Sunday, June 21, 2009

Crisis center to officially be part of RSCM

http://www.thejakartapost.com/news/2009/06/20/crisis-center-officially-be-part-rscm.html


Crisis center to officially be part of RSCM

Prodita Sabarini , The Jakarta Post , JAKARTA | Sat, 06/20/2009 11:46 AM | City

Entering its ninth year, an independent crisis center located at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) in Central Jakarta, will officially be part of the state-run hospital, ending threats of having to close down the center due to funding difficulties, the center’s head said Thursday.

Mutia Prayanti, head of the PKT-RSCM, said the administrative and budgeting preparation for the center to join with RSCM would be completed in another two months.

The 24-hour crisis center, located on the second floor of the hospital’s emergency room, has been struggling to finance its operations in the last few years. The city administration had exempted women and children, who were victims of domestic abuse, from any fees, leaving the center to seek funds independently for its operational costs.

The center, initiated by a working group of representatives from the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan) and organizations calling for an end to violence against women, the Jakarta Police and RSCM, initially received funding from the UN Development Fund for Women.

After the UN organization ceased its funding, the center received a shaky source of income from the women’s empowerment ministry, the city administration and other donors, with staff once deprived of their pay for three months.

In 2008, the center received a mere Rp 50 million from the ministry for its operational costs. Mutia said the amount was not enough to fund a center that operated 24 hours for seven days a week.

The center has five doctors, five psychologists and five social workers. Since it opened, it has handled 5,180 cases, 2,072 of them violence against women and 3,108 of them violence against children.
Cases of child molestation made up most of the cases, around 48.8 percent of the total. Domestic violence was second with 28 percent, child rape 10.8 percent, and child beating 2.2 percent.

Friday, June 19, 2009

Press Release 9 Tahun PKT RSCM

P r e s s R e l e a s e

SEMBILAN TAHUN PKT-RSCM
DALAM MEMBANTU PROSES PEMULIHAN
PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Pada tanggal 5 Juni 2009 ini Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan RS.Cipto Mangukusumo (PKT RSCM) berulang tahun ke-9. Itu artinya sudah selama 9 tahun ini PKT RSCM telah melakukan upaya pemulihan perempuan dan anak korban kekerasan khususnya dari JABODETABEK. Upaya pemulihan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan meliputi pengobatan medis akibat kekerasan baik fisik maupun seksual dan pemulihan psikososial bagi perempuan dan anak korban kekerasan, juga mengeluarkan visum et repertum. Untuk semua itu korban tidak dipungut biaya dan kami siap melayani selama 24 jam. Petugas PKT RSCM juga sering menjadi saksi ahli dalam persidangan demi penegakan hukum.

Dalam kurun waktu tahun 2000-2008 kami baru menangani 5180 kasus, terdiri dari kekerasan terhadap perempuan sebanyak 2072 kasus dan kekerasan terhadap anak sebanyak 3108 kasus. Dilihat dari jumlah kasus yang ditangani di PKT RSCM kasus kekerasan seksual anak menempati tempat tertinggi di bandingkan dengan kasus kekerasan lainnya yaitu sekitar 48.8% dari seluruh kasus yang ditangani. Untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga menempati urutan kedua yaitu sebesar 28%, sedangkan untuk kasus perkosaan sebesar 10.8% dan kasus penderaan anak sebesar 2.2%.

Dalam proses pemulihan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, PKT RSCM sudah menjalin kerjasama yang cukup baik dengan kepolisian, Fakultas Kedokteran UI, Fakultas Psikologi UI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Dinas Sosial (Rumah Perlindungan) juga dengan LSM Perempuan dan Anak.

Sejak berdiri pada tanggal 5 Juni 2000, PKT tidak masuk dalam struktur organisasi di lingkungan RSCM, walau pada kenyataannya sehari-hari PKT diakui keberadaannya. Sehingga seluruh petugas PKT bukan karyawan RSCM, oleh karena itu dana operasional harus kami cari sendiri. Selama 9 tahun ini biaya operasional PKT RSCM didanai oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP), tetapi untuk 3 tahun terahir dana dari KPP berkurang sehingga PKT harus mencari pendana lain antara lain Pemda DKI, UNIFEM serta UNFPA. Untuk 2 pendana yang terahir, dana yang kami terima digunakan untuk program-program PKT yang tertunda. Sedangkan Pemda DKI, membiayai seluruh pengobatan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Dengan adanya PP No.4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Bab IV Pasal 22 di sebutkan bahwa:
Segala biaya untuk pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dibebankan kepada:
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan
c. Sumber pendapat lain yang sah yang perolehannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dan sejak awal tahun 2009 ini, direksi RSCM akan memasukkan PKT dalam struktur organisasi RSCM dalam bentuk unit, yang bertanggung jawab langsung kepada direktur. Dan saat ini sudah terbentuk tim pembentuk Unit PKT, yang terdiri dari beberapa multidisiplin ilmu yang melibatkan beberapa departemen dilingkungan RSCM serta diharapkan dalam waktu 3 bulan sudah terbentuk Unit PKT.

