Wednesday, May 28, 2014

Talak

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt533782f670787/talak-menurut-hukum-islam-atau-hukum-negara,-mana-yang-berlaku?

Pertanyaan:
Talak Menurut Hukum Islam atau Hukum Negara, Mana yang Berlaku?
Talak menurut Islam sah apabila suami mengucapkan kata-kata talak. Namun menurut UU Perkawinan sahnya talak hanya di depan sidang. Nah kita sebagai umat Islam tentunya harus patuh terhadap hukum Islam, namun di satu sisi kita juga berada dalam Negara Republik Indonesia. Yang saya tanyakan, hukum manakah yang seharusnya kita ambil sebagai pedoman terkait dengan permasalahan talak di atas?
FARIDA HIDAYATI
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
 Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Anda benar bahwa umat Islam tentu harus patuh terhadap atutan-aturan dalam hukum Islam, termasuk dalam hal talak. Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam(“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
 
Berkaitan dengan hal yang Anda katakan mengenai sahnya suatu talak hanya di muka pengadilan, perlu kami luruskan di sini bahwa hal itu bukan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melainkan diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) yang mengatakan bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
 
Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
 
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepadaPengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
 
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di muka Pengadilan Agama.
 
Lalu bagaimana talak dalam hukum Islam itu? Sayuti Thalibdalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 100) mengatakan bahwaseorang suami diakui menurut hukum, berdasar beberapa hal tertentu berwenang menjatuhkan talak kepada istrinya. Asal hukum talak itu adalah haram. Kemudian, karena ‘illahnya maka hukum talak itu menjadi halal, atau mubah atau kebolehan.
 
Jika talak diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurutNasrullah Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia. Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.
 
Dari sini jelas kiranya bahwa umat Islam tunduk pada pengaturan dalam hukum Islam perihal talak, yang mana hukum tersebut juga diatur dalam KHI. Lalu, bagaimana kedudukan hukum Islam (KHI) terhadap hukum negara (hukum positif) dalam hal talak itu? Menjawab pertanyaan Anda, dari sini kita bisa ketahui bahwa talak yang diatur dalam KHI itu bersumber dari hukum Islam dan pemberlakuan KHI itu sendiri itu ditegaskan berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI (“Inpres 1/1991”).
 
Masih berkaitan dengan ini, dalam bagian konsiderans Inpres 1/1991 disebutkan bahwa para Alim Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan sehingga dibuatlah suatu Kompilasi Hukum Islam. Kemudian, KHI tersebut oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidangperkawinan, kewarisan, maupun perwakafan.
 
Oleh karena itu, menurut hemat kami, pengaturan dalam hukum Islam sudah sejalan dengan pengaturan dalam hukum positif yang mengatur mengenai talak, yakni pengaturan dalam KHI. Hal ini disebabkan karena KHI itu bersumber dari hukum Islam. Hanya saja, tidak adanya legalitas berupa bukti perceraian (dengan tidak dijatuhkannya talak di muka pengadilan) memang akan berdampak pada permasalahan status perkawinan dan masalah-masalah hukum lain yang mungkin timbul sehingga umat Islam juga perlu tunduk pada hukum negara, yakni hukum positif.
 
Sebagai referensi, Anda juga dapat membaca penjelasan mengenai hal ini dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
 
Referensi:
Sayuti Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. UI-Press: Jakarta.
 

No comments: