Kinoy — HARIAN TERBIT
JAKARTA – Meskipun Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat menjunjung tinggi toleransi, namun berdasarkan survei terkini Lingkaran Survei Indonesia (LSI), sebanyak 15-80 persen rakyat Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas. Sikap intoleransi terhadap identitas dinilai semakin mengkhawatirkan.
Tiga jenis tetangga yang dikategorikan oleh LSI adalah Syiah, Ahmadiyah dan homoseksual yang mendapatkan persentase penolakan yang tinggi oleh publik Indonesia.
Sebesar 41,8 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Syiah. Sebesar 46,6 persen publik merasa tidak nyaman berdampingan dengan orang Ahmadiyah dan sebesar 80,6 persen publik merasa tidak nyaman berdampingan dengan orang yang memiliki hubungan sesama jenis (homoseksual). Sedangkan mereka yang mengaku hidup tidak nyaman hidup berdampingan dengan tetangga yang berbeda agama sebesar 15,1 persen.
“Artinya, mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam lebih menerima hidup bertetangga dengan orang yang beda agama daripada hidup bertetangga dengan orang Islam yang berbeda paham seperti Syiah dan Ahmadiyah,” ujar Ardian Sopa dari LSI Community, kemarin, di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur.
Pada 2005, LSI pernah melakukan survei dengan variabel dan indikator yang sama. Pada saat itu, publik yang merasa tidak nyaman terhadap tetangga yang berbeda identitas hanya sebesar 8-65 persen, katanya.
Temuan survei 2005 menunjukkan bahwa mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan de-ngan orang yang berbeda agama naik 8,2 persen dari 6,9 persen menjadi 15,1 persen pada survei 2012. Ketidaknyamanan bertetangga dengan orang Syiah sebelumnya sebesar 26,7 persen kini naik 15,1 persen menjadi 41,8 persen.
Sementara mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Ahmadiyah naik sebesar 7,5 persen yang sebelumnya hanya 39,1 persen menjadi 46,6 persen pada 2012. Dan mereka yang tidak nyaman bertetangga dengan homoseksual pada 2005 hanya 64,7 persen kini menjadi 80,6 persen.
“Sikap intoleransi yang terjadi di Indonesia berbeda jauh dengan masyarakat yang majemuk di negara-negara Barat yang berkisar 2,0-25,0 persen saja tergantung isunya,” papar Adrian.
Penggunaan kekerasan dalam menindak mereka yang berbeda identitas atau agama tertentu juga semakin meningkat. Lebih dari 20 persen publik Indonesia yang setuju dan membenarkan penggunaan kekerasan dalan menegakkan prinsip agama.
“Angka ini meningkat dari tahun 2005 yang hanya di bawah 10 persen mereka yang setuju dengan penggunaan kekerasan,” ungkapnya.