dan pengguna jasa pekerja seks.
Kalau sudah begini, masih pentingkah ribut-ribut soal seks bebas? Apalagi seks yang tidak bebas justru kerap menjadi sumber petaka bagi perempuan, dalam tameng perkawinan.
Pemerkosaan dalam perkawinan adalah bentuk nyata seks yang tidak bertanggung jawab, karena telah memberangus otonomi dan otoritas pemilik tubuh.
Namun, apakah hal ini termasuk seks bebas? Tentu tidak, sebab itu warga tak hendak marah-marah walaupun tahu seorang istri lebam-lebam habis dipukuli dan diperkosa suaminya semalaman.
Warga dalam jumlah yang banyak memang sering kali merasa berkuasa dan dengan mudah melegitimasi kesewenang-wenangan. Padahal, mereka cuma cemas karena dunia tidak selalu sejalan dengan keinginan mereka.