Wednesday, December 30, 2015

Sunday, November 29, 2015

Buat Kamu Yang Hobi Menulis, 7 Cara Dewi Lestari Menulis Berikut Ini Akan Membantumu Mendapatkan Semangat Dan Inspirasi

http://trivia.id/post/buat-kamu-yang-hobi-menulis-7-cara-dewi-lestari-menulis-berikut-ini-akan-membantumu-mendapatkan-semangat-dan-inspirasi?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork

Oleh: @restyamalia


Banyak orang yang mengidamkan berprofesi menjadi penulis. Penulis rupanya menjadi salah satu profesi yang kini dianggap ‘keren’ dan menarik oleh banyak orang. Banyak orang berujar ingin menulis, tetapi tak tahu mau menulis apa. Sering kali keinginan ada, tetapi ide belum datang. Sering kali ide segar ada, tetapi tak tahu bagaimana harus menuangkan, mengembangkan, atau melanjutkan tulisan. Sering kali sudah tahu akan menulis apa, tetapi semangat tiba-tiba mengendur atau bahkan tak ada waktu untuk menulis dikarenakan kesibukan beaktifitas yang lain. Jika sudah seperti itu, mimpi menjadi penulis seperti makin jauh dari angan-angan karena menulis juga membutuhkan latihan.

Seperti yang seorang bijak katakan bahwa menulis itu seperti berlayar. Hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan. Terus berlayar atau berhenti dan mati saja. Berikut ini ada 7 cara yang biasa Dewi Lestari lakukan ketika menulis dan mencari inspirasi. Semoga cara-cara ini akan membantumu juga untuk lebih semangat menulis dan mendapatkan inspirasi.

1. Pastikan Badan Bersih Dan Segar, Sehingga Semangat Untuk Mulai Menulis



Dewi Lestari selalu merasa lebih semangat untuk menulis ketika merasa badanya bersih dan segar. Jadi, sebelum mulai menulis, dia pun mandi dan kemudian mempersiapkan diri untuk bekerja di rumahnya. Dia merasa senang dapat bekerja dekat dengan anggota keluarganya dan menjadikan rumah sebagai kantornya. Seperti yang terlihat dalam gambar yang diambil dari akun Instagram pribadinya, Dewi berujar siap berangkat ke kantor, yaitu rumahnya. Jika kamu merasa malas untuk memulai menulis, pastikan badan bersih dan segar, sehingga kamu lebih semangat untuk menulis dan inspirasi akan lebih mudah untuk didapatkan.

2. Mencari Tempat Dan Suasana Yang Nyaman Untuk Menulis



Dewi mengaku nyaman bekerja di rumah. Inilah gambar Dewi ketika sedang bekerja di rumah. Dia pun bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk duduk dan menulis. Gambar ini diambil ketika dia sedang sibuk menyelesaikan naskah Novel Intelegensi Embun Pagi, seri terakhir dari rangkaian Buku Supernova. Seperti yang dia lakukan di gambar ini, Dewi betah duduk lama dan menyelesaikan tulisannya. Jika kamu ingin menulis dan menghasilkan karya yang sesuai harapan, tempat dan suasana yang nyaman untukmu menulis menjadi salah satu faktor penting yang harus kamu perhatikan.

3. Menciptakan Sudut Nyaman Untuk Memulai Berimajinasi



Dewi senang duduk di sofa seperti ini karena baginya ketika duduk di sofa ini, dia akan dengan mudah berimajinasi. Apalagi sofa diletakkan di sudut nyaman di mana dia pun bisa melihat dan mendapatkan suasana yang inspiratif untuk mendapatkan ide untuk tulisannya. Kamu pun bisa mencoba cara ini. Temukan atau ciptakan tempat yang nyaman dengan suasana yang mendukung untuk mendapatkan ide dan inspirasi untuk menulis. Misalnya, sofa di tepi jendela di mana kamu akan dengan mudahnya melihat luar dan mendapatkan udara segar, tempat duduk di tepi kebun rumah, dan lain-lain.

4. Meletakkan Meja Kerja Menghadap Jendela Di Mana Kamu Bisa Melihat Sesuatu Yang Hijau Atau Langit



Banyak orang melakukan ini untuk mencari ketenangan, melihat pepohonan yang hijau atau memandangi langit. Untuk menulis, hal ini juga baik untuk dilakukan. Ketika dalam suasana tenang dan keadaan sekitar mendukung, inspirasi akan dengan mudahnya datang. Dewi Lestari pun melakukan hal yang serupa. Salah satu tempatnya menulis adalah meja kerjanya yang diletakkan di dekat jendela dengan menghadap ke luar. Dengan posisi seperti ini, Dewi bisa mendapatkan udara segar atau pemandangan yang menenangkan dan mengundang inspirasi untuk datang.

5. Menulis Di Kafe Sambil Mendendengarkan Musik



Dewi pun seringkali memilih sebuah kafe untuk tempatnya menulis. Seperti yang terlihat di foto berikut. Melalui akun instagramnya, Dewi berbagi pengalamannya memilih menulis di kafe setelah 10 hari berpuasa menikmati internet dan bersosial media. Kafe menjadi tempatnya bekerja dan menyelesaikan draft pertama Novel Supernova Intelegensi Embun Pagi. Dewi pun kadang menulis sambil mendengarkan musik. Tapi, dia berujar melalui media sosialnya bahwa dia nyaman mendengarkan musik instrumental karena musik instrumental lebih mengurangi distraksi atau gangguan untuk fokus. Sedangkan musik dengan vocal sering kali membuatnya kurang konsentrasi ketika mendengarkannya sambil menulis. Kamu pun bisa memilih kafe menjadi salah satu tempat untuk membantumu mencari inspirasi dan menulis. Selain itu, mendengarkan musik juga bisa jadi pilihan yang baik untuk menciptakan suasana, membangun mood, dan mengundang inspirasi untuk datang ketika menulis. Tetapi, pilihlah musik yang menenangkan bukan palah membuatmu tidak fokus ketika menulis.

6. Buat Mind Map Atau Rencana Apa Yang Akan Kamu Tulis Dan Lakukan Riset Untuk Tulisanmu


Mind map atau rencana apa yang akan kamu tulis sangatlah perlu dilakukan agar tulisanmu terorganisir. Riset pun perlu dilakukan agar tulisan kamu mendalam dan tak terkesan apa adanya. Jangan sampai orang yang membaca tulisanmu merasa bahwa tulisanmu dangkal karena kamu tidak atau kurang melakukan riset. Apalagi jika yang membaca tulisanmu adalah orang yang lebih memahami atau ahli di bidang yang kamu tulis. Dewi pun melakukan rencana yang matang dengan membuat mind map, rencana, dan riset yang mendalam untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas. Rencana dalam bentuk mind map dibuatnya dimulai dari awal hingga akhir cerita secara detail agar tulisan yang dihasilkannya terorganisir dan terarah. Riset pun dia lakukan dengan berbagai macam cara. Bisa dengan cara datang langsung ke suatu tempat, mewawancarai seseorang, membaca buku, mencari informasi melalui internet, dan lain-lain. Cara ini sangat perlu untuk ditiru oleh kamu yang ingin serius menulis dan menghasilkan tulisan yang berkualitas.

7. Teruslah Menulis Tanpa Memikirkan Pendapat Orang Lain Tentang Tulisanmu. Menulislah Untuk Dirimu Sendiri.


Di setiap event menulis, Dewi Lestari sering berpesan bahwa jika kamu ingin menjadi penulis, maka menulislah. Menulislah untuk dirimu sendiri. Mulailah menulis tentang hal-hal yang kamu suka dan terus rutin menulis. Jangan pikirkan pendapat orang tentang tulisanmu karena hal itu akan membuatmu merasa terbatasi untuk menulis. Setiap orang memiliki selera masing-masing. Pasti akan ada yang menyukai dan tidak menyukai tulisanmu. Tapi percayalah bahwa setiap karya, termasuk tulisan, pastilah memiliki penikmatnya masing-masing. Jadi, yuk terus semangat menulis!



Friday, November 27, 2015

Sunday, October 25, 2015

Kasus Seksual Dan Kekerasan Mendominasi Kejahatan Pada Anak


BeritaCenter.com – Hasil kajian Indonesia Indicator (I2), menyebutkan, dari 343 media online di seluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal pada periode 1 Januari 2012 – 19 Juni 2015, kasus seksual dan kekerasan mendominasi terhadap anak.
“Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu dibuktikan dengan kian tingginya jumlah pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak yang menghiasi media massa. Kekerasan seksual tercatat sebagai kasus yang paling kerap muncul di pemberitaan media,” kata Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang memaparkan hasil kajian media yang bertajuk Anak-Anak dalam ‘Laut Hitam’ Kekerasan, di Jakarta, Senin(22/6).
Menurut dia, faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor eksternal atau sosial, terutama kemiskinan.
“Tahun ini, peristiwa kekerasan pada anak berpuncak pada kasus Angelina (Engeline) di Bali yang mencapai 1.387 berita dalam sebulan terakhir, atau sekitar 26 persen dari total pemberitaan tahun 2015,” ujar Rustika.
I2 adalah perusahaan di bidang intelijen media, analisis data, dan kajian strategis dengan menggunakan software AI (Artificial Intelligence).
Rustika memaparkan, pemberitaan kekerasan terhadap anak cenderung melonjak tajam dari tahun ke tahun. Pada 2012, jumlah pemberitaan kekerasan terhadap anak hanya 1.084, tapi pada 2013 melonjak hingga 2.329 pemberitaan.
“Yang memprihatinkan, pada 2014 pemberitaan kekerasan terhadap anak meroket hingga 7.456 pemberitaan,” tuturnya.
Dalam akumulasi pemberitaan media dari tahun 2012-2015 terkait kekerasan anak, bentuk kekerasan yang paling kerap muncul di pemberitaan media adalah kekerasan seksual. Tahun ini, ekspose mengenai pemberitaan kekerasan seksual pada anak mencapai 1.533 berita.
Yang paling mengejutkan terjadi pada 2014. Ekspose kekerasan seksual terhadap anak mencapai 3.893 berita, katanya.
“Saat itu terjadi peristiwa pelecehan seksual pada anak di Jakarta International School (JIS) yang langsung memikat media hingga 1.194 berita,” papar Rustika.
Indonesia Indicator juga mencatat, pada 2012 dan 2013 pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak paling dominan menghiasi media di Tanah Air.
Sedangkan tahun ini, hingga 19 Juni 2015 jumlah pemberitaan kekerasan terhadap anak sudah mencapai 5.266 berita. Kasus Angeline – atau kadang ditulis Engelina, berkontribusi besar pada peningkatan ekspos kekerasan pada anak di Indonesia. Kasus kematian Engeline pun menarik perhatian media dari luar negeri, setidaknya di beberapa negara terdekat seperti Australia dan Thailand.  Namun demikian, kasus Angeline ini hanyalah fenomena puncak gunung es yang menyeruak ke permukaan di laut hitam. Faktanya, masih banyak anak yang kurang lebih bernasib sama dengan Angeline, baik yang terungkap di publik (media) maupun yang belum terungkap di media.
“Jika dikalkulasi dalam periode 2012-2015, di mana ekspos mencapai 16.135 berita, berarti kasus Angeline menempati porsi 10 persen dari ‘Lautan Hitam’ pemberitaan kasus kekerasan pada anak  dalam empat tahun terakhir. Kasus Angeline ini menjadi alarm untuk ke sekian ribu kalinya, bahwa di negeri ini kehidupan anak-anak masih belum sepenuhnya terlindungi dan jauh dari rasa aman,” jelas Rustika.
Pelaku dan Penyebab Kekerasan Media memotret bahwa para pelaku kekerasan terhadap anak justru adalah orang-orang yang dekat dengan korban, yang seharusnya menjadi pelindung.
“Pelaku kekerasan terhadap anak didominasi oleh orang tua dan guru. Selama periode 2012 sampai dengan Juni 2015, pemberitaan soal kekerasan oleh orang tua kepada anak lebih tinggi daripada kekerasan yang dilakukan oleh guru,” katanya.
Pada 2015, pemberitaan kekerasan anak yang dilakukan orang tua mencapai 3.235 dan kekerasan oleh guru sebanyak 709. Pada 2014, kekerasan yang dilakukan orang tua mencapai 4.308 dan guru 2.312. Hal yang sama juga terjadi pada 2012 dan 2013.
Sementara itu, ada keterkaitan antara pelaku dan penyebab kekerasan pada anak yang terekspos media. Penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor eksternal atau sosial yaitu kemiskinan (223 berita), masalah keluarga, masalah sosial (80 berita), gangguan jiwa pelaku kekerasan (105 berita), dan rendahnya pengetahuan pelaku kekerasan akan efek tindakannya.
“Tampak dalam pemberitaan media sepanjang tahun 2013 sampai semester awal 2015, bahwa kemiskinan atau tekanan ekonomi merupakan faktor utama penyebab kekerasan pada anak,” kata dia.
Dengan hasil analisis ini, Rustika berharap agar perkembangan situasi perekonomian yang masih belum stabil di tahun ini, orangtua selalu mengingat agar anak tidak lagi menjadi korban kekerasan akibat faktor di luar dirinya sendiri.

Saturday, September 19, 2015

Jadi Istri Kedua, Hinakah?

http://tabloidnova.com/Keluarga/Pasangan/Jadi-Istri-Kedua-Hinakah?fb_action_ids=10203671931318136&fb_action_types=og.comments

Ibu Rieny yth,
Saya wanita (23 tahun) anak bungsu dari lima bersaudara. Dua tahun ini saya menjalin hubungan dengan seorang pria (X), yang berusia 10 tahun lebih tua. X sangat dewasa dan banyak membimbing saya, semisal untuk urusan salat. Dia pula yang membantu memenuhi kebutuhan saya sehari-hari. Maklumlah Bu, saya pengangguran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya membantu orangtua yang membuka usaha di rumah.

X adalah seorang pengusaha yang hidup mapan dan berkecukupan. Hubungan dia dengan keluarga saya sangat akrab begitu juga dengan lingkungan sekitar saya. X supel dan royal. Dia tidak segan-segan memberikan sesuatu kepada orang lain. Hampir setiap hari saya bertemu dengannya, karena kebetulan ia harus lewat di depan rumah saya untuk menuju tempat kerjanya.

Masalahnya Bu, X sudah memiliki istri dan 4 orang anak. Hal itu sudah saya ketahui sejak awal, begitu juga kepada keluarga saya dia berkata terus terang telah memiliki anak dan istri. Dia tidak pernah menutupi statusnya kepada orang lain (bukankah itu lebih baik daripada saya mengetahuinya belakangan Bu?) Tapi, Bu, saya sepertinya terlena dengan semua ini. Saya juga mencintai dan menyayangi X terlebih lagi dia selalu menuruti apa yang saya inginkan.

Setahun yang lalu X mengundang, keluarga dan tetangga dekat saya ke rumahnya untuk menghadiri selamatan. Di sana saya bertemu dengan istri dan anaknya. Anak pertama X sudah mengetahui perihal hubungan saya dengan X dan dia tidak mempermasalahkan itu asalkan X tidak meninggalkan keluarganya. Sementara istri X samasekali tidak mengetahui (istri X tidak pernah bepergain jauh karena jarak rumah X dengan kota tempat tinggal saya lumayan jauh).

X sangat mencintai dan menyayangi saya lebih daripada istrinya, terbukti dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama saya. X telah memiliki rumah di kota tempat tinggal saya dan itu akan menjadi hak saya nanti jika menikah dengan dia (surat-surat rumah ada pada saya).

Sekarang ini X mengajak saya untuk serius dan menikah. Bagaimana ini Bu? Apa yang harus saya lakukan? Orangtua dan kakak-kakak saya menyerahkan semua ini kepada saya, karena toh saya yang akan menjalaninya. Bila saya mau, maka kedua orangtua saya pun akan merestuinya, walaupun saya tahu hati kecil mereka, terutama ibu saya, sangat berat menghadapi ini. Bila saya mengambil keputusan "ya" berarti saya akan menjadi "istri kedua" apakah itu hina bu? Dan bagaimana menghadapi tanggapan orang-orang nantinya Bu ? Apakah saya akan bahagia bersama X ?

Sebenarnya saya ingin lari dari semua ini, tetapi saya ingat bahwa mungkin ini adalah suratan nasib saya. X pernah berkata jika saya mengatakan "tidak" dia tidak akan marah dan akan tetap baik kepada saya. Tapi saya sudah terlanjur sayang dan kasihan terhadap X.
Bu Rieny, bantu saya untuk menghadapi semua ini, apa yang harus saya lakukan? Saya tidak ingin dikatakan merebut suami orang dan perusak rumah tangga orang Bu. Terima kasih.
Tati - Somewhere 
Tati yth,
Tentu saja Anda akan diakatakan merebut suami orang bila kelak memang jadi menikah dengan X. Dan, Anda juga akan menjadi perusak rumah tangga orang manakala Nyonya X kemudian tahu mengenai perkawinan Anda dengan X dan itu membuat hubungannya dengan X lalu memburuk, atau malah berpisah sekalian.

Jika kejadiannya seperti itu, maka bukan hanya Nyonya X yang butuh penyesuaian baru dengan status barunya, entah janda atau perempuan yang dimadu, tetapi juga dengan anak-anaknya. Anak-anak X akan butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan bahwa kini mereka harus berbagi ayah dengan orang lain yang masuk ke dalam hidup mereka, tanpa mereka undang, apalagi mereka harapkan.

Ketika saya masih duduk di bangku SMP, jadi sudah hampir 30 tahun yang lalu, ada seorang teman tante saya yang cantik, langsing, bajunya bagus-bagus karena suaminya direktur dari sebuah bank swasta terbesar saat itu. Mereka berdua sering pergi makan malam dan berdansa dengan tante dan Om saya. Pada saat itu, melihat kehidupan mereka yang riang gembira, saya kerap berpikir, "Wah, enak, ya, jadi istri direktur bank, happy-happy terus."

Sampai pada suatu hari saya kehilangan tante tadi dan saya dengar ia sakit keras, dirawat di RS. Ketika kemudian saya melihatnya lagi, ia sudah kehilangan daya tariknya. Kurus, mukanya murung, dan kalau bertemu tante dan ibu saya ia sering terlihat menangis. Belakangan saya ketahui, si Om rupanya terpikat pada seorang gadis dan menikahinya sehingga istri dan anak-anaknya shock dan tidak bisa menerima kenyataan itu.

Tante ini tak bercerai karena suaminya memang tak berniat untuk menceraikannya. Sejalan dengan berlalunya waktu, ia tak pernah seceria dahulu. Sampai pada suatu hari, saya 'menguping' ketika ia bercerita pada tante saya bahwa ia merasa menemukan dirinya kembali, harga dirinya lagi dan ingin happy-happy seperti dulu lagi. Karena apa? Rupanya suaminya memiliki istri lagi, yang lebih muda dari anak pertama mereka.

Saya ingat benar apa yang dikatakannya. Begini Tati: "Selama dimadu, aku berpikir aku ini kalah lo sebagai perempuan. Dia muda, cantik, seksi dan, binal. Aku tidak bisa bergaya 'nakal ' seperti itu, dan karenanya aku tertekan sekali.Tetapi, ketika Mas kawin lagi, aku kok bisa mengubah semua cara pandang diriku yang buruk itu ya? Aku jadi sadar bahwa memang ia hobi kawin, jadi aku dimadu bukan karena aku lebih jelek dan lebih tua"

Bahkan dengan 'madu'nya yang ini, ia bisa tidak bermusuhan, sehingga si nomor 2 akhirnya tersisih dari 'peredaran' dan sampai meninggalnya, si Om ini punya 3 istri, karena kemudian ia menikah lagi untuk keempat kalinya.

Yang mau saya sampaikan pada Tati, bila X dengan mudah mengawini Anda, ada baiknya Anda memikirkan pula apa yang akan Anda rasakan bila kemudian X punya lagi istri ketiga dan keempat? Tidak mungkin? Sangat mungkin, dong! Uangnya banyak, statusnya terpandang, dan perempuan yang berpikiran seperti Anda juga tidak cuma Tati seorang. Jadi, tinggal menunggu waktu saja, bilamana perkawinan kedua akan disusul oleh yang berikutnya. Bukankah manusia cenderung mengulangi perilaku yang mendatangkan perasaan nyaman pada dirinya? Kalau menikah kembali ternyata menyenangkan untuk X, why not ia lakukan dan lakukan lagi?

Pembicaraan tentang istri kedua, hemat saya tak bisa diletakkan dalam kerangka hina atau tidak hina. Siapalah saya ini kok boleh mengatakan bahwa Anda hina karena menikah dengan suami orang. Bukankah Anda orang yang 'merdeka' berkehendak dan membuat keputusan untuk diri Anda?

Saya cuma bisa menyarankan agar Anda berpikir masak-masak mempertimbangkan apakah 'ongkos sosial' yang harus Anda bayar memang sesuai dengan pemilikan rumah, belanja dan hidup berkecukupan yang tampaknya Anda harapkan akan Anda peroleh dengan menikah dengan X.

Yang saya maksud dengan 'ongkos sosial' adalah label yang melekat sebagai istri muda. Dalam status dalam kehidupan sosial X, apakah Anda berpeluang untuk mendampinginya pada acara-acara dimana X harus hadir bersama istri? Bepergian bersama dan bersikap seperti suami-istri di hadapan khalayak ramai. Hal-hal ini biasanya akan sukar diperoleh oleh seorang istri kedua.

Jadi, kalau Anda katakan suratan nasib, saya kok ingin 'tersenyum kecut' ya, Tati, karena sepanjang kita masih bisa membuat keputusan yang mandiri untuk hidup ini, maka kita seyogianya berpikir dan berpikir ulang, tentang manfaat jangka panjang dari keputusan yang kita ambil dalam hidup kita. Dan, membuat keputusan untuk menikah, hemat saya adalah salah satu keputusan terpenting yang dibuat seseorang dalam kehidupannya.

Karenanya, sebelum Anda melangkah pada sebuah kepastian, boleh deh Anda menanyakan beberapa pertanyaan ini pada diri sendiri, dan menajwabnya dengan jujur. Atas dasar profil jawaban Anda, mudah-mudahan Anda bisa memperoleh sebuah gambaran, apakah memang kawin adalah jawaban yang tepat untuk Anda saat ini.

Pertama, sebutkan alasan baik yang membuat Anda ingin menikah. Artinya, ketika Anda benar menikah, ayah dan ibu memang senang dan setuju (bukan terpaksa setuju), kakak-kakak tak malu atau sungkan menghadapi lingkungan dan tak perlu menyembunyikan status Anda, dan alasan itu disebut baik bila di saat Anda merasa senang dan bahagia, ini tidak Anda lakukan di atas ketidak bahagiaan orang lain.

Lalu, apakah dengan menjadi istri kedua ini ada tujuan hidup Anda yang lalu terhambat untuk Anda realisasikan? Misalnya, Anda ingin kawin, melahirkan dan membesarkan anak dengan status sosial yang jelas. Apakah Anda punya tujuan bahwa melalui perkawinan Anda ingin lebih tenteram dan bahagia? Lalu, kalau menjadi istri kedua, apalagi tanpa persetujuan istri pertama, apa benar Anda akan lebih tenang dan tenteram dibandingkan ketika Anda belum menikah?

Yang terakhir, menilik perilaku X yang dengan tenang bisa menghadirkan Anda di rumah dimana istrinya berada, dapatkan Anda harapkan bahwa ia akan menjadi suamiyang pandai menjaga perasaan istrinya, membuat istrinya merasa aman dan terlindungi dan dikasihi secara total?

Sungguh, saya tak ingin memengaruhi apapun yang akan Anda putuskan, Jeng Tati. Hanya saja, saya ingin sekali ingatkan, perempuan selalu berada dipihak yang rugi dalam kasus-kasus seperti ini.Tidak terlalu tepat kalau dikatakan bahwa istri kedua pasti dapat lebih banyak (waktu bersama suami, uang dan pengakuan sebagai istri). Yang lebih sering saya temui, mereka lebih banyak harus hidup dalam bayang-bayang sang suami saja. Kalau sudah begini, meskipun punya rumah di atas pucuk gunung, saya yakin tak otomatis merupakan jaminan bahwa kita akan bahagia.

Kebahagiaan yang sebenarnya hanya akan bisa kita peroleh manakala kita menjalani hidup dengan perasaan nyaman karena yakin benar bahwa kita sudah membuat keputusan yang tepat dalam hidup. Mudah-mudahan Anda kini bisa lebih bijaksana dan berpikir panjang sebelum memuat keputusan. Salam sayang. 

Tuesday, September 1, 2015

Jangan Jadi Pelaku Kekerasan Verbal di Kantor


Verbal abuse atau kekerasan verbal memang merupakan bentuk kekerasan tersembunyi. Di tempat kerja, pelaku abuse atau abuserkerap tidak menyadari bahwa perilaku dan ucapannya melukai perasaan orang lain. Orang yang menjadi sasaran pun kerap tidak menyadarai bahwa dia adalah korban.

"Pelaku verbal abuse biasanya memiliki karakter narsistis, merasa diri paling hebat," ujar dr. Anggia Hapsari, Sp.K.J. Ciri lain adalah reaktif atau bereaksi berlebihan, manipulatif, takut salah, oportunis, dan kesepian, sehingga senang mencari-cari masalah. Itu sebabnya kata-kata yang kerap dia ucapkan sebenarnya menggambarkan karakteristiknya sendiri.

Adalah Alice Carleton yang berupaya mencari jawaban tentang penyebab penyakitnya selama ini. Pencariannya selama 15 tahun membuahkan hasil. Ia mempresentasikan makalahnya yang berjudulSociety Hidden Pandemic: Verbal Abuse, Precursor to Physical Violence atas undangan Michigan Counseling Association. Alice mengungkap bahwa verbal abuse bisa meningkatkan kadar kolesterol. "Setiap kali kita mengalami stres, hormon kortisol dilepas ke dalam sistem peredaran darah. Kortisol ini merusak sistem kekebalan tubuh dan mengganggu kerja insulin serta meningkatkan kadar kolesterol darah," papar Alice.

Dijelaskan lebih lanjut, gejala awal dari dampak verbal abuse adalah gangguan tidur, tersedak tanpa sebab, sariawan berkepanjangan, gatal-gatal, gelisah di kantor, atau tidak dapat duduk diam. Mendengar suara detak sepatu 'sang monster' dari kejauhan saja, korban langsung kehilangan rasa percaya diri. Reaksi lainnya, korban menarik diri, depresi, dan sering berbohong supaya tidak dimarahi. Korban mengalami lack of trust sehingga merasa harus melindungi diri dengan cara berbohong.

"Efek dari stres adalah, kalau karyawan itu masih muda, usia 20-an, mereka akan mengalami gagap. Disuruh apa pun jadi lambat. Melambatnya proses berpikir akan berdampak pada gerakannya yang serba lambat pula. Adapun penyakit yang paling lazim adalah sakit lambung, migrain, gatal-gatal pada kulit, dan tension headache atau sakit di leher bagian belakang," papar dr. Anggia.

Sadari segera jika Anda sering berteriak, mencibir, mengungkap kesalahan staf di hadapan orang lain, mengkritik penampilan atau hasil kerja staf Anda dengan pedas. Atau, Anda sering melakukan ini: mengajak staf Anda berbicara, kemudian meninggalkannya selagi ia berbicara. Sadari pula jika Anda kerap mendapati staf Anda sering sakit -terutama cenderung menghindari masalah daripada mencari pemecahannya.

"Pelaku verbal abuse biasanya punya kesulitan mengelola kemarahannya," kata Anggia. Program pengelolaan emosi atau anger management dapat diikuti untuk menurunkan kecenderungannya.



Immanuella F. Rachmani
Konsultan: dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ - RS Siloam, Jakarta

Tuesday, August 25, 2015

10 Pemahaman Keliru Tentang Feminisme

http://magdalene.co/news-381-10-pemahaman-keliru-tentang-feminisme-.html

By : Devi Asmarani

Dari Virginia Woolf dengan keindahan tulisannya; martir penuntut hak perempuan untuk memilih, Emily Davison; para intelektual seperti Simone de Beauvoir, Germaine Greer dan Naomi Wolf; aktris tanpa cela Emma Watson; sampai para aktivis daring dari Everyday Sexism – feminisme adalah wajah dari banyak perempuan dan laki-laki, yang terwujud dalam pemikiran-pemikiran dan ekspresi berbeda, semuanya dengan tujuan sama untuk membangun kesetaraan untuk perempuan di semua wilayah kehidupan mereka.

Sayangnya, masih banyak orang yang keliru memahaminya dan kekeliruan-kekeliruan itu terus disebarkan sampai sekarang.

Berikut adalah 10 kesalahpahaman terbesar mengenai feminisme:

  1. Feminis membenci laki-laki
Ini adalah salah satu kekeliruan paling kuno dan paling melelahkan mengenai feminisme. Feminisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik. Feminisme tidak pernah merupakan ideologi kebencian.

  1. Untuk mencapai kesetaraan, feminisme harus melemahkan laki-laki
Mencapai kesetaraan gender memang harus melalui dekonstruksi maskulintas, namun hal ini tidak sama dengan mengebiri laki-laki. Dalam ratusan tahun sejarahnya (bahkan sebelum istilah “feminisme” dilontarkan), gerakan ini telah memupuk tradisi perenungan dalam dan pemikiran kembali konstruksi sosial atas gender maupun dinamika gender. Feminisme seharusnya memperbaiki relasi gender, bukan memperkuat salah satu jenis kelamin dengan mengorbankan yang lain. 

  1. Feminisme hanya membantu perempuan ­
Feminisme tidak hanya membebaskan perempuan, gerakan ini juga membebaskan laki-laki dengan memutus standar-standar yang diberikan masyarakat pada perempuan dan laki-laki. Feminisme adalah tentang mengubah peran-peran gender, norma seksual dan praktik-praktik seksis yang membatasi diri. Laki-laki memiliki kebebasan untuk menjelajah hidup di luar batas-batas kaku maskulinitas tradisional. Feminisme juga mempercayai akses yang sama untuk pendidikan, yang barangkali memungkinkan ibu-ibu Anda mendapatkan gelar universitas dan mendapatkan pekerjaan, sehingga Anda dan saudara-saudara Anda memiliki kesempatan yang lebih baik dalam hidup. Dengan pendidikan, perempuan cenderung memiliki pilihan-pilihan hidup yang lebih baik, menghasilkan keluarga dan masyarakat yang lebih sehat dan berfungsi secara optimal. 

  1. Hanya perempuan yang bisa jadi feminis
Feminis berkomitmen untuk mengatasi masalah-masalah sehari-hari seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan dan kekerasan seksual, ketidaksetaraan penghasilan, obyektifikasi seksual, dan lain-lain. Cara terbaik untuk menanggulangi masalah-masalah ini adalah untuk melibatkan laki-laki, meningkatkan kesadaran para pegawai pria mengenai kepekaan gender, mengajarkan anak laki-laki untuk menghormati anak perempuan, membuat para ayah mau berbagi beban pekerjaan rumah tangga dan lebih terlibat dalam membesarkan anak-anak, dan masih banyak lagi.

  1. Feminis pasti ateis
Memang betul bahwa beberapa agama memiliki perspektif-perspektif patriarkal yang tinggi dan melanggengkan praktik-praktik diskriminatif kuno terhadap perempuan, namun bukan berarti tidak ada ruang untuk perbaikan. Ada banyak pihak yang telah memasukkan interpretasi ramah perempuan ke dalam ajaran-ajaran agama. Di Indonesia kita memiliki ulama feminis dancendekiawan Muslim ini serta beberapa lainnya. Anda tidak perlu mendepak agama Anda untuk meyakini bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.

6.  Feminis tidak percaya pernikahan 

Omong kosong. Banyak feminis yang memiliki pernikahan bahagia (salah satunya saya). Selama pernikahan memberikan nilai-nilai pribadi, hukum dan sosial kepada kedua orang di dalamnya, tidak ada alasan untuk menolak lembaga perkawinan. Yang ditolak para feminis ini adalah ketika masyarakat menilai pernikahan sebagai “tempat yang lebih baik” untuk perempuan, memberi hukuman sosial untuk mereka yang tidak menikah atau bercerai, dan ketika pernikahan digunakan sebagai cara mengontrol perempuan. Selain itu, para feminis percaya pernikahan legal harus berlaku bagi semua preferensi seksual dan ekspresi gender (ya, kami percaya pernikahan sesama jenis!). 

  1. Feminis sejati tidak menggunakan rias wajah dan beha
Bohong! Feminisme memberikan perempuan pilihan – bukan membatasi – ekspresi pribadi. Tidak bisa lepas dari sepatu hak tinggi? Pakailah. Senang memakai rok mini hitam? Mengapa tidak. Namun mengekspresikan diri dalam ekspresi feminitas tradisional adalah pilihan, bukan kewajiban, dan tidak seharusnya itu mendefinisikan diri Anda. Secara pribadi, saya suka terlihat cantik, tapi saya tidak suka membuang terlalu banyak waktu dan energi untuk melakukannya, jadi saya jarang memakai rias wajah, kecuali pensil alis dan lip-gloss.

  1. Feminisme adalah konsep Barat
Sejujurnya, ini adalah salah satu kritik diri utama dalam gerakan feminis di masa lalu: bahwa feminisme, sebagai gerakan dan ideologi, terlalu Eropa-sentris dan didikte oleh perempuan kelas menengah berkulit putih. Gerakan ini juga dikritik karena kecenderungannya untuk mengabaikan kelas, kasta, agama, bias etnis dan diskriminasi ras yang memperumit ide mengenai gender. Namun feminisme telah ada sejak lama di bagian dunia non-Barat, dari Amerika Selatan, Asia sampai Afrika, meskipun dengan fokus-fokus yang sedikit disesuaikan dengan konteks lokal.

  1. Feminisme belum berubah seiring waktu
Salah! Gelombang pertama feminisme pada abad 19 dan awal abad ke-20 difokuskan pada persamaan hak sipil dan politik, terutama hak perempuan untuk memilih dalam pemilu. Gelombang kedua, yang mulai pada 1960an sampai 1980an, memperluas tujuan-tujuan itu untuk menyertakan isu-isu seksualitas, keluarga, tempat kerja, hak-hak reproduksi dan ketidaksamaan legal lainnya. Feminis-feminis gelombang ketiga mengembangkan debat-debat itu untuk fokus pada ide-ide seperti teori homoseksualitas, penghapusan ekspektasi peran dan stereotip gender. Kesadaran dalam feminisme saat ini – terkadang disebut feminisme gelombang keempat, meski masih diperdebatkan – merengkuh ide “interseksionalitas”, penindasan-penindasan ganda yang saling berkaitan terhadap ras, seks, seksualitas dan kelas. Ini adalah gerakan dan kesadaran yang mengadvokasi orang-orang untuk memberi ruang pada mereka yang termarjinalkan secara politik, ekonomi dan sosial karena gender, preferensi seksual, ras, kelas dan hal-hal lainnya. 

  1. Feminisme tidak diperlukan lagi karena perempuan sudah setara dengan laki-laki
Hal ini sangat keliru. Mari ingat-ingat lagi tuntutan gerakan pembebasan perempuan pada 1970an: Empat tuntutan pertama adalah kesetaraan gajikesempatan sama atas pendidikan dan pekerjaanjaminan hak-hak reproduksi, dan penghapusan kekerasan atau pemaksaan seksual tanpa memandang status pernikahannya. Sekarang lihat fakta-fakta hari ini: Menurutlaporan dari Organisasi Buruh Sedunia PBB, perempuan di seluruh dunia hanya menerima 77 persen dari besarnya gaji yang dibayarkan untuk laki-laki, angka yang hanya meningkat 3 persen dalam 20 tahun terakhir. Ditambah lagi, banyak lapangan pekerjaan masih tidak ramah untuk ibu, dan posisi-posisi kepemimpinan teratas dalam perusahaan-perusahaan dan pemerintahan masih sangat didominasi oleh laki-laki. Kedua, di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah anak-anak perempuan yang putus sekolah masih lebih tinggi daripada anak laki-laki karena orangtua mereka melihat anak perempuan tidak menguntungkan dilihat dari investasi ekonomi. Ketiga, meski alat-alat kontrasepsi sekarang tersedia secara luas, banyak negara (termasuk Indonesia) yang masih memperbolehkan pernikahan di bawah umur, yang melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan. Keempat, budaya pemerkosaan tumbuh subur baik di negara maju maupun berkembang. Di negara-negara seperti  Indonesia, hukum dan penegak hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual hampir tidak pernah berpihak pada perempuan.

Selain itu, tradisi mengerikan seperti mutilasi genital perempuan masih dipraktikkan di Afrika dan bahkan di Indonesia. Dan, jangan lupa, meski perempuan akan boleh memilih untuk pertama kalinya dalam pemilu di Arab Saudi tahun ini, mereka masih belum boleh menyetir atau meninggalkan rumah tanpa muhrim laki-laki.

Jadi masih berpikir pekerjaan kita sudah selesai? Pikirkan lagi.

*Tulisan ini diterjemahkan dari artikel "Ten Things You're Wrong About Feminism".

**Baca wawancara Devi mengenai salah satu feminis pertama Indonesia, Kartini, dan ikuti @dasmaran di Twitter.

Friday, July 31, 2015

Wednesday, April 22, 2015

Kekasih Bicara Kasar Tiap Bertengkar, Pertahankan Atau Putus Saja?

http://wolipop.detik.com/read/2015/04/01/074815/2875370/852/kekasih-bicara-kasar-tiap-bertengkar-pertahankan-atau-putus-saja


Jakarta - Kekerasan dalam hubungan tak hanya bisa terjadi saat sudah berumah tangga, namun juga kerap terjadi di masa pacaran, atau disebut juga dating violence. Tak selalu berupa kekerasan fisik, namun juga dapat berupa kekerasan verbal maupun emosional.

Sayangnya, kekerasan verbal semacam ini jarang disadari karena tak meninggalkan bekas fisik. Tanpa disadari, justru ucapan memiliki efek yang lebih besar dibandingkan luka fisik.

Tak jarang pula, wanita tetap bertahan dalam hubungan, meski pasangannya kerap melontarkan kata-lata kasar dan tidak sepantasnya. Dalam pikirannya, mereka menolak untuk meyakini bahwa kekerasan verbal sebenarnya bagian dari dating violence sendiri.

"Umumnya dalam 'dating violence' terdapat pola yang 'khas' pada perilaku kekerasan yang dilakukan dalam sebuah hubungan. Pola tersebut biasanya membentuk siklus berulang seperti 'lingkaran setan," tutur Ratih Ibrahim, psikolog sekaligus konsultan cinta Wolipop.

Seperti yang diungkap Ratih, ada siklus berulang untuk kekasih yang kerap melakukan dating violence. Di awali dengan fase kekerasan, kemudian diikuti fase bulan madu, saat kekasih meminta maaf dan berlaku manis. Seolah menunjukkan ia bukan lagi individu yang sama, setidaknya sampai pertengkaran berikutnya terjadi.

Jika pola ini juga terjadi dalam hubungan, Anda perlu mulai membuka pikiran dan melakukan evaluasi mengenai kualitas hubungan yang telah dijalani selama ini. Bila setelah melakukan evaluasi menunjukkan pasangan tidak menghargai, atau membuat Anda rendah diri dan tak layak dicintai, sebaiknya pertimbangkan kembali kelanjutan hubungan bersamanya.

Meski berdalih cinta, namun perlu diingat bahwa Anda wanita berhak untuk merasa dicintai, dihargai dan harus lebih menyayangi diri sendiri. Pikirkan kembali masa depan jika terus bersama orang yang membuat Anda merasa tak berharga.

"Sangat penting dalam sebuah hubungan terbina: (1) trust atau rasa saling percaya dan dapat dipercaya satu sama lain, (2) respect atau sikap saling menghargai satu sama lain, dan (3) grow together atau dengan bersama dapat saling bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik," saran Ratih Ibrahim.

(als/kik)

Friday, April 17, 2015

Sahkah Perjanjian Kawin yang Tak Didaftarkan ke Pengadilan?

RABU, 13 NOVEMBER 2013

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4eddd7528cbe1/lt50c7006c988b1.jpg
Di Indonesia, ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)Dalam Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa, jika perjanjian kawin ingin mengikat/berlaku juga bagi pihak ketiga, maka harus di sahkan/dicatatkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan dilaksanakan.
 
Terdapat dua poin penting dalam pasal ini.
 
Pertama, perjanjian kawin harus didaftarkan, untuk memenuhi unsur publisitas dari Perjanjian Kawin dimaksud. Supaya pihak ketiga (di luarpasangan suami atau istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan dalam perjanjian kawin yang telah dibuat oleh pasangan tersebut. Jika tidak didaftarkan, maka perjanjian kawin hanya mengikat/berlaku bagi para pihak yang membuatnya, yakni suami dan istri yang bersangkutan.Hal ini sesuai dengan pasal 1313, 1314 dan 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), dimana perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
 
Kedua, sejak UU Perkawinan tersebut berlaku, maka pendaftaran/pengesahan/pencatatan perjanjian kawin tidak lagi dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, untuk pasangan yang beragama Islam.Pencatatannya dilakukanoleh KUA pada buku nikah mereka,sedangkan untuk yang nonmuslim, pencatatan dilakukan oleh kantor catatan sipil setempat pada akta Nikah mereka. Untuk detailnya tentang Perjanjian Kawin, bisa di baca di artikel ini: Perjanjian Kawin, Perlukah dibuat? http://bit.ly/ysWBDF
 
Demikian, semoga bermanfaat ya…!
 
 
Dasar hukum:
  1.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  2.       Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  

Tuesday, March 31, 2015

10 Negara Paling Berbahaya Bagi Perempuan

http://citizen6.liputan6.com/read/2156899/10-negara-paling-berbahaya-bagi-perempuan?p=0


Citizen6, Jakarta Kekerasan terhadap perempuan, kesehatan yang buruk, dan kemiskinan adalah beberapa alasan utama yang membuat negara-negara berikut berbahaya bagi perempuan. Perempuan kerap dilecehkan dan diperlakukan buruk di negara-negara ini. Apa saja negara-negara yang berbahaya bagi perempuan?
10. Mexico
Sebenarnya merupakan negara yang indah. Hanya saja, negara ini tidak terlalu aman bagi perempuan. Meksiko mempunyai tingkat kejahatan yang tinggi. Para mafia narkoba dan dealer menjadi gangguan utama bagi perempuan yang berkunjung ke sini. Jika anda adalah orang asing, anda harus siap untuk mendapatkan banyak tatapan dari penduduk lokal. Meski demikian, jika anda bersikap wajar, anda tak akan diganggu oleh penduduk setempat.
9. Nigeria
Nigeria adalah negara dengan bias gender yang cukup parah. Kekerasan dalam rumah tangga sangat umum terjadi di negara ini. Dua dari tiga perempuan Nigeria mengatakan mereka menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Polisi Nigeria pun terlalu korup untuk membantu mereka. Perempuan Nigeria banyak yang dipukuli, diperkosa, dilecehkan baik secara mental, seksual, dan psikologis oleh laki-laki di negara ini.
8. Kolombia
Kekerasan dan agresivitas sangat umum terjadi di Kolombia. Kasus kekerasan dalam rumah tangga serta kekerasan seksual meningkat pesat di Kolombia. Sekitar 41% dari perempuan berusia 15 sampai 49 tahun menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan pasangannya. 95% kasus kekerasan dalam rumah tangga tak dilaporkan. Kekerasan terhadap perempuan pengungsi bahkan lebih tinggi.
7. Yaman
Meski mempunyai wilayah geografis yang indah, beberapa suku dan organisasi membuat tempat ini berbahaya bagi perempuan. Bom mobil dan perang antara pemberontak dengan pemerintah kerap menyasar kaum perempuan. Kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan sangat umum terjadi di Yaman.
6. Pakistan
Kebebasan perempuan dibatasi di negara ini. Di Pakistan, perempuan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa izin dari ayah, saudara, atau suaminya. Kekerasan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan kerap terjadi di Pakistan. Ketidakpekaan polisi dan pemerintah membuat perempuan rentan terhadap kejahatan di negara ini. Dan bila kasus yang menimpa perempuan di bawa ke ranah pengadilan, hakim kerap memperlakukan mereka dengan tidak hormat.
5. Sudan
Kekejaman di Sudan bagian Barat sudah sangat terkenal. Beberapa kelompok kerap membunuh kelompok serta ras lain secara bebas. Menurut statistik dari Save the Children, Sudan merupakan negara paling berbahaya bagi ibu hamil. Setiap tahun, hampir 5000 bayi meninggal beberapa jam setelah mereka dilahirkan akibat pengobatan yang payah.
4. Afghanistan
Awalnya perempuan bebas untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan yang layak di negara ini. Namun ketika Taliban berkuasa, hak mereka dibatasi. Perempuan tidak diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa ditemani anggota laki-laki dari keluarga mereka. kondisi kesehatan yang buruk juga membuat kehamilan dan kelahiran anak menjadi berbahaya bagi perempuan Afghanistan. Gadis-gadis muda dilaporkan dipaksa untuk menikah atau bahkan diculik dan diperkosa selama perang yang terjadi di negara ini.
3. Somalia
Para perempuan di Somalia menjalani kehidupan yang sengsara. Hamil adalah ketakutan terbesar mereka. Dengan tidak adanya fasilitas medis, kelahiran seorang bayi sering mendatangkan kematian. Mereka juga takut diperkosa atau bahkan dimutilasi. 95% dari anak perempuan antara usia 4 sampai 15 adalah korban kekerasan.
2. Irak
Gerakan perempuan sangat dibatasi di negara ini. Hak asasi perempuan kerap dilanggar. Beberapa perempuan yang dimasukkan penjara, dibiarkan mendekam tanpa bertemu hakim atau pengadilan. Petugas pun kerap menyetrum dan memperkosa perempuan dengan tujuan memaksa mereka mengakui kejahatan.
1. Suriah
Sejak perang yang berlangsung dari tahun 2011, kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat drastis di negara ini. 80% kasus kekerasan seksual menimpa perempuan di negara ini dengan korban kelompok usia antara 7-49 tahun. Pemerkosaan digunakan di Suriah sebagai alat penghinaan, balas dendam, dan intimidasi selama perang saudara. Banyak warga negara yang melarikan diri ke negara tetangga karena tak tahan dengan kekerasan yang terjadi di negaranya.

Saturday, February 28, 2015

The Tale of a Grown-up Rabbit

by: Januarsyah Katz

The snow fell onto the grass, freezing and relentless. Yet, I stood still and sobbed. From afar, I witnessed humans were cutting down a fir tree which was of importance to me; it was my mother’s home.
She was a caring mother; a single parent who would do anything for her babies. Underneath the poor tree, she took care of me and my three siblings. Sadly, they were dead right now; a cruel wife of a farmer had put them in pies; just like what she did to my father. Those innocent rabbits didn’t behave badly as one might suggest, they were just being nostalgic.
One day, my happily-married siblings and I visited our kind mother; we missed her very much! After lunch, I felt sick as I ate too much and mother gave me a cup of herbal tea. She coaxed me to stay home and rest, before she and my siblings went down the lane to gather blackberries. No rabbit knew that the land had been bought by the farmer and he set up vicious traps all over the place. WHACK, WHACK, WHACK and WHACK! Spiky metal tore their flesh and kept my injured family there until the farmer came to thrust them into a sack. The ground was sprinkled with blackberries and red with their blood.
My cousin, Benji, had a plan to avenge the death of my sister who was also his dear wife but it didn’t take place as his house was buldozed by a gigantic vehicle. The brave rabbit was inside, resting. He died along with some of his children; their bodies were flat and their intestines sprouted out. At that time, lots of rabbits’ houses were destroyed and all remaining rabbits, including the rest of Benji’s children, had escaped to the unknown areas of the forest, risking their own lives of being eaten by predators.
I stayed; perhaps because I was confused and sad, and after I witnessed my mother’s home being destroyed. I decided to go to the farmer’s garden.
“Don’t go to the farmer’s garden,” my mother would say when she was alive. Before she gave the warning, I knew it’s forbidden to go to that particular area as there were signs along the fence which read, “No entry for those who have no right”. All I knew, my family supposed to have all the rights; my father found that fertile land first! Unlike my siblings, I preferred to break an unfair rule. I squeezed into the farmer’s enclosure and gobbled some lettuces, French beans and radishes. It tasted weird; it must be because of the pesticide he sprayed to get rid of pests. It made me feel rather sick. When I was about to leave, the farmer spotted me. He tried his best to catch me but I was faster and smarter than him; I escaped from the old man after a tiresome run.
“This time,” I thought, “I won’t run. I would do whatzever it takes to avenge the lives of my family.”
One jump at a time, I got closer to the farmer’s house. I dismissed the temptation to visit the new glass houses and eat some fresh vegetable which were protected from the cold snow. The wooden door was newly varnished; it looked shiny but the smell was extremely awful. The farmer’s house had become bigger than the first time I saw it; just like the size of his land; just like the size of his vegetables and fruits; just like the size of his chickens and pigs. Those chickens and pigs were so fat, they had difficulties walking!
When I reached the door, I kicked it with my hind legs at once, thinking about the pies in which my parents and my siblings were put in. I kicked once more, thinking about poor Benji and his children. I kicked it some more, thinking about the life full of resentment and the bleak future I had. I was about to cry before the faint click was heard; someone would catch me!
“This time,” I thought, “I wouldn’t run. They had destroy my house and killed my family and I will do just the same!”
A pretty girl appeared from the back of the door; I had never seen her before. I jumped and kicked her leg furiously. She was shocked and screamed. I got in and ready to attack more people in the house. As I didn’t see anyone, I jumped upon expensive chinas until they fell into pieces; pushed some vintage photograph frames from the tables; defacated on the sofas and the dining table; bumped on every dishes in sight so they would break on the floor! The house was a mess but I didn’t destroy it.
Realizing that I had no capability in bringing down a house, I jumped onto the floor and about to leave the house and reconsider about destroying this house. But round the dining table, whom should I meet but the old farmer himself. My worst adversary.
“You thief,” he said angrily.
I knew I might not have the ability to kill a person; but that didn’t put me down. I would not run away from this wicked farmer. He had to pay for what he had done; I kicked him as hard as I could on his right leg. He screamed as his old and ill leg could be easily hurt. When he fell on his knees, I jumped higher onto his shoulder and kicked his right face. His glasses fell and broke into pieces! I was convinced that I could kill the old man.
Suddenly, everything was dark. Someone came up with a sieve and caught me.
“Now you can’t go anywhere, wicked rabbit!” said the Farmer’s wife, “I’m going to put you in a pie and eat you with my granddaughter!”
On the contrary of what you think, I had predicted that I would end up in a pie. In fact, I was ready to die; what a lonely rabbit could do in such a cruel world? Undoubtedly, the afterlife would be more joyful as I certainly would meet my parents and siblings; and, perhaps the fig tree. We would once again live in a comfortable house happily.
***
“Were you put in a pie?”
“No, of course. I could not tell you this story if I was dead,” I explain.
“Then what happened, father?” asks one of my children, Daisy. She and her brothers jump around my body which has become as fat as the chickens and the pigs. Breathing is no longer an easy task for me and my wife because of the high amount of fat in our body.
“The little girl cried and did not want to eat a rabbit pie. She said that she would like to have me as her pet. After a long discussion, the farmer and his wife agreed to give me as a present to her and put me in this jail. From that moment, they never let me out. I was desperate and lonely, that girl gave me abundant amount of food and cleaned this jail twice a week but none of those made me happy. I kicked the fence as often as possible, not to get out, but to beg anyone to put me in a pie. No one ever did. Instead, the girl captured your mother and imprisoned her with me. Your mother was also furious and sad; she was separated from her family in the wood. At first, we were too busy kicking the fence to introduce ourselves but then we mated as it was impossible to neglect one’s biological needs. Then, the three of you were born. Here. In this very jail.”
“It’s not a jail, Father,” says Blacknose, “it’s called a cage!”
“Then it’s happily ever after, right? You found a new home and a new family!” exclaims Little Benji. He jumps up and down excitedly. I cringe. Inspite of my story, to these children this cage happen to be their home.
I hear a pitter-patter at length; that girl will come very soon. Precisely, the teenage girl appears from the back of the door and approached the cage. My children are excited to greet her; they think she is the saviour. She opens the door of the cage and let my children out to play. She doesn’t let me and my wife out even once, as she thinks we will run away. Stupid girl. Do we even have the ability to do that? I’m too old to lift my fat body, so is my wife.
I overhear their happy voices through the window. Poor children; It is very hard for them to understand that they have surrendered their mind to their worst enemy. Slaves, yes, they have become slaves. I have to be frank with you that end of the story is not very jolly, but in my view, this is what it is: my wife and I, are sentenced for life for remaining angry. Our ability to live in the wild has been stripped as we have depended our lives for so long to species that have killed our loved ones. My children, though, they will probably retell my tale with their own perspective. Perhaps their children will be familiar with this ending: finally, the grown-up rabbit found a new home and a new family. Together these imprisoned bunnies will think that I lived happily ever after, as they think all of them are.