Wednesday, July 9, 2008

(Resensi buku) Harapan Itu Masih Ada

RESENSI BUKU

Judul : Harapan Itu Masih Ada

Penulis : Titiana Adinda

Penerbit : Elex Media Komputindo

Genre : True Story

Terbit : 2008

Tebal : 103 hlm.

HIDUP, SEPATUTNYA DIBELA!

Oleh: Y. Budi U*

Sedikit orang yang mampu menulis tentang “rahasia” dirinya, kecuali untuk otobiografi dan kepentingan publikasi. Titiana Adinda, bagian dari jumlah yang sedikit itu. Rahasia ‘penderitaan’ hidup, apalagi menyangkut eksistensi diri, memang tak seharusnya murah diumbar. Pengakuannya dalam pengantar, Dinda menulis, “Sungguh tidak mudah mengingat kembali peristiwa menyedihkan ini. Bahkan tak jarang meneteskan air mata saat menuliskannya.”


Datangnya cobaan

Meningoensefalitis adalah radang infeksi yang menyerang selaput dan jaringan otak. Efek yang ditimbulkan berupa kelumpuhan tubuh bagian kanan, kelopak mata mengecil, bahkan amnesia. Lebih dari itu, Dinda mengalami meningoensefalitis Tb (tuberkulosis), dimana bakteri TBC ikut andil menyerang selaput otaknya. Bisa dibayangkan bagaimana Dinda ‘belajar keras’ menerima keadaan dirinya. Dan, