Sunday, October 26, 2008
Wawancaraku di Republika, 26 Okt 08, Minggu
2008-10-26 11:13:00
Titiana Adinda
Kami Ini Kumpulan Orang-orang Optimistis
Menjadi difabel di usia dewasa sungguh merupakan cobaan hebat bagi Titiana Adinda. Perempuan ini setahun penuh berjuang memulihkan fisiknya yang terlumpuhkan oleh meningoensefalitis tb. ''Januari 2004, saya terkena radang infeksi otak yang disertai dengan serangan tuberkulosis,'' kenang Dinda, begitu ia akrab disapa.
Dinda tak tahu asal penyakit itu. Serangkaian gejala --sering pusing dan demam-- tak pernah dihiraukannya hingga suatu hari ia kejang dan tak sadarkan diri. ''Kemungkinan, aku kena bakteri ini saat kunjungan kerja ke daerah atau semasa bertugas ke luar negeri,'' kata dara kelahiran Jakarta, 19 Februari 1979, ini.
Sebelum dilumpuhkan meningitis tb, Dinda memang sangat aktif bepergian. Dalam sebulan, terhitung hari ia berada di Jakarta. ''Selebihnya, saya ke daerah untuk advokasi maupun mengadakan pelatihan sesama aktivis. Entah ke Surabaya, Flores, atau Makassar,'' ungkap Dinda.
Sebelum terserang meningitis, Dinda sempat ke Singapura dan Thailand. Ia dikirim untuk mengikuti pelatihan seputar hak asasi manusia. ''Di Bangkok, tahun 2002, aku menjadi pembicara,'' kata dia.
Hidup Dinda sontak berubah menyusul serangan meningitis. Ia sempat amnesia. ''Sebulan dirawat di RS Pusat Pertamina, 13 hari di antaranya, saya koma.''
Ujian buat Dinda menjadi-jadi setelah ia di-PHK secara lisan dari Komnas Perempuan. Sejak tahun 2000, Dinda bergabung dengan Komnas Perempuan. ''Saat di-PHK secara lisan, saya bertugas sebagai asisten koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Korban di Komnas Perempuan,'' ucap Dinda.
Sebagai karyawan tetap, Dinda terusik tidak diberhentikan secara tertulis dan tak mendapat pesangon. Ia tak tinggal diam. ''Saya kemudian menggugat Komnas Perempuan.''
Dalam masa pemulihan tubuhnya, Dinda memperjuangkan hak-haknya. Momen itu ia rekam dalam sebuah buku berjudul Harapan Itu Masih Ada. Berikut petikan kisah hidup penuh warna yang diceritakan Dinda kepada wartawan Republika, Reiny Dwinanda dan fotografer Amin Madani, Selasa (14/10) pekan lalu:
Sebagai orang yang dinamis, bagaimana rasanya terlumpuhkan oleh penyakit?
Awalnya, saya kesal, nyaris putus asa. Saya mempertanyakan apa maksud Tuhan memberi penyakit ini. Tetapi, kemudian saya berbaik sangka kepada Tuhan. Mungkin, dengan cara ini, Allah SWT menyuruh saya istirahat. Kalau tidak, mungkin saya akan menjadi orang yang tak tahu diri.
Sebab, saya sering sekali keliling, ke luar kota. Waktu saya malah lebih banyak di luar kota ketimbang di Jakarta. Banyak daerah yang sudah saya kunjungi. Kaki saya pernah menjejak di sebagian besar Jawa, Flores, Makassar, juga Bengkulu.
Sudah pernah ke Papua?
Nah, itu dia. Sebelum kena meningitis, saya sedang bersiap ke Papua. Tapi, keburu sakit. Nggak jadi deh....
Apa sebetulnya yang Anda lakukan di daerah-daerah yang Anda kunjungi?
Saya melakukan advokasi ke pemerintah daerah. Tujuannya agar perda lebih berpihak kepada perempuan. Saya melobi pemerintah daerah agar memiliki pusat pemulihan korban kekerasan. Saya juga men-training aktivis kemanusiaan.
Begitu terserang meningitis, apa yang berubah dari hidup Anda?
Saya kehilangan pekerjaan. Lima belas bulan lamanya saya memperjuangkan hak untuk mendapatkan surat pemecatan dan pesangon. Johnson Panjaitan dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) membantu saya tanpa berbayar. Tahun 2006, keinginan saya terpenuhi. Sejujurnya, saya hanya ingin mendidik Komnas Perempuan bagaimana bersikap kepada karyawannya yang sakit. Jangan PHK orang sembarangan.
Selain itu, saya juga sempat ditinggalkan oleh teman-teman di Komnas Perempuan. Mereka sesungguhnya hanya khawatir dengan atasannya. Tetapi, kini kami berteman baik kembali. Saya kini bekerja sebagai staf administrasi kantor hukum Adhikoro, Purwanto, dan Rekan.
Fisik saya juga berubah. Kelopak mata kiri saya mengecil dan pandangan saya jadi dobel. Bagian kanan tubuh sempat lumpuh hingga membuat saya harus berkursi roda setahun penuh. Kini, saya sudah bisa berjalan dengan bantuan tongkat. Semoga bisa lepas tongkat dalam waktu dekat. Sejujurnya, saya belum percaya diri. Saya masih takut jalan tanpa tongkat. Saya takut jatuh. Soalnya, meski sudah setahun lewat terbebas dari penyakit, keseimbangan badan saya tetap tidak seperti orang sehat lainnya.
Saya masih sukar menulis banyak. Tangan saya cepat letih. Tetapi, untuk mengetik, tak ada masalah. Karena itu, saya rajin mengisi blog titiana-adinda.blogspot.com.
Apa yang memotivasi Anda menuliskan perjalanan penyakit ini?
Saya tidak hendak mengumbar kesedihan. Meningoensefalitis belum banyak dikenal orang. Saya ingin berbagi. Mungkin ada yang mengalami seperti saya. Saya ingin memberi tahu penyakit ini berbahaya. Untuk menghindarinya, jagalah daya tahan tubuh. Vaksinasi diri ke rumah sakit terdekat bagi mereka yang sering bepergian ke tempat endemi meningitis.
Setelah kena meningitis, saya sadar pentingnya asuransi kesehatan. Saya harus menjalani fisioterapi, terapi wicara, dan hidroterapi yang membutuhkan uang yang tak sedikit. Saya bersyukur ada seseorang yang sangat perhatian yang membantu dana pengobatan. Beliau tak mau dipublikasikan namanya.
Anda juga menulis buku Kekerasan Itu Berulang Padaku. Dari mana narasumbernya Anda dapatkan?
Di buku ini terdapat 10 kisah nyata perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan psikologis. Lima orang di antaranya adalah mereka yang pernah curhat dengan saya. Lima orang lainnya merupakan klien Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo (PKT RSCM).
Saya fund raiser di PKT RSCM. Saya bergabung sejak tahun 2006. Latar belakang pendidikan saya Politeknik Universitas Indonesia jurusan Manajemen Keuangan. Saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia hanya sampai semester enam. Saya tidak punya pengetahuan psikologi.
Untuk mendapatkan cerita dari korban yang mendatangi PKT RSCM, saya meminta bantuan pekerja sosial. Para korban kekerasan itu sepakat untuk berbagi kisah. Mereka menceritakan kronologisnya secara tertulis. Saya meramunya menjadi sebuah kisah. Nama, pekerjaan, dan latar belakang lainnya saya samarkan. Hanya inti ceritanya yang saya sajikan di buku ini.
Dari menulis kisah nyata tersebut, kesimpulan apa yang Anda dapatkan tentang berulangnya kekerasan terhadap perempuan?
Perempuan yang mengalami kekerasan masih banyak yang takut melapor ke polisi. Tanpa pelaporan, sukar memutus mata rantai kekerasan. Mereka takut melapor karena banyak hal. Mulai dari ketergantungan ekonomi, khawatir menjadi aib bagi keluarga, dan pertimbangan masa depan anak.
Ketakutan macam ini terjadi merata di seluruh lapisan perempuan. Yang terdidik maupun tidak. Dari yang paling kaya sampai yang paling miskin.
Apa saran Anda bagi perempuan yang akan menikah. Bagaimana cara praktis mengenali tabiat calon suami?
Lamanya masa pacaran bukan garansi. Mungkin, selama itu, pria masih jaga image. Waspada saja jika pasangan mulai mencoba meng-isolir Anda, memaki, memukul, dan berlaku tidak jujur.
Ingat, cemburu berat bukan berarti cinta. Cemburu berat merupakan kekerasan. Dikategorikan begitu karena pada dasarnya rasa cemburu itu bersifat ingin mengendalikan.
Pandangan serupa Anda sampaikan ke calon suami?
Tentu saja. Saya minta rumah tangga kami nantinya didasari dengan prinsip no violence. Dia mengerti itu. Kami sesama aktivis. Hubungan kami sudah seperti adik-kakak. Sejak menjadi difabel, saya tak bisa lagi main ke toko buku dan nonton ke bioskop dengannya. Fasilitas umum di Ibu Kota belum bersahabat dengan orang yang bertongkat seperti saya.
Beberapa waktu lalu Anda mengangkat permasalahan pendanaan PKT RSCM ke media massa. Ada yang berubah setelah problem itu diliput wartawan?
