Oleh: Shera Rindra M. Pringgodigdo
Sejak wacana mengenai pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual bergulir, beberapa pihak menghubungi saya untuk menanyakan sikap terhadap rencana tersebut.
Saat itu, terbersit keraguan untuk menjawab pertanyaan tersebut karena khawatir jawaban yang saya berikan tidak sesuai dengan harapan mereka; mendukung dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, atau lebih dikenal dengan Perppu Kebiri. Mungkin mereka berharap bahwa saya sebagai salah seorang penyintas kekerasan seksual akan mendukung kebijakan tersebut.
Setelah membaca dengan seksama Perppu tersebut, sikap saya jelas: Menolak beberapa poin di dalamnya, khususnya terkait dengan pemberatan hukuman mati dan kebiri. Namun saya sepakat dengan penambahan hukuman seperti minimal 25 tahun penjara dan maksimal seumur hidup dengan tambahan rehabilitasi pelaku yang diwajibkan melakukan konseling untuk perubahan perilaku, cara berpikir, serta refleksi pada kejahatan yang telah dilakukannya.
Akses keadilan bagi korban
Saya bercermin dari pengalaman saat menjadi korban pemerkosaan belasan tahun yang lalu. Problem utama dari kasus-kasus kekerasan seksual adalah sistem dan proses hukumnya. Proses hukum kita sangat bermasalah, mulai dari aparat hukum yang tidak memiliki perspektif korban, layanan hukum yang tidak ramah, penanganan kasus yang memakan waktu lama dan berbelit-belit, ditambah lagi dengan kebijakan yang tidak memakai kacamata korban.
Mungkin saya adalah salah satu korban yang “beruntung” karena kasus yang saya alami mendapat perhatian dari publik dan mendapat dukungan dari banyak pihak. Proses yang sebelumnya membuat saya seolah menjadi korban kedua kalinya seketika menjadi “lebih” baik ketika berbagai tekanan datang kepada aparat penegak hukum.
Namun, bagaimana dengan para korban yang kasusnya luput dari perhatian publik dan tidak mendapatkan dukungan? Berapa banyak korban yang dilecehkan oleh pihak kepolisian saat melapor dengan menyalahkan mereka karena keluar malam, pakaiannya, atau lainnya?
Berapa banyak korban yang ditawarkan untuk menempuh “jalan damai” karena menganggap bahwa ini adalah aib bagi korban? Berapa banyak korban yang “diperkosa” untuk kesekian kalinya oleh hakim dengan mengajukan pertanyaan yang menyudutkan korban? Belum lagi media yang mengeksploitasi korban dengan menjadikan kasus kekerasan seksual yang dialaminya sebagai sensasi.
Berapa banyak pelaku yang ditangkap dan menjalani proses hukum? Berapa banyak pelaku yang dijerat dengan hukuman maksimal?
Sudah menjadi rahasia bersama bahwa banyak korban kekerasan seksual yang memilih untuk tidak meneruskan bahkan melaporkan kasus yang mereka alami karena tidak percaya pada sistem dan proses hukum di Indonesia.
Kenyataan inilah yang saya temui juga saat menjadi pendamping beberapa korban kekerasan seksual. Beranjak dari pengalaman tersebut, saya melihat persoalan sebenarnya dalam kasus kekerasan seksual adalah sistem dan proses hukum yang tidak ramah pada korban. Seberat apapun ancaman hukumannya, jika proses hukumnya masih sama, maka kondisinya tidak akan jauh berbeda.
Menurut CATAHU 2016 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal sebanyak 3.325 kasus, sementara yang terjadi di ranah komunitas sebanyak 3.174 kasus.
Angka kekerasan seksual yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan setiap tahunnya, hanyalah angka yang terlaporkan. Itu berarti jumlah kasus kekerasan yang sesungguhnya jauh lebih besar dari yang dikumpulkan. Angka tersebut ibaratnya pucuk dari gunung es.
Penyebab kekerasan seksual bukan sekadar soal nafsu birahi, bukan sekedar soal penis dan vagina semata, namun persoalan relasi kuasa; ada orang yang merasa memiliki hak untuk menyerang tubuh orang lain. Karena kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apapun selain penetrasi penis.
Persoalan lain dari Perppu ini adalah secara spesifik hanya untuk menyasar kekerasan seksual yang dialami oleh anak. Bagaimana dengan korban kekerasan seksual yang sudah dewasa? Apakah mereka sebagai korban sedemikian tidak pentingnya untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah?
Keadilan bagi siapa?
Ditebitkannya Perppu ini disambut oleh beberapa pihak sebagai panasea yang mampu mengurangi bahkan menghapus kekerasan seksual di negeri ini. Mereka lupa bahwa kekerasan seksual adalah problem yang sistemik. Tidak bisa hanya diselesaikan dengan kebijakan hukum yang dibuat hanya untuk menakuti, namun tidak untuk mencegah persoalan kekerasan seksual. Menurut saya, hukuman mati dan kebiri bukanlah hukuman yang tepat dan tidak memberikan efek jera.
Bangsa ini memiliki masalah yang lebih besar dalam persoalan kekerasan seksual. Dalam berbagai kasus, tidak sedikit orang yang masih mencari-cari kesalahan pada korban. Seakan-akan itu menjadi upaya sebagai pembenaran atas kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak.
Jika tidak ditemukan “kesalahan” pada korban, maka hal lain dicari-cari juga sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Seperti, misalnya, apakah si pelaku mabuk minum-minuman beralkohol, memakai narkoba, punya kelainan jiwa, atau punya sejarah sebagai korban kekerasan juga. Yang pada akhirnya ini membuat kita lupa fokus serta gagal melihat akar dari kekerasan seksual yang sesungguhnya.
Masyarakat dan pemerintah juga masih menganggap bahwa ketika pelaku sudah dijerat dengan hukuman, maka masalah bagi korban sudah selesai. Seolah melupakan bahwa korban akan menanggung beban dan trauma seumur hidupnya.
Bagaimana dengan pemulihan bagi korban? Bagaimana agar ia bisa menjadi seorang penyintas? Bagaimana korban menghadapi stigma yang diberikan oleh masyarakat? Seakan proses hukum yang tidak ramah pada korban itu sudah memberikan keadilan, sudah bisa membuat korban pulih dan melangkah maju dengan lega, atau sudah menyelesaikan problem kekerasan seksual secara keseluruhan.
Perppu ini, menurut saya, hanya “solusi instan” yang justru menggambarkan wajah sebagian masyarakat Indonesia, yang masih menganggap kekerasan adalah solusi untuk segalanya. Menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan. Bagi saya, isi Perppu tersebut tidak memberikan “keadilan” bagi korban yang akan menghadapi trauma seumur hidupnya.
Sikap saya menolak Perppu ini tentunya akan mengundang banyak kritik bahkan hujatan seolah saya tidak dapat memahami penderitaan yang dihadapi oleh korban kekerasan seksual lainnya. Namun saya tetap percaya bahwa yang perlu dilakukan segera adalah perbaikan sistem dan proses hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual untuk menjamin bahwa mendapatkan akses keadilan bagi korban dapat terwujud.
Selain itu, pemerintah juga harus menjamin tersedianya layanan penanganan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual yang berkelanjutan. Peran masyarakat pun menjadi sangat penting untuk mendukung para korban dalam proses tersebut dengan tidak memberikan label negatif pada mereka.
Saya sebagai penyintas tidak mau memakai cara kekerasan dalam menyelesaikan persoalan kekerasan seksual. Saya sadar bahwa kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dengan tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pelaku. Jika kita beranggapan bahwa kekerasan adalah solusi, maka kita akan berkontribusi dalam melanggengkan kekerasan. Perubahan tidak akan terwujud jika kita masih mengadopsi budaya dan pola pikir kekerasan. —Rappler.com