Harapan kami, di masa mendatang PKT RSCM akan lebih baik menangani kasus-kasus perempuan dan anak korban kekerasan, karena kami tidak lagi dibebani untuk mencari dana operasional. Tetapi kami akan tetap mencari dana untuk melanjutkan program-program PKT yang selama ini tertunda yaitu membantu dan memberdayakan para korban kekerasan serta masyarakat sekitarnya.

Oleh karena itu bantuan teman-teman dari mass media sangat kami harapkan, untuk mensosialisasikan ini semua. Demi program kemanusiaan. Semoga Tuhan Yang Kuasa memudahkan langkah dan usaha kita, amin....

Untuk melihat data kasus dari tahun 2000-2009 silahkan klik:

http://adindatitiana.multiply.com/journal/item/78/Press_Release_9_Tahun_PKT_RSCM

PKT RSCM Tangani 5.180 Kasus KDRT

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/19/05261842/pkt.rscm.tangani.5.180.kasus.kdrt



PKT RSCM Tangani 5.180 Kasus KDRT

Jumat, 19 Juni 2009 | 05:26 WIB

Jakarta, Kompas - Sejak berdiri 5 Juni 2000 hingga 2008, Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo telah menangani 5.180 kasus. Sebanyak 2.072 kasus kekerasan terjadi dengan korban perempuan dan 3.108 kasus kekerasan terhadap anak.

”Dilihat dari jumlah kasus yang ditangani di PKT RSCM, kasus kekerasan seksual anak menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan kasus kekerasan lainnya, yaitu sekitar 48,8 persen dari seluruh kasus yang ditangani,” kata dr Meutia, Ketua Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM di Jakarta, Kamis (18/6).

Kasus pemerkosaan anak perempuan yang dilaporkan ke PKT RSCM terus naik dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2006 sebanyak 117 kasus, tahun 2007 meningkat jadi 123 kasus, dan tahun 2008 menjadi 168 kasus.

Upaya pemulihan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan meliputi pengobatan medis akibat kekerasan fisik maupun seksual dan pemulihan psikologis bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Selain itu juga dikeluarkan visum et repertum dan saksi ahli atas luka-luka terhadap korban demi kepentingan penyidikan di kepolisian.

”Kami usahakan tidak ada pertanyaan yang diulang-ulang supaya tidak menimbulkan trauma pada korban,” kata Herlina, psikolog PKT RSCM.

Namun, saat ini PKT RSCM sedang mengalami masalah pendanaan operasional untuk membayar dokter, psikolog, pekerja sosial, sekretaris, dan biaya komunikasi.

”Kami terbuka untuk menerima sumbangan dalam bentuk apa pun, bisa sebagai penyumbang, menyumbang ide atau tenaga, juga sumbangan barang,” kata Herlina. Lokasi PKT RSCM di lantai II IGD RSCM, telepon (021) 3162261. (LOK)

Saturday, June 13, 2009

Siaran Pers atas Kasus Prita Mulyasari

Siaran Pers
TEGAKKAN HAK PEREMPUAN, HAK ANAK DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI

[Jakarta, 10 Juni 2009] – Masyarakat Peduli Hak-hak Perempuan dan Kebebasan Berekspresi menilai kasus Prita Mulyasari (32) yang dipenjara akibat Surat Pembacanya tentang perlakuan yang kurang nyaman di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang pada sebuah media yang berujung gugatan pencemaran nama baik oleh RS yang bersangkutan adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Karena, Prita sebagai korban buruknya pelayanan RS, justru dipenjarakan ketika dirinya menyampaikan keluhannya.

Akibatnya, dua puluh dua hari sejak 13 Mei 2009 silam, ibu dua anak Balita Khairan Ananto Nugroho (3 tahun) dan Ranarya Puandida Nugroho (1 tahun 3 bulan) ini, menjadi tahanan titipan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang karena disangka mencemarkan nama baik rumah sakit melalui Internet. Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3, Undang-Undang Nomor 11, Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda maksimal Rp 1 miliar. Kini, Prita masih menyandang status tahanan kota sejak 3 Juni lalu.

Padahal sebagai pasien dan konsumen, hak-hak Prita dijamin Undang-Undang, baik Undang-undang Praktek Kedokteran maupun Undang-undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, Prita tidak seharusnya ditahan hanya karena menuliskan surat keluhan. Malah seharusnya, Prita mendapatkan pembelaan atas tindakan yang tidak menyenangkan dari pihak Rumah Sakit.

Dari tindakan sewenang-wenang ini, hak anaknya untuk menyusui dari Ibu, sebagai bagian dari hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang telah tercerabut, padahal hak ini pun telah diakomodir dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam konstitusi maupun perundang-undangan, antara lain melalui ratifikasi dan pengundangan Konvensi Hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dsb.

Lebih dari itu, ada indikasi kuat kasus ini adalah sebuah bentuk pengalihisuan dari substansi buruknya pelayanan kesehatan, menjadi isu pencemaran nama baik. Padahal, ada banyak sekali kejanggalan dalam prosedur hukum yang merugikan Prita. Kini semua seolah mau cuci tangan. Pihak Kepolisian maupun Kejaksaan saling lempar tanggung jawab.

Untuk itu, kami, Masyarakat Peduli Hak-hak Perempuan dan Kebebasan Berekspresi ingin mendesak;

Pertama, dalam penyelesaian kasus Prita, aparat penegak hukum sungguh-sungguh menjalankan tanggung jawabnya untuk menegakkan hukum demi tercapainya keadilan, dan bukan terjebak hanya bekerja berdasarkan ”book-rule” atau teks semata.

Kedua, Prita Mulyasari dibebaskan dari segala tuntutan, baik perdata maupun pidana. Ketiga, pemulihan nama baik Prita,

dan terakhir, ganti rugi bagi Prita dan keluarga, fasilitas dan pemulihan trauma komperhensif dengan pemerintah menyediakan kounselor dan psikolog bagi Ibu dan bagi anak-anak yang sedang menyusui akibat penahanan yang terjadi terhadap ibunya.

Dan bersama dengan ini pula kami ingin menyerukan agar:
1. Mereview dan mengkritisi lahirnya UU yang prosesnya tidak partisipatif, terutama sesuai pasal 53, UU No 10, tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Kepada kantor Kementerian terkait, termasuk Hukum dan HAM, Departemen Kesehatan dan juga Pemberdayaan Aparatur Negara, agar bergerak sinergis dalam pembuatan kebijakan yang pro masyarakat dan pro perempuan.

3. Mendesak kepada aparat negara dan aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan, kepolisian, kehakiman agar melihat implementasi UU yang berperspektif gender dan juga prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang terkait.

4. Menegur kepada semua pimpinan Rumah Sakit atau lembaga kesehatan, agar meningkatkan pelayanan yang optimal dan transparan pada masyarakat, terkait hak pasien dan hak konsumen pada informasi dan data yang jelas.

5. Mengajak masyarakat untuk memperjuangkan hak atas pelayanan publik dan juga hak akan kesehatan yang komprehensif, terutama untuk pelayanan kesehatan bagi pasien yang lengkap. Aspek ini bisa ditingkatkan dengan memastikan kebijakan yang berpihak pada rakyat dengan memastikan proses draft UU Kesehatan dan draft UU Pelayanan Publik yang sudah proses pembahasannya sedang dilakukan di DPR.

6. Mengkritisi ulang keputusan Mahkamah Konsitutsi terkait Judicial Review terhadap UU ITE, terutama dengan melihat kembali pada poin kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat (UUD 1945) dan Hak Konsumen (UU Konsumen). Kecenderungan misinterpretasi dari pasal-pasal dalam UU ini dapat mengekang kebebasan berekspresi dan merugikan siapapun, yang kemudian berlanjut pada pengekangan hak azasi manusia, hak perempuan dan anak.

Semoga persoalan kasus Ibu Prita menjadi preseden penting dalam menyoroti persoalan perkara hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat wajib peduli pada persoalan dasar yaitu hak atas pelayanan kesehatan yang berkualitas, hak atas informasi dan hak atas upaya untuk menyampaikan keluhan dan penyelesaian sengketa. Dalam konteks pelayanan kesehatan tersebut, semua pihak harus bekerjasama bagi pelayanan kesehatan dan informasi yang benar (semua departemen terkait).

Masyarakat Peduli Hak-hak Perempuan dan Kebebasan Berekspresi

Yayasan Kesehatan Perempuan, LBH Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Institut Ungu, Institut Perempuan, Bandung, Program Studi Pascasarjana Antropologi FISIP UI, Jurusan Hukum dan Masyarakat FHUI, Sarah Serena SH.MH , LBH Bunga Seroja, PP Naysiatul Aisyiyah, PP Pemuda Muhammadiyah, PP Ikatan Remaja Muhammadiyah, DPP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Muhammadiyah Disaster Management Center, Hospital Preparedness, Karyawan PP Muhammadiyah, Forum Perlindungan Anak Muhammadiyah, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Fahmina-Institute Cirebon, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, YLK Sulsel, Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel , Yayasan Bonto Langkasa, Yayasan Masagena, Koalisi Aktivis Perempuan Sulsel, Simpul Aspirasi Perempuan Sulsel, Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Sulsel, SP Angin Mamiri, LBH Apik Makassar, YAPPIKA, Center for Community Development Education (CCDE), LBH APIK SEMARANG LBH APIK Jakarta, Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan (GPSP), Koalisi NGO Peduli Anak dan Perempuan Nias, Kartini Asia Network.

Nama Individu: Ninuk Widyantoro, Sarah Serena, Olin Monteiro, Titiana Adinda, Faiza Mardzoeki, Josh CR, R. Valentina Sagala, Jajang C. Noer (seniman), Theresia EE Pardede, Ika Ardina, Setiati Rezeki, Rotandiko Sastroprawiro, Asriati Rezeki, Welly Humaira, Ingrid Maria Palupi Kansil, Rony Amdani, Ucu Agustin, Sisca Nasastra Gafri, Lulu Ratna (boemboe.org), Indah Dw Nugraha, Fransisca Aditya Christie, Retha Dungga