Monday, April 29, 2019

KARTINI: MENULIS ADALAH PINTU KEBEBASAN



 Kartini itu penulis. Artikelnya dimuat beberapakali di Jurnal Antropologi Kerajaan Belanda. Dia melakukannya dengan segala cara di tenga keterbatasannya pada situasi pemingitannya. Situasi yang melarangnya keluar dari keraton dan adat yang memaksanya untuk berjalan lambat bahkan berjongkok dihadapan yang lebih tua dan berkasta. Atau situasi budaya feodal dan kolonial yang melarangnya sekolah tinggi.

Dia hanya ingin pikiran-pikirannya didengar dan menjadi inspirasi bagi orang lain. Dia bahkan harus memalsukan namanya sebagai penulis laki-laki supaya tidak diragukan, tidak dicemooh karena dirinya perempuan. Bukankah tidak mungkin perempuan bisa menulis dan berwawasan luas pada masa itu? 

Pada masa itu adalah hal yang mustahl karena kesempatan yang tidak sama, karena situasi yang tidak adil terhadap manusia perempuan. Kartini juga ingin memberitakan pada dunia bahwa penjajahan dan imperialisme banyak merugikan ummat manusia. Ia juga menekankan bahwa betapa dirinya sangat mencintai Indonesia. 

Dia memang menjadi terkenal dengan tulisan-tulisannya di berbagai jurnal berkat upayanya melakukan korespondensi diam-diam. Dia tak menyerah dan terus mencari pintu-pintu kebebasan dengan senjata tulisan. Jadi, dia bukan tiba-tiba begitu saja diterbitkan surat-suratnya. Melainkan karena dia memang penulis terkenal. 

Meskipun akibat kegairahannya dalam menulis tersebut harus mengalami fitnah yang keji dari saudara laki-laki lainnya dari pihak ibu yang merasa cemburu, dan membuatnya semakin sulit untuk "keluar dari kerangkeng". 

Tahukan penulis itu kerjanya apa? Ya menulis. Tahukah apa yang ditulisnya? Wawasan dan imajinasinya yang luas sehingga dia mampu membaca dunia, membaca bangsanya, membaca masyarakat, berempati pada orang lain, dan membawa diri dan bangsanya pada kemerdekaan hakiki, pada kehendak bebas yang ditakdirkan pada setiap umat manusia.

Catatan Siang Mariana Amiruddin, Menteng 22 April 2019