Tentu ada. Tujuan kami ingin membuat persoalan ini diketahui banyak orang. Masyarakat kemudian banyak yang tergugah membantu. Dari April hingga Agustus 2008, donasi yang masuk ke rekening PKT RSCM mencapai Rp 10.440.000. Dana ini cukup untuk operasional tiga bulan.
Kami juga mendapat donasi dari UNFPA Rp 46 juta. Lantas, ada Rp 30 juta dari UNIFAM untuk mendirikan PKT support group. Namun, kondisi PKT RSCM statusnya masih gawat. Kami masih mengadvokasi pemerintah agar menyediakan dana dari APBN dan APBD. Ini sejalan dengan amanat PP no 4 tahun 2006.
Kabarnya, menyusul pemberitaan seretnya dana PKT RSCM, Anda mendapat e-mail dari anggota DPR.
Betul. Beliau menanyakan kebenaran berita itu. Saya sudah tanggapi. Setelah dua e-mail, tak pernah ada progres. Kontak terputus. Mungkin nanti jelang pilpres 2009 ada yang mau mengangkat isu ini sebagai bahan kampanye.
Selagi dana PKT RSCM masih belum lancar, Anda dan rekan kini malah menggagas proyek pembuatan buku kumpulan foto perempuan korban kekerasan...
Senin (13/10) kemarin kami baru mendiskusikannya. Rencananya, bulan depan kami mulai bekerja. Ada tiga fotografer yang sudah bergabung. Nantinya akan ada rekrutmen terbuka untuk para fotografer yang ingin terlibat dalam proyek ini. Buku ini merupakan proyek pertama foto perempuan korban kekerasan yang digarap serius.
Mengapa ini penting? Foto itu penting untuk edukasi. Jika digarap dengan benar --seperti buku Living With The Enemy, kisah nyata karya fotografer Donna Ferrato-- foto perempuan korban kekerasan bisa bermanfaat. Ferrato telah berbuat sesuatu untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dengan mendokumentasi dan menyebarkan hasil fotonya kepada orang lain.
Kami di PKT RSCM adalah kumpulan orang optimistis. Kami maju saja dengan konsep tersebut. Kami percaya berjalan dengan tujuan yang baik. Masak sih Tuhan tidak bantu. Sebagai fund raiser, saya akan melobi donor asing dan pemerintah. Susah banget. Tetapi, Lillahi Ta'ala sajalah.
Jengah Bermanja-manja
Titiana Adinda adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Putri pasangan (alm) Tosanto dan Titisari ini tak sontak menjadi anak manja meski berstatus anak bontot. Sang bunda ingin sekali Dinda bermanja dengannya. Namun, Dinda tak mau. ''Saya justru jengah bermanja-manja,'' ungkapnya.
Dinda tumbuh sebagai gadis yang sangat mandiri. Sejak bekerja, Dinda pisah rumah dengan bundanya yang menetap di Depok, Jawa Barat. Selagi bekerja di Komnas Perempuan, Dinda mengontrak rumah di Rusun Harum, Tebet, Jakarta Selatan. Kini, ia bersama teman mengontrak rumah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. ''Sejak memakai tongkat, saya tak memiliki alternatif transportasi selain taksi. Lebih mahal, memang. Tapi mau bagaimana lagi.''
Bekerja sebagai staf administrasi di kantor hukum, Dinda tak lagi sesibuk seperti dulu di Komnas Perempuan. Seminggu sekali, ia datang ke PKT RSCM. ''Saya lebih banyak mengisi waktu dengan menulis blog, artikel, dan buku,'' kata alumnus SMA Negeri 1 Cibinong, Jawa Barat, ini.
Lantas, bagaimana cara Dinda bersenang-senang? Dinda mengaku senang menonton VCD. ''Tetapi, bukan yang action dan horor. Saya tak habis pikir mengapa orang harus disakiti...''
Dinda juga suka membaca buku, terutama komik Donald Bebek dan Doraemon. Belum lama ini, koleksi komik kesayangannya diminta oleh keponakan Dinda. ''Tante kan sudah gede. Nggak usah koleksi komik,'' kata sang keponakan merayu.
Dinda berpikir argumentasi keponakannya ada benarnya. Lantas, ia pun merelakan komik koleksinya untuk berpindah tangan. ''Lebih dari 25 komik koleksi yang saya kirimkan untuknya,'' ujar Dinda yang juga penulis buku Self Defence for Women ini sumringah.
Dinda juga menikmati hari dengan bersantap malam di area wisata malam di Kemang, Jakarta Selatan. Namun, ia tak suka nongkrong hingga larut malam. ''Saya tak suka kehidupan malam. Lebih enak main internet!'' serunya.
