Monday, December 31, 2012

Thursday, November 29, 2012

Kekerasan Berselubung Cinta





http://www.tipsmencarijodoh.com/tips-untuk-wanita-2/kekerasan-berselubung-cinta.html


Amuk massa di mana-mana. Mulai dari persoalan kekecewaan atas hasil pemilukada, sengketa tanah, sampai urusan saling ejek antarpemuda kampung, hampir selalu berakhir pada amuk massa.
Kata amuk adalah bukti nyata kekayaan khazanah kosakata melayu yang masuk ke dalam bahasa Inggris. Coba buka Wikipedia. Di sana akan kamu temui kataamuk atau amok didefinisikan sebagai “mad with uncontrollable rage”. Ya, definisi yang sangat tidak elok tentunya.
Parahnya amuk juga merambah ke dalam kehidupan berumah tangga. Selama tahun 2011, jumlah layanan pengaduan dan bantuan yang dilakukan oleh LSM Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre sebanyak 209 kasus. Prosentasi 90,43% merupakan kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan wilayah lainnya.
Kekerasan Dalam Keluarga menurut UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1 ditafsirkan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tragisnya, gejala kekerasan juga melanda pasangan yang masih berstatus pacaran. Kamu mungkin masih ingat kasus Leni (21) mahasiswi Universitas Paramadina yang dipidanakan sendiri oleh pacarnya, Anjas (27). Peristiwa ini membuka tabir begitu banyaknya kekerasan dalam berpacaran. Psikolog forensik, Reza Indra Giri Amriel berpendapat bahwa kekerasan dalam pacaran tidak boleh ditolerir karena akan berulang di kemudian hari.
Pelaku tindak pidana ini umumnya cowok. Setelah melakukan kekerasan, biasanya ia akan mengaku khilaf lalu mengiba dan meminta maaf. Si cewek mau memaafkan. Sesaat kemudian keduanya kembali rukun. Berikutnya konflik berulang dan kekerasan pun terjadi lagi. Sehabis itu si cowok kembali meminta maaf. Demikian, siklus ini terus berulang tiada henti.
Kalau masih dalam status pacaran sudah bertindak seperti itu mah, tinggalkan saja dia, Sister. Bisa dibayangkan bagaimana ke depannya, saat ia sudah menjadi suamimu. Cowok yang saat berpacaran tampak lemah lembut saja, begitu sudah jadi suami bisa berubah garang, lebih-lebih dia yang modal dasarnya sudah brangasan.
Jangan terbuai dengan mulut manis, bujuk rayu, dan permohonan maafnya, apalagi kalau dia sudah melakukan tindak kekerasan berkali-kali, baik secara fisik maupun mental. Buang dia jauh-jauh. Masih ada lelaki lain yang care sama kamu. Percayalah!

Tuesday, November 27, 2012

Wednesday, October 24, 2012

Sikap Intoleransi di Indonesia Mengkhawatirkan

http://www.harianterbit.com/2012/10/22/sikap-intoleransi-di-indonesia-mengkhawatirkan/


Kinoy — HARIAN TERBIT
JAKARTA – Meskipun Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat menjunjung tinggi toleransi, namun berdasarkan survei terkini Lingkaran Survei Indonesia (LSI), sebanyak 15-80 persen rakyat Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas. Sikap intoleransi terhadap identitas dinilai semakin mengkhawatirkan.
Tiga jenis tetangga yang dikategorikan oleh LSI adalah Syiah, Ahmadiyah dan homoseksual yang mendapatkan persentase penolakan yang tinggi oleh publik Indonesia.
Sebesar 41,8 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Syiah. Sebesar 46,6 persen publik merasa tidak nyaman berdampingan dengan orang Ahmadiyah dan sebesar 80,6 persen publik merasa tidak nyaman berdampingan dengan orang yang memiliki hubungan sesama jenis (homoseksual). Sedangkan mereka yang mengaku hidup tidak nyaman hidup berdampingan dengan tetangga yang berbeda agama sebesar 15,1 persen.
“Artinya, mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam lebih menerima hidup bertetangga dengan orang yang beda agama daripada hidup bertetangga dengan orang Islam yang berbeda paham seperti Syiah dan Ahmadiyah,” ujar Ardian Sopa dari LSI Community, kemarin, di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur.
Pada 2005, LSI pernah melakukan survei dengan variabel dan indikator yang sama. Pada saat itu, publik yang merasa tidak nyaman terhadap tetangga yang berbeda identitas hanya sebesar 8-65 persen, katanya.
Temuan survei 2005 menunjukkan bahwa mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan de-ngan orang yang berbeda agama naik 8,2 persen dari 6,9 persen menjadi 15,1 persen pada survei 2012. Ketidaknyamanan bertetangga dengan orang Syiah sebelumnya sebesar 26,7 persen kini naik 15,1 persen menjadi 41,8 persen.
Sementara mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Ahmadiyah naik sebesar 7,5 persen yang sebelumnya hanya 39,1 persen menjadi 46,6 persen pada 2012. Dan mereka yang tidak nyaman bertetangga dengan homoseksual pada 2005 hanya 64,7 persen kini menjadi 80,6 persen.
“Sikap intoleransi yang terjadi di Indonesia berbeda jauh dengan masyarakat yang majemuk di negara-negara Barat yang berkisar 2,0-25,0 persen saja tergantung isunya,” papar Adrian.
Penggunaan kekerasan dalam menindak mereka yang berbeda identitas atau agama tertentu juga semakin meningkat. Lebih dari 20 persen publik Indonesia yang setuju dan membenarkan penggunaan kekerasan dalan menegakkan prinsip agama.
“Angka ini meningkat dari tahun 2005 yang hanya di bawah 10 persen mereka yang setuju dengan penggunaan kekerasan,” ungkapnya.
Editor — Maghfur Ghazali

Sunday, September 30, 2012

YANG DIRENDAHKAN: SASTRA TENTANG TUBUH


Oleh: Hendri Yulius*

Eve Ensler, sang penggagas teater “The Vagina Monologue“ bertema seksualitas perempuan ini mengaku dengan jujur, mementaskannya untuk publik dibayangi ketakutan akibat ketabuan akan seks ini berhasil diterabasnya. Sebab seksualitas perempuan tak pernah hadir secara apa adanya. Ia selalu diikuti dengan beban moral dan stereotipe ‘perempuan jalang’ (bitch) ketika seksualitas itu dimunculkan ke ruang publik yang merupakan buah dari budaya patriarki. .
Erica Jong, penulis perempuan keturunan Yahudi pada tahun 70-an lewat novel trilogi karyanya yang berjudul “Fear of Flying”, menceritakan pengalaman perempuan yang telah berumah tangga untuk berpetualang untuk menemukan jati dirinya secara seksual dan menemukan kenikmatan orgasmik yang selama ini begitu dirindukannya.
Ada juga Wei Hui dari Cina yang lewat novelnya berjudul “Shanghai Baby” berkisah tentang gadis muda bernama Coco yang memiliki kekasih impoten yang membuatnya akhirnya berselingkuh dengan lelaki keturunan Barat. Perselingkuhan ini menimbulkan pertanyaan tentang cinta dan pengkhianatan.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, Ayu Utami lewat Novelnya Saman pertama kali bicara seks menuai hujatan dan argumen berbasis moralitas sempit menggeser pokok novel Ayu yang sebenarnya bicara tentang kompleksitas seksualitas manusia, ketimpangan gender, hingga carut-marut politik Orde Baru dan mereduksinya menjadi seolah karya yang bicara seks dengan vulgar.
Mengapa karya sastra perempuan yang bicara seks selalu ditempatkan dalam ranah sekunder, bahkan seringkali direduksi menjadi karya pornois? Tak bisa tidak, kita harus melihat isu moralitas yang sering digunakan untuk menghakimi karya perempuan. Moralitas yang hadir dalam kekuasaan budaya patriarkis bergerak dalam moda dikotomi antara aktif (lelaki) dan pasif (perempuan). Perempuan ditempatkan dalam wilayah pasif dan domestik yang membuatnya harus tunduk dan diam terhadap seksualitasnya.
Pandangan seksis ini mendapat justifikasi dari esai Sigmund Freud yang berjudul “Feminity”. Dia berargumen bahwa seorang gadis lebih bergantung dan kurang agresif. Lanjutnya, perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, hanya karena tidak memiliki penis.
Oleh karenanya, perempuan yang dianggap aktif dan menantang seksualitas akan dianggap sebagai ‘perempuan jalang’ karena telah melanggar batasan norma ini. Sementara, lelaki tidak. Inilah yang dinamakan kekerasan simbolik yang diterakan lewat hinaan dan pembentukan stereotipe.
Griselda Pollock menulis bahwa citra perempuan selalu mencerminkan makna yang berasal dari tempat lain, yakni struktur sosial. Tentu, struktur sosial ini belum pernah bisa dilepaskan dari kekuasaan budaya patriarkis yang membungkam seksualitas perempuan. Oleh karena itu, tulisan yang merupakan arena pertarungan makna simbolik harus dapat direbut. Karya sastra merupakan arena yang dapat digunakan untuk merebut subjektivitasnya dan meleburkan batasan dikotomi aktif/pasif dan moral/amoral itu.
Pemikir feminis Perancis, Helene Cixous berpendapat bahwa dengan menulis, perempuan dapat menerabas batas dikotomi dan melakukan transformasi budaya. Bukanlah nalar berbasis moralitas dikotomis yang seharusnya dijadikan landasan menulis, tetapi hasrat. Hasrat yang membebaskan.
*Penulis Buku “3-Some”


Friday, September 28, 2012

Diam - Potret

Friday, August 31, 2012

Domestic Violence Commercial

Friday, July 27, 2012

Saturday, June 30, 2012

Stop Violence Against Children

Sunday, April 29, 2012

Stop Kekerasan dalam Pacaran

Tuesday, March 27, 2012

Lingkaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Lingkaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Oleh: Titiana Adinda


Anda sering bimbang ketika telah menjadi korban KDRT. Anda sering memaafkan pelaku dengan alasan dia telah meminta maaf kepada Anda dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.  Tetapi beberapa saat kemudian kekerasan itu terjadi lagi. Anda binggung kenapa bisa terjadi seperti itu? Itulah yang disebut the cycle of violence atau lingkaran kekerasan.

Kekerasan tidak terjadi sepanjang waktu, tetapi Anda akan mengalami masa-masa damai bahkan menyenangkan dengan pasangan anda. Maka sebaiknya Anda mengetahui pola lingkaran kekerasan itu.

  1. Fase Pertama; Ketegangan Yang Meningkat
    • Ketegangan mulai muncul. Pelaku mulai membuat insiden kecil, kekerasan lisan seperti memaki atau membentak serta kekerasan fisik kecil-kecilan.
    • Perempuan mencoba menenangkan atau menyabarkan pasangan dengan cara apapun yang menurutnya akan membawa hasil
    • Tetapi kemudian perempuan merasa tidak banyak yang bisa dia lakukan karena sekuat apapun dia berusaha menyenangkan suami/pasangan kekerasan terus saja terjadi
    • Suami/pasangan melakukan penganiayaan sewaktu tidak ada orang lain.
    • Suami/pasangan mulai ada kekhawatiran bahwa istire/pasangannya akan pergi meninggalkannya karena ia tahu bahwa perbuatannya tidak pantas.
    • Pada diri suami/pasangan terdapat rasa cemburu yang berlebihan karena rasa memiliki yang tinggi
    • Perempuan semakin merasa takut dan menarik diri
    • Ketegangan kecil mulai bertambah
    • Ketegangan semakin tidak tertahankan oleh perempuan

  1. Fase Kedua; Penganiayaan
    • Ketegangan yang meningkat meledak menjadi penganiayaan
    • Suami/pasangan kehilangan kendali atas perbuatannya
    • Suami/pasangan memulai dengan kata-kata “ingin memberi pelajaran’ kepada perempuan bukan menyakiti
    • Penganiayaan terus terjadi meskipun Anda sudah terluka
    • Perempuan berusaha bersabar dan menunggusampai keadaan tenang kembali dengan pikiran bahwa kalau dia melawan ia akan semakin teraniaya
    • Ketegangan yang berasal dari “ketidaktahuan atas apa yang terjadi” mengakibatkan stress, sukar tidur, hilang nafsu makan atau malah makan berlebihan, selalu merasa lelah, sakit kepala, dan lain-lain
    • Setelah penganiayaan terjadi biasanya korban menjadi tidak percaya bahwa pasangannya memang bermaksud memukul dan mengingkari kenyataan bahwa pasangannya telah berlaku kejam terhadapnya
    • Pada fase ini biasanya korban tidak mencari pertolongan kecuali kalau lukanya parah


  1. Fase Ketiga; Minta Maaf dan Kembali Mesra
    • Pelaku meminta maaf kepada korban seraya berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya khususnya jika si perempuan mengancam akan pergi meninggalkannya. Si lelaki biasanya mengajukan banyak alasan kenapa penganiayaan itu terjadi. Tak jarang juga lelaki si pelaku bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia bertingkah seperti kehidupan berjalan normal
    • Si perempuan menyakinkan dirinya untuk mempercayai janji-janji pelaku sehingga ia tetap bertahan
    • Si perempuan menyakinkan dirinya untuk mempercayai janji-janjinya sehingga dia tetap bertahan
    • Korban merasa yakin bahwa “cinta mengalahkan segalanya”
    • Suami/pasangan menyakinkan betapa ia membutuhkan istri/pasangan


Setelah fase ketiga ini maka akan kembali ke fase pertama yaitu fase ketegangan yang meningkat dan kemudian terjadi fase penganiayaan. Dan siklus ini akan berulang kembali. Inilah yang disebut sebagai lingkaran kekerasan. Jangka waktu antar fase bisa cepat atau lambat. Dan ingatlah bahwa laki-lakilah yang mengontrol lingkaran kekerasan ini bukan perempuan.

Lingkaran kekerasan ini akan berlangsung terus menerus, artinya KDRT akan terus terjadi kecuali:
  • Lelaki bertanggungjawab atas tindakannya dan benar-benar berubah sikapnya
  • Perempuan meninggalkan situasi lingkaran dan/atau menempuh jalan hukum untuk menghentikannya.

Ingatlah Anda bukan merupakan objek kekerasan.  Hentikan kekerasan dalam rumah tangga sekarang juga !


Jika Anda mengalami kekerasan dalam rumah tangga lakukanlah:
  1. Bicarakan persoalan kekerasan ini dengan orang yang Anda percaya. Jangan menyimpan atau menutupi permasalahan ini. Karena KDRT adalah perbuatan salah dan kriminal;
  2. Mintalah bantuan dari lembaga yang mengerti dan menanggani persoalan ini. Anda bisa datang ke Women Crisis Centre atau kantor pengacara atau bahkan kantor polisi;
  3.  Mulailah mendekati keluarga atau teman sekiranya bisa menampung Anda jika diperlukan. Untuk menjaga keselamatan Anda sebaiknya keluarga atau teman itu yang tidak dikenal oleh pelaku;
  4. Susunlah rencana perlindungan diri, siapkan kebutuhan anak-anak, uang tabungan, baju, kunci rumah/mobil, selamatkan surat-surat penting. Sembunyikan ditempat yang aman jika sewaktu-waktu anda memerlukan mudah mendapatkannya;
  5. Laporlah ke polisi untuk mendapat perlindungan hukum. Saat ini Anda dapat mengkriminalkan pelaku KDRT karena telah ada UU Perlindungan KDRT No: 23 Tahun 2004;
  6. Kalau Anda terluka atau cedera karena penganiayaan, segeralah foto bagian tubuh yang terluka. Ini bisa menjadi alat bukti dalam proses hukum selanjutnya.
  7. Pergilah ke dokter atau Pusat Krisis Terpadu RS.Cipto Mangunkusumo untuk meminta visum et repertum dan juga mengobati luka di tubuh Anda.


*****

Tuesday, February 21, 2012

Born to Be Wild - trailer

Friday, January 27, 2012

Kenali Ciri Pria Berpotensi Kasar Selama Pacaran

http://lifestyle.okezone.com/read/2010/10/20/197/384374

Kenali Ciri Pria Berpotensi Kasar Selama Pacaran

Adhini Amaliafitri- Okezone


SAAT jatuh cinta, kita bisa terbuai dan rela melakukan apapun demi si dia. Tapi bila tidak diberi batasan, kita bisa menjadi korban kekerasan dalam pacaran.

Kekerasan dalam pacaran tidak hanya dalam bentuk pemaksaan hubungan atau kontak seksual, tetapi bisa juga terjadi secara fisik dan emosional. Kekerasan dalam bentuk fisik bisa terjadi melalui tindakan memukul, menampar, menjambak, mendorong, menendang, sampai mencekik kekasih. Sementara kekerasan emosional bisa dengan mengeluarkan kata-kata kasar, bentakan, ancaman, pemaksaan kehendak, penghinaan, serta mempermalukan pasangan di depan umum.

Sallika NS, jurnalis lulusan FKG UI lewat bukunya Serba-Serbi Kesehatan Perempuan menjabarkan sikap pria pelaku kekerasan dalam pacaran. Apa saja ciri-ciri mereka?

Temperemental

Mereka cenderung mudah marah dan naik pitam bila kekasihnya melakukan kesalahan atau sedang cemburu. Mereka bisa menjadi sangat kasar, terkadang juga ringan tangan untuk memukul.

Emosinya tidak stabil

Emosinya mudah berubah. Kadang baik dan manis sekali, tetapi kadang bisa mengamuk dan marah besar, yang bisa berujung pada kekerasan fisik.

Sangat posesif

Umumnya mereka menginginkan seluruh waktu dan perhatian Anda hanya untuk dirinya karena mereka sangat pencemburu dan mudah curiga. Secara perlahan, mereka mulai membatasi dan menarik Anda dari lingkungan teman-teman, bahkan keluarga Anda sendiri.

Bermulut manis

Mereka pandai berkata-kata dan merayu kekasihnya. Bahkan setelah melakukan kekerasan, mereka akan berubah “manis” dan memohon ampun dengan segala cara agar kekasih hati mau memaafkan. Umumnya, wanita terbuai dan memaafkan, padahal setelah itu mereka bisa melakukan kekerasan kembali, mungkin lebih parah dari sebelumnya.

Tipe pria seperti ini bisa melakukan apapun bila sudah terbakar emosi atau cemburu buta. Baru jadi kekasih saja siksaan sudah terjadi, apalagi kalau sudah menikah. Tentu, siksaan akan terus berlanjut. Banyak sudah korban-korban kekerasan yang dilakukan oleh kekasih sendiri, dari mulai ringan, luka berat, sampai kematian akibat ulah sang pujaan hati yang mengaku sangat mencintai pasangannya. (ftr)