https://wolipop.detik.com/love/d-4716351/5-alasan-korban-kdrt-tak-berani-mengungkap-kasus-dan-lapor-polisi?tag_from=wp_nhl_judul_9&_ga=2.32203390.1183036189.1569052790-1851204526.1552388877
Minggu, 22 Sep 2019 11:02 WIB
Jakarta - Siapa pun tentu tak ingin terlibat dalam KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tapi ketika seseorang menjadi
korbannya, belum tentu ia bisa langsung membela diri apalagi melaporkan
ke komunitas atau polisi. Psikolog dan Komnas Perempuan pun mengakui
banyak wanita tak berani mengungkap kasus kekerasaan yang diterima dalam
bentuk fisik, verbal, seksual, maupun psikologis karena berbagai
alasan. Para korban bisa semakin sulit lepas dari pelaku karena alasan
mereka biasanya tidak tunggal. Berikut lima hal yang bisa jadi alasan
korban KDRT tidak berani melapor.
1. Takut Disudutkan
Budaya patriakis menjadi salah
satu alasan korban KDRT sulit mengungkap kasusnya bahkan kepada
orang-orang terdekat. Banyak korban KDRT takut akan disalahkan ketika
lingkungan tahu bahwa mereka diperlakukan kasar. Riri Khariroh dari
Komnas Perempuan mengatakan jika takut disudutkan menjadi penyebab
korban KDRT memilih untuk diam karena membuat mereka merasa tidak akan
dilindungi ketika melaporkan nanti.
Yang paling sering kita temukan bahwa para korban KDRT itu tidak berani
melaporkan kasusnya karena banyak sekali alasan. Padahal kita punya
undang-undang penghapusan KDRT sejak tahun 2004, itu sudah disahkan.
Tetapi ketika ada wanita yang mengadu masih ada sikap menyalahkan,
blaming victim terhadap korban. Dia sudah menjadi korban disalahkan dan
disudutkan lagi. 'Oh kamu memang bukan perempuan baik-baik', 'Kamu tidak
bisa melayani', 'Kamu kurang dandan'
"Jadi instead of memberikan
proteksi sering kali malah justru aparat penegak hukum atau masyarakat
kita yang masih sangat patriakis menyalahkan korban sehingga korban
kemudian merasa tidak ada yang melindungi dia bahkan tidak mempercayai,"
kata Riri kepada Wolipop.
2. Bergantung Secara Ekonomi
Alasan
kedua korban KDRT tidak melaporkan kasus yang paling banyak ditemui
adalah karena ketergantungan mereka dari segi ekonomi. Hal ini sering
terjadi terutama pada istri tidak bekerja yang mendapatkan perlakuan
kekerasan dari suami. Belum lagi jika korban sudah memiliki anak. Jika
akhirnya mereka berpisah atau suami masuk penjara, wanita pun akan
memikirkan nasib keluarganya.
"Dia berpikir bagaimana nanti
suaminya kalau dipenjara, anak saya sama siapa, secara ekonomi dia
bergantung pada suaminya, belum lagi intervensi dari keluarga besarnya,
Karena itu, yang datang ke lembaga layanan atau komnas perempuan
biasanya merupakan korban KDRT yang sudah sangat parah dan masalahnya
pelik. Dan dia sudah mengalami KDRT bertahun-tahun sampai akhirnya dia
memutuskan dia untuk melaporkan," tutur Riri.
3. Masih Cinta
Cinta
juga bisa jadi penghalang seseorang untuk melepaskan diri dari
kekerasan. Hal ini banyak dialami wanita atau pria yang merasa berat
untuk meninggalkan pasangan hingga tidak ingin melihat mereka dipandang
buruk oleh orang lain.
4. Masih Berharap
Karena rasa cinta, sebagian besar
korban KDRT berpikir bahwa orang tersebut akan berubah seiring
berjalannya waktu. Bahkan ketika rasa cinta sudah hilang, banyak yang
berpikir jika rasa sayang bisa muncul kembali ketika pelaku kekerasan
berubah. "Memang sudah tidak cinta sebenernya tetapi tidak bisa
bercerai. 'Karena saya yakin dia akan berubah'. Jadi berharap dia
berubah. Berharap terus," kata Psikolog Klinis Universitas Indonesia,
Angesty Putri kepada Wolipop.
5. Diteror
Takut
melaporkan kasus KDRT juga bisa karena korban mengalami teror atau
ditakut-takuti. Tak harus dengan tindakan atau perkataan kasar, teror
juga bisa berupa ancaman halus. "'Kalau kamu pisah dengan saya siapa
yang mau sama kamu?' Itu teror lho! Kayak direndahkan harga dirinya
begitu. 'Kalau pun pisah memangnya kamu punya duit? Kan selama ini yang
ngasih duit siapa? Kan saya yang biayain?' Itu termasuk teror," ungkap
Angesty.