Saturday, October 25, 2008
"My Aura"
I took the "The Aura Color Personality" quiz on gURL.com | |||
My aura is... violet In the world of auras, violet is the color of visionaries. Violets are inspired individuals who are filled with enormous amounts of compassion for the human race. They are usually committed to great causes--think environmental or peace activism--that they think will save the world. Read more... What color is your aura? | |||
Sunday, October 19, 2008
Wawancaraku di The Jakarta Post, Minggu, 19 Oktober 2008
Titiana Adinda: Fighting violence against women
Prodita Sabarini , The
Writer and women's rights activist Titiana Adinda, 29, is a fighter: Partly paralyzed by meningoencephalitis in 2004 and laid off upon her return to work 18 months later, she refused to give in to her illness and continued the work she loved the most: Fighting violence against women.
On a sweltering hot day, Titiana dragged her right foot while leaning on a walking stick.
She posed for the The Jakarta Post photographer by a wall-length window at the law firm where she now works.
"I'm supposed to be able to walk without this walking stick. But I'm still nervous walking without it. I'm afraid of falling," Titiana said.
"I'm certain, however, that someday I will be able to walk again without using the stick."
Titiana spoke as if making a promise to herself. Four years ago, after recovering from a 13-day coma caused by the bacterial infection that attacked her brain, she found herself unable to move the right side of her body.
Now, she can walk and use her right hand. Her speech ability, which deteriorated after the illness, has been restored.
Her determination to get better is parallel with her determination in fighting violence against women.
While she was still seriously ill in 2006, she organized a self-defense class for women and wrote a book about it. In the same year, she volunteered as a fund-raiser at Cipto Mangunkusumo hospital crisis center for women and children who are victims of abuse, which opened in 2000. She has also published a collection of true stories about violence against women.
"I feel that it is our responsibility to address the problem of violence against women and children. I'm not going to give up on that just because of my illness," she said.
Currently she is busy looking for donations for the crisis center, which is on the verge of shutting down because of lack of funding for operational costs.
"Victims of abuse receive treatment for free at the crisis center, because usually they do not have access to finance," she said.
The local administration funds the medicines and medical facilities needed for the treatment of victims of abuse but does not pay the salaries of the center's staff.
The crisis center has about 20 employees, including doctors, nurses and psychologists.
"We recently received a donation of around Rp 46 million from a UN organization which is enough to cover two months' operational costs. After those 2 months, we will have to search for donations again," she said.
"The operational cost of the center is high because it's open 24 hours."
Titiana said that from January to May this year the center treated 298 women and children victims of abuse.
"We need help to keep going," she said.
Titiana said her passion to help victims of abuse started when she was at school.
"I used to listen to my friends talking about problems at home, where domestic violence occurs. Domestic violence is all around us and it needs to be addressed," she said.
Before falling ill, Titiana worked at the National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan).
In her book Harapan Itu Masih Ada (There is Still Hope), she told the story of her illness and how she fought for her right to get severance pay from the commission, which fired her without reason.
"I did not want to write my story at first. It's really personal and I didn't want to parade my sadness. But a friend who worked in the publishing company persuaded me to do it," she said.
A lot of families of patients of meningoencephalitis contacted her after the book came out.
"It's nice to spread optimism among families and patients about this illness," she said.
The doctors have declared that she has been cured of her illness.
"I'm really lucky," she said. "Most of the people that have the illness don't make it."
Titiana said she would continue her work as an activist, with several fund-raising projects in mind. She also has ideas for future books.
Her next projects will be the memoir of a gay friend who was abused in Aceh and a book on the lives of obese people.
Wednesday, October 8, 2008
[Buku Baru] Kekerasan Itu Berulang Padaku
[Buku Baru] Kumpulan Kisah Kekerasan Terhadap Perempuan
Judul Buku : Kekerasan Itu Berulang Padaku
Penulis : Titiana Adinda
Genre : Kumpulan Kisah Nyata (True Story)
Penerbit : Elex Media Komputindo (Gramedia Group)
Tahun Terbit : 2008
Pengantar Ahli : dr. Mutia Prayanti, SpOG (Ketua PKT RSCM)
Mariana Amiruddin (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan)
Kisah kekerasan terhadap perempuan sering terjadi di sekitar kita. Dampaknya selain menimbulkan luka fisik juga luka psikologis. Para korban enggan melapor karena takut pada ancaman pelaku atau menggangap kekerasan itu sebagai aib keluarga. Fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan semata masalah pribadi, tapi juga merupakan tanggungjawab negara dan masyarakat. Masyarakat maupun penegak hukum harus terlibat untuk mengatasi dan menyelamatkan perempuan dari segala bentuk kekerasan.
Buku ini berisi sepuluh kisah nyata tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan saat berpacaran. Mulai dari suami yang suka menyiksa dan tak mau memberi nafkah, sampai kisah korban yang melakukan aborsi karena sang pacar tak ingin bertanggungjawab.
Hapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan!