http://www.ourvoice.or.id/2013/03/kekerasan-terhadap-perempuan-penyandang-disabilitas/
Kekerasan
terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas
Oleh:
Titiana Adinda
Kekerasan
menjadi hal yang menakutkan bagi kaum perempuan. Kekerasan amat rentan terjadi
pada perempuan karena sudah terkontruksi oleh budaya patriarki dan keterbatasan
akses, terutama akses ekonomi. Hal tersebut menjadikan perempuan tidak memiliki
posisi tawar sehingga rentan menjadi korban kekerasan.
Di
dalam masyarakat, kita bisa menemukan satu kelompok perempuan yang memiliki
kerentanan lebih tinggi terhadap kekerasan. Mereka adalah perempuan penyandang
disabilitas. Keterbatasan yang dimiliki perempuan penyandang disabilitas
berdampak besar pada aksesibilitas mereka di banyak hal. Hal itulah yang
menjadi pencetus terjadinya kekerasan terhadap perempuan penyandang
disabilitas.
Kekerasan
terhadap perempuan penyandang cacat adalah masalah global. Menurut Human Rights
Watch (HRW), sekitar 300 juta perempuan di seluruh dunia memiliki disabilitas
mental dan fisik. Perempuan penyandang disabilitas terdiri dari 10 persen dari
semua perempuan di seluruh dunia. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah, perempuan merupakan 75 persen dari semua orang penyandang
disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas lebih rentan terhadap kekerasan
dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Human
Rights Watch (HWR) mencatat bahwa wanita dan anak perempuan penyandang
disabilitas menghadapi spektrum yang sama dari pelanggaran hak asasi manusia perempuan
yang tidak disablitas.[i]
Perempuan penyandang disabilitas kerap menjadi korban kekerasan. Ditambah lagi
isolasi sosial dan ketergantungan memperbesar pelanggaran-pelanggaran dan
konsekuensinya pada perempuan penyandang disabilitas. Perempuan penyandang
disabilitas cenderung memiliki keberhasilan yang lebih rendah dalam dunia pendidikan,
keuangan, profesional, dan sosial dari perempuan secara umum dan laki-laki
penyandang disabilitas.
Sebuah
penelitian di Inggris yang dilakukan oleh Women’s Aid memaparkan bahwa angka
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas dua
kali lebih sering terjadi dibanding pada perempuan yang tidak disablitas.[ii]
Satu
dari empat perempuan di dunia mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, angka
ini kemungkinan akan meningkat menjadi dua kali lipat terjadi pada perempuan
penyandang disabilitas. Bentuk
kekerasan itu bisa berasal dari pasangan hidup atau suaminya, keluarga, atau
pengasuh. Hampir satu dari dua perempuan penyandang disabilitas di dunia akan
mendapat kekerasan di dalam hidup mereka. Pelaku kekerasan biasanya memiliki
keunggulan fisik dari korban. Mereka biasanya orang yang merawat korban
sehari-hari.
Banyak kejadian kursi roda perempuan penyandang
disabilitas digeser ke tempat yang jauh pada saat dia hendak duduk, atau alat
bantu dengar yang dilepas dan dilempar ke sisi lain. Hal itu dilakukan agar
perempuan dengan disabilitas tidak dapat berkomunikasi.
Deborah (31 tahun), bertemu mantan suaminya secara
online ketika ia berusia 17 tahun. Dua tahun setelah menikah, Deborah
didiagnosis terkena penyakit neurologi. Dia pada akhirnya menggunakan kursi
roda dan terisolasi dari pergaulan. Selama 10,5 tahun Deborah mendapat kekerasan
dan siksaan dari suaminya dan perawatnya.
Bentuk kekerasan dan siksaan yang diterima misalnya
mengancam tak akan menyiapkan makanan untuknya, suaminya keberatan mengantar
Deborah ke kamar mandi dan serta menolak membantu Deborah mencuci pakaiannya.
Situasi Kekerasan terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas di Indonesia
Sampai saat ini belum tersedia data secara nasional yang
menunjukan angka korban kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas di
Indonesia. Entah itu korban KDRT atau perkosaan. Namun kita sering melihat berita
di televisi, membaca koran, atau mendengarkan radio bahwa KDRT dan perkosaan
amat sering terjadi pada perempuan penyandang disabilitas.
Hanya ada data dari Rifka Annisa WCC di Yogyakarta, dari
kurun waktu 2000-2005 pernah mendampingi 22 kasus kekerasan pada perempuan
dengan disabiitas yang kasusnya dilaporkan sampai ke kepolisian. Pelakunya 50%
adalah tetangga.
Seperti yang pernah terjadi pada tanggal 29 Mei 2009
di Malang, seorang perempuan tuna daksa diperkosa oleh saudara iparnya sendiri.
Perbuatan biadab itu tentu saja dilakukan dengan ancaman dan janji akan
dinikahi menjadi istri kedua.
Kejadian baru-baru ini yaitu tanggal 10 Oktober 2012,
seorang perempuan dengan disabilitas yaitu tuna grahita diperkosa oleh empat
pria di Jagakarsa, Jakarta. Modusnya adalah berkenalan lalu diajak jalan ke
rumah kosong, lalu terjadilah perkosaan tersebut. Untung saja korban masih
mampu melaporkan kejadian ke kepolisian sehingga pelakunya dapat ditangkap.
Pada perempuan penyandang disabilitas lainnya misalnya
pada tuna daksa sering menjadi korban poligami. Suami beralasan bahwa hal
tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974. Seperti
tertuang dalam pasal 4 yaitu “Suami wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin apabila:
a)istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b) istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) istri tidak dapat
melahirkan keturunan.
UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 itu tidaklah
berprespektif disabilitas. Karena membolehkan poligami dilakukan jika istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Pandangan
bahwa perempuan penyandang disabilitas adalah makhluk aseksual jelas tergambar
di pasal ini.
Selain itu indikasi ketiga syarat boleh melakukan
poligami tersebut harus jelas dan disertai pembuktian pihak berwenang seperti
tim dokter ahli yang independen yang tidak berpihak, keputusan pengadilan
tersebut harus ditandatangani pejabat pengadilan. Tetapi UU Perkawinan No.1
Tahun 1974 tidak mengatur bila ketentuan itu dilanggar oleh suami maupun pihak
pengadilan yang berkolusi dengan suami.
Pada kenyataannya, banyak praktek poligami dilakukan
oleh suami perempuan penyandang disabilitas tidak melalui ijin pengadilan.
Mereka langsung melakukannya tanpa ijin dari pengadilan bahkan ijin dari
istrinya yang merupakan perempuan dengan disabilitas.
Hambatan-hambatan dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
Penyandang Disabilitas
•
Hambatan dari
Individu korban
•
Tidak melawan / tidak
membela diri
Pada perempuan penyandang disabilitas memiliki keterbatasan, apakah itu
keterbatasan gerak, keterbatasan bicara, ataupun keterbatasan intelengensia
(pada tuna grahita). Sehingga mereka kesulitan untuk melakukan perlawanan.
•
Tidak memahami
situasi (kekerasan) yang dialami (untuk kondisi tertentu seperti Mental
Retarded / Keterbelakangan Mental dengan kemampuan intelegensi rendah)
Ini terjadi khususnya pada tuna grahita atau mental retarded. Kebanyakan
dari mereka justru menganggap perlakuan kekerasan atau perkosaan terhadapnya
adalah bentuk dari kasih sayang pelaku terhadapnya.
•
Tidak memahami akibat
(fisik, sosial,psikologi)
Korban tidak dapat memahami akibat dari kekerasan dan perkosaan yang
dialaminya.
•
Tidak mengantisipasi
/ menolak perlakuan yang sama (oleh pelaku yang sama atau berbeda)
Dikarenakan tidak mengetahui apa yang telah pelaku lakukan adalah salah
satu bentuk kekerasan, maka korban tidak mengantisipasi/menolak perlakuan yang
sama, baik dari pelaku yang sama maupun pelaku yang berbeda.
•
Tidak ada respon
emosi (marah,sedih,benci,dendam) pada umumnya hanya merasa sakit secara fisik.
Tidak ada ekspresi emosi negatif, ekspresi emosi bisa saja datar, atau
bahkan ekspresi emosi positif (tertawa, tersenyum) sebagai akibat dari
ketidakmampuannya secara kognitif (kemampuan berpikir) dalam memahami peristiwa
kekerasan yang dia alami.
•
Tidak memahami hak
yang dimiliki.
Rendahnya pengetahuan dan minimnya informasi di kalangan perempuan
penyandang disabilitas, membuat mereka tidak memahami hak mereka jika terjadi
kekerasan atau perkosaan.
•
Hambatan hukum
•
Tidak adanya saksi
Seperti kejadian kekerasan terhadap perempuan lainnya, peristiwa kekerasan
pada perempuan penyandang disabilitas juga sering tidak ada saksi yang melihat
peristiwa kekerasan tersebut. Jadi ini adalah hambatan hukum yang paling utama
jika mau menyelesaikan kasus kekerasan ini ke ranah hukum.
