http://batampos. co.id/content/ view/33231/ 97/
Kamis, 25 Oktober 2007
Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bagaimana Menyikapinya?
Oleh: Ridwan Mansyur SH MH*
Bagaimanakah sikap Anda ketika melihat tetangga ataupun saudara Anda mendapat perlakuan kasar atau kekerasan fisik dan psikis dari suami terhadap istri, dari ayah atau ibu yang melakukan penganiayaan dan kekerasan lainnya terhadap korban yang merupakan anggota keluarga sampai pembantu rumah tangga? Ternyata banyak yang mengambil sikap tidak peduli dan beranggapan situasi tersebut adalah persoalan "rumah tangga" atau lingkup domistik yang tidak layak bagi Anda untuk turut campur.
Kasus kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) yang terjadi di Batam menunjukkan angka yang kian mengkhawatirkan dan perkara perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri Batam cenderung meningkat. Patut disikapi bahwa segala bentuk kekerasan terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia serta kejahatan terhadap martabat kemanusiaan sebagai bentuk diskrimninasi, yang merupakan pelanggaran undang undang antara lain Kitab Undang undang Hukum Pidana ( KUHP), Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), sekaligus pelanggaran ketentuan pasal 28 UUD 1945 beserta perubahannya, pasal 28 G ayat (1) bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan utuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak azasi".
Karakteristik kejahatan ini sangat khas di mana pelaku sekaligus korban adalah subyek dalam lingkup rumah tangga (suami, istri, anak, saudara hingga sub ordinat yang ada didalamnya termasuk pembantu rumah tangga).
Fakta yang ada kebanyakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah Perempuan dan anak-anak di samping anggota keluarga lainnya termasuk saudara kandung serta anggota keluarga yang menetap dalam rumah tangga tersebut.
Tanpa disadari dan dipahami bahwa perlakuan yang bernuansa kekerasan terhadap seorang atau lebih oleh anggota keluarga yang dominan seperti bapak, suami, ibu atau kakak bahkan majikan seringkali dipandang sebagai kewajaran, yang sering berdalih sebagai pengajaran yang mendidik sehingga bernuansa berlebihan yang berwujud kekerasan fisik maupun psikis. Padahal Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan /atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan yang dialami perempuan sebagai istri, anak-anak serta sub ordinat sangat banyak bentuknya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat ekonomis yang dilakukan oleh orang terdekat (relasi personal) dalam rumah tangganya.
Dalam konteks kehidupan rumah tangga, mulai dari kekerasan fisik berupa tamparan, pemukulan, penjambakan, mendorong secara kasar, pelecehan seksual, menginjak maupun kekerasan dan ancaman menggunakan benda tajam hingga pembunuhan. Sedangkan secara fsikis sebagaimana dalam ketentuan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya.
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga, serta pemaksaan hubungan seksual terhadap seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.
Setiap orang yang juga dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga padahal menurut hukum berlaku baginya kewajiban untuk memberikan penghidupan, termasuk perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut serta membuat seseorang berada dalam keadaan ketergantungan secara ekonomi, di mana antara lain untuk kekerasan fisik diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda lima belas juta rupiah sedangkan terhadap kekerasan seksual dapat dipidana 12 tahun.
Akar masalah dan mitos maskulinitas
Pada intinya semua kekerasan terhadap perempuan dan anak anak bersumber pada ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki laki yang diperkuat oleh nilai-nilai patriarki yang dianut serta sosialisasi tentang ciri-ciri yang dianggap baik pada laki-laki (maskulinitas) dan menempatkan posisi lebih tinggi yang lebih berkuasa dari perempuan dan anak-anak yang ikut melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga. Kenyataan ini dilengkapi dengan sosialisasi di mana isteri yang bersikap pasif dan pasrah yang mendahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungan terhadap suami dan bapak.
Adanya mitos-mitos yang merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak dari suami, sebaliknya ayah yang dominan terhadap anggota keluarga dalam rumah tangga (domistic) dengan sikap yang berlebihan sebagai hubungan relasi kekuasan antara perempuan dan laki laki yang timpang berlangsung di dalam rumah, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang benar yang melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga. Seterusnya acap kali dipandang wajar sehingga tidak jarang terjadi tindak kekerasan terhadap kakak laki-laki terhadap adik dan saudara yang lain, kepada pembantu rumah tangga yang menjadi pelampiasan kemarahan yang berlanjut menjadi kebiasaan buruk sampai pada penganiayaan yang dapat mengakibatkan kematian disikapi sebagai masalah konflik rumah tangga semata. Padahal sebenarnya adalah perbuatan serius yang merontokkan sendi harmonisasi rumah tangga, bertentangan dengan agama dan Hak azasi manusia yang patut dituntut pertanggungjawaban secara hukum pidana di pengadilan.
Peran masyarakat dan pendamping
Dewasa ini perkara kekerasan dalam rumah tangga yang diajukan ke Pengadilan Negeri cenderung meningkat, kondisi ini disebabkan oleh bukan saja anggota masyarakat terutama para korban mulai menyadari pentingnya membawa persoalan ini ke muka hukum untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga serta menghentikan kekerasan yang dialaminya melalui peroses hukum apabila ternyata tidak mampu lagi diselesaikan melalui cara kekeluargaan dan mediasi. Dalam beberapa kasus peran serta masyarakat yang dirasakan mulai partisipatif, walau masih banyak kekerasan ini yang belum terungkap karena masih banyak perempuan dan anak-anak yang memilih mendiamkan kekerasan yang dialaminya karena takut ancaman fisik, psikis dan sekaligus takut kehilangan sumber penghasilan dari pelaku.
Harus disikapi bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak saat ini merupakan suatu isu global yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang wajib ditindaklanjuti oleh negara, telah disepakati pula definisi tentang ciri-ciri tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak yaitu tindakan dengan sengaja menyakiti secara fisik, seksual atau psikologis. ***