Thursday, October 24, 2013

Apakah Utang Isteri Juga Merupakan Utang Suami?

Pertanyaan:
Apakah Utang Isteri Juga Merupakan Utang Suami?
Langsung saja ke pertanyaan: 1. Kalau isteri meminjam uang dengan membuat perjanjian dengan pemilik dana tanpa sepengetahuan suami, apakah suami bertanggung jawab atas utang itu? 2. Kalau isteri menjaminkan harta gono gini (rumah) karena meminjam uang tapi suami tidak mengetahui (perjanjian dilakukan di notaris tanpa persetujuan suami), apakah rumah bisa disita untuk melunasi utang tersebut?
DAULAT.MARPAUNG
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) diatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Harta benda dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, yang terhadap harta bersama tersebut, suami atau isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Sedangkan, harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan isteri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum. Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan perkawinan tersebut, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUP. Penjelasan selengkapnya simak dalam artikel Tentang Percampuran Harta Istri dan Suami Karena Perkawinan.
 
Mengenai utang dalam perkawinan, oleh Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 34), dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utanggemeenschap, yaitu suatu utang untuk keperluan bersama).
 
Menurut Subekti, untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau isteri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga. Akan tetapi, jika suami yang membuat utang, benda pribadi isteri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah benda gemeenschap(benda bersama) dan apabila tidak mencukupi, maka benda pribadi suami atau isteri yang membuat hutang itu disita pula.
 
Dalam hal ini, utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan. Ini merupakan hal yang logis karena utang yang dibuat oleh suami/isteri dapat berdampak pada harta bersama apabila suami atau isteri tidak dapat melunasinya, dan untuk bertindak atas harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.
 
Oleh karena itu, utang yang dibuat oleh isteri tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan suami, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta suami (utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama (akibat tidak adanya persetujuan).
 
Sedangkan, mengenai penjaminan rumah (harta gono gini atau harta bersama), kami asumsikan dengan menggunakan hak tanggungan karena untuk penjaminan tanah dan bangunan menggunakan hak tanggungan. Berkaitan dengan penjelasan mengenai harta bersama di atas, maka penjaminan rumah tanpa sepengetahuan suami (kami asumsikan tidak ada persetujuan suami juga) berakibat penjaminan rumah tersebut tidak sah.
 
Mengutip pada artikel Konsekuensi Hukum Perjanjian Kartu Kredit Terhadap Suami/Isteri, Mahkamah Agung (“MA”) pernah mengadili kasus serupa mengenai penggunaan harta bersama tanpa sepengetahuan suami/isteri. Pada kasus tersebut seorang suami menjual tanah yang merupakan harta bersama dalam perkawinan tanpa persetujuan isterinya. Pada akhirnya, dalam Putusan Mahkamah Agung No. Reg: 2691 PK/Pdt/1996 dinyatakan bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan suami isteri.” MA lebih lanjut berpendapat bahwa, karena belum ada persetujuan isteri maka tindakan seorang suami (Tergugat I) yang membuat perjanjian atas harta bersama (tanah) adalah tidak sah menurut hukum.
 
Lebih lanjut, artikel tersebut juga menghubungkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan perjanjian (berkaitan dengan harta bersama) yang dibuat tanpa persetujuan pasangan. Apabila kita hubungkan dengan perjanjian penjaminan rumah tersebut (penjaminan dengan hak tanggungan) maka perjanjian penjaminan tersebut dianggap cacat hukum karena perjanjian dibuat tanpa persetujuan dari suami, sehingga tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu mengenai kausa yang halal. SebabPasal 1337 KUHPer sudah menentukan bahwa, ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Sementara, ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan mengharuskan penggunaan harta bersama dilakukan suami atau isteri atas dasar perjanjian kedua belah pihak. Artinya, jika ditafsirkan secara a contrario Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan melarang penggunaan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/isteri.
 
Hal ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah yang mengatakan pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Dalam hal ini, isteri tidak memiliki kewenangan untuk bertindak sendiri atas harta bersama. Tindakan hukum berkaitan dengan harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan pasangan. Jadi karena tidak ada persetujuan pasangan, penjaminan rumah dengan hak tanggungan tersebut tidak sah, yang mengakibatkan rumah tersebut tidak dapat dieksekusi apabila isteri tidak dapat membayar utangnya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

Tuesday, October 22, 2013

Bila Anda Menikah dengan Orang Asing


Lembar Info Seri 45
Apa yang Perlu Diketahui Bila Anda Menikah dengan Orang Asing ?

Jika anda seorang perempuan Warga Negara Indonesia (WNI)
akan menikah di Indonesia dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA),
ada beberapa hal yang perlu anda ketahui.
1. Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan campuran.

2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).

3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan). Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).

4. Surat-surat yang harus dipersiapkan
Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:
a. Untuk calon suami
Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
  • Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
  • Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
  • Akte Kematian istri bila istri meninggal
Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.

b. Untuk anda, sebagai calon istri
Anda harus melengkapi diri anda dengan:
  • Fotokopi KTP
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Data orang tua calon mempelai
  • Surat pengantar dari
RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan

6. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.

7. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Kehakiman dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.
Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia

8. Konsekwensi Hukum
Ada beberapa konsekwensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA. Salah satunya, anak hasil perkawinan anda akan mengikuti status kewarganegaraan ayahnya. Artinya, anak anda dianggap WNA, seperti ayahnya. Konsekwensinya, anak anda akan diperlakukan sebagaimana WNA, misalnya harus memiliki Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) yang masa berlakunya 1 tahun, selanjutnya dapat diperpanjang dengan memiliki Kartu Ijin Tinggal Menetap (KITAP) yang berlaku selama 2 tahun.


Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah perkawinan berlangsung. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).