Wednesday, April 30, 2014

HAK NAFKAH BAGI ISTRI dan ANAK



http://www.lbh-apik.or.id/fact%20-%20nafkah%20istri%20dan%20anak.htm


HAK NAFKAH
BAGI ISTRI dan ANAK


Masalah suami yang tidak mau memberikan nafkah pada keluarga banyak terjadi di sebagian masyarakat kita. Bagi istri atau ibu yang tidak mempunyai penghasilan, hal ini tentu sangat memberatkan karena harus menanggung biaya perawatan dan pendidikan anak-anaknya.

Secara normatif, hukum di Indonesia, —khususnya mengenai hak nafkah bagi istri dan anak, baik dalam masa perkawinan maupun setelah perceraian—, dapat dikatakan sudah cukup melindungi kepentingan perempuan. Pasal 34 ayat 1 UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa: Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya. Ini berarti bahwa suami berkewajiban penuh memberikan nafkah bagi keluarganya (anak dan istri).

Ketentuan ini merupakan konsekwensi dari ketentuan yang menetapkan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumahtangga serta pengurus rumahtangga sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 31 ayat 3. Sebenarnya, bila kita tilik lebih jauh, pembagian peran seperti ini akan menimbulkan ketergantungan secara ekonomi bagi pihak perempuan (istri). Akibat lebih jauhnya, perempuan (istri) tidak memiliki "akses ekonomi" yang sama dengan suami dimana istri tidak memiliki kekuatan untuk memaksa suami memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya. Sehingga seringkali suami memberi nafkah sesuka hatinya saja.



1. NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM MASA PERKAWINAN

Menurut ketentuan pasal 34 ayat 1 UU Perkawinan, baik nafkah istri maupun anak, adalah menjadi tanggung jawab suami atau ayah anak-anak. Tetapi dari beberapa kasus yang ditangani LBH APIK, istri yang diberi tanggungjawab mengatur semua kebutuhan keluarga terkadang sangat sulit mendapatkan hak nafkah dari suaminya, baik karena kemiskinan mereka maupun karena sikap suami yang menjadikan nafkah sebagai alat untuk menegaskan kekuasaannya sebagai suami. Akibatnya, banyak kaum isteri terpaksa dihadapkan pada suatu situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya khususnya bagi mereka yang tidak pernah bekerja. Pada situasi dimana suami meninggalkan keluarga begitu saja tanpa ada kabar berita, situasinya semakin sulit karena disamping tidak ada kejelasan tentang status perkawinannya, suami tidak dapat lagi ditemui atau dilacak tempat tinggalnya.


2. BAGAIMANA BILA INI TERJADI PADA ANDA?

Sayangnya tidak ada sebuah institusi sosialpun yang dapat menolong keadaan ini. Biasanya para istri minta bantuan keluarga -- baik keluarga suami maupun keluarga istri sendiri -- namun tentu saja hal ini tidak dapat diandalkan sebagai sebuah penyelesaian yang tuntas atas masalah ini. Namun demikian anda dapat menempuh cara-cara berikut ini:

a. Meminta bantuan Badan Penasihat Perselisihan Perkawinan

Meski seringkali tidak memuaskan karena cenderung memberikan nasihat yang bias gender dan tidak memiliki daya implementasi dan pemberian sanksi apa-apa kecuali memberi nasihat, namun badan inilah yang secara resmi bertanggungjawab untuk masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan.

b. Meminta bantuan kepada instansi tempat suami bekerja

Cara ini bisa Anda lakukan dengan membuat surat permohonan yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan/instansi tempat suami Anda bekerja. Sebutkan juga, sudah berapa lama suami Anda tidak memberikan nafkah kepada keluarga, sementara Anda sendiri tidak bekerja atau anda bekerja tapi tidak dapat mencukupi kebutuhan pendidikan dan penghidupan anak-anak termasuk perawatan kesehatannya.

c. Melakukan Upaya Hukum

Jika jalan musyawarah seperti diatas tidak membawa hasil, Anda dapat melakukan upaya hukum baik ke Pengadilan Negeri (bagi yang non muslim) maupun ke Pengadilan Agama (bagi yang muslim). Pasal 34 ayat 3 UU Perkawinan menyatakan bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Selain itu Anda juga dapat mengadukan secara pidana berdasarkan ketentuan pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengancam hukuman maksimal dua tahun delapan bulan bagi pihak yang sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Untuk mengurus proses ini Anda bisa meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum atau pengacara terdekat.


3. HAK NAFKAH DALAM MASA PASCA PERCERAIAN

Pasal 41 UU Perkawinan menentukan bahwa akibat putusnya perkawinan suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Ketentuan ini juga dipertegas oleh pasal 105 (c) Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian pasal 41 (b) UU Perkawinan juga menyatakan bahwa bila Bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Prinsip ini diperkuat oleh Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak pasal 18 ayat 1 serta UU nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pasal 16 (d) yang pada pokoknya menyatakan dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak menjadi tanggungjawab bersama kedua orang tua.


4. BATAS WAKTU

Pasal 149 (b) KHI hanya memberikan batas waktu tiga bulan (masa iddah) bagi suami memberikan nafkah untuk istri setelah perceraian. Lalu bagaimana untuk bulan-bulan berikutnya, sementara istri tidak memiliki penghasilan ? Untuk kondisi demikian sangat dimungkinkan untuk menggunakan pasal 41 (c) yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Meski pasal ini tidak menentukan sampai kapan suami berkewajiban memberikan nafkah bagi mantan istrinya, tetapi bila kita mengacu pada Bab IV pasal 27 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka sesungguhnya hakim dapat menggali atau mengapresiasi pasal dari UU Perkawinan tersebut dengan mempertimbangkan bahwa nafkah bagi istri dapat diberikan selama istri tidak memiliki penghasilan lain atau belum menikah lagi.


5. BILA SUAMI TIDAK MELAKSANAKAN PUTUSAN PENGADILAN

Masalahnya, meski telah ada keputusan Pengadilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dalam praktek tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada para suami yang tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan keputusan Pengadilan tersebut. Bila ini terjadi maka langkah yang dapat Anda lakukan adalah:

Mengirim Surat Permohonan kepada Pengadilan
Anda bisa mengirimkan surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang memutuskan proses perceraian Anda, yang isinya mendesak Pengadilan agar mengeluarkan surat perintah eksekusi (pelaksanaan putusan). Apabila surat Anda tersebut telah diterima oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, maka pihak Pengadilan akan mengirimkan surat peringatan (Anmaanning) kepada mantan suami Anda untuk melaksanakan isi putusan Pengadilan. Bila surat peringatan pertama tidak dilaksanakan, Pengadilan akan mengeluarkan surat tersebut sampai tiga kali. Bila sampai ketiga kali mantan suami Anda belum juga melaksanakan isi putusan, maka Pengadilan akan melakukan upaya paksa.