•
Kekurangan alat bukti
Kekurangan alat bukti juga menjadi hambatan lain jika mau memproses
kekerasan ke ranah hukum. Jika terjadi perkosaan biasanya seorang perempuan
akan segera membersihkan diri karena merasa jijik tubuhnya telah disentuh oleh
orang lain. Hal itu tentu saja menghilangkan bukti perkosaan yang terjadi pada
dirinya. Begitu juga pada peristiwa KDRT, korban merasa malu dan tidak penting
melakukan visum et repertum luka-luka akibat kekerasan yang dialaminya.
•
Korban dianggap tidak
konsisten dalam menceritakan kronologisnya
Khusus untuk tuna grahita/mental retarded sering tidak dapat mengungkapkan
peristiwa kekerasan atau perkosaan yang dialaminya. Sehingga pihak aparat hukum
sering binggung dan kesal dengan kesaksiannya. Hukum di Indonesia belumlah
ramah kepada perempuan penyandang disabilitas. Jadi kesaksian korban yang tidak
konsisten sering disimpulkan bahwa korban telah berbohong dan peristiwa
kekerasan atau perkosaan itu tidak pernah terjadi.
•
Usia korban (ketidak
sesuaian antara usia kalender dan usia mental)
Seringkali korban sebenarnya telah dewasa tetapi mentalnya belumlah dewasa.
Sehingga para aparat hukum menyangsikan kesaksian korban.
Rekomendasi Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Penyandang
Disabilitas.
Melihat kompleksnya penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan penyandang disabilitas, penulis merekomendasikan beberapa
hal yang mungkin dapat dilakukan yaitu:
- . Merevisi Undang-Undang No.24 tahun 2003 PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dengan mengkhususkan dan menekankan perlakuan kepada perempuan penyandang disabilitas. Misalnya perlu mencantumkan tentang kebutuhan pendamping yang mengerti bahasa perempuan penyandang disabilitas.
- Mendidik aparat hukum yaitu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman agar lebih peka terhadap kasus kekerasan dan perkosaan dari kalangan perempuan penyandang disabilitas misal dengan membolehkan pendamping korban mendampingi selama proses pemeriksaan dan sidang. Selain itu juga perlu pemberian pengetahuan agar aparat penegak hukum menguasai teknik-teknik komunikasi kepada korban perempuan dengan disabilitas misalnya kepada korban tuna rungu dan tuna grahita.
- Penguatan hak-hak perempuan dengan disabilitas baik yang ada di panti atau di masyarakat. Salah satunya dengan mendukung penyediaan akses informasi dan program pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang berperspektif disabilitas
- Advokasi
kebijakan dalam rangka pengarusutamaan disability
rights di segala sektor.
- Penyebaran
pemahaman bahwa perempuan dengan disabilitas adalah pribadi yang mandiri
dan berdaya dan bukan makhluk aseksual.
- Perlunya
menguatkan para pendamping kasus kekerasan terhadap perempuan dengan
disabilitas dengan perspektif dan ketrampilan khusus berkomunikasi kepada
korban perempuan penyandang disabilitas.
- Sosialisasi
secara terus-menerus kepada masyarakat agar menghargai dan turut menjaga
agar perempuan dengan disabilitas terhindar dari kekerasan.
Jadi sudah jelas bahwa upaya kita untuk menghapuskan
kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas bukanlah persoalan sepele.
Diperlukan kesungguhan dari semua pihak agar persoalan ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Negara berkewajiban menjamin bahwa hak-hak perempuan
penyandang disabilitas terlindungi. Artinya hak-hak dan kebutuhan khusus
perempuan penyandang disabilitas mesti terjamin dan tertulis dalam peraturan
perundangan. Selain itu aparat penegak hukum pun harus memiliki kepekaan dan
ketrampilan khusus untuk berkomunikasi dengan korban perempuan dengan
disabilitas.
Masyarakat secara keseluruhan juga harus
disosialisasikan tentang perlunya melindungi hak-hak perempuan penyandang
disabilitas, menghormati dan menghargai perempuan penyandang disabilitas.
Tak kalah penting juga meningkatkan kesadaran para
perempuan penyandang disabilitas bahwa mereka juga memiliki hak untuk bebas
dari kekerasan dari siapapun pelakunya.
Semua hal itu demi menciptakan Indonesia yang adil dan
humanis serta berkeadilam hukum bagi setiap warga negaranya termasuk perempuan
penyandang disabilitas.
No comments:
Post a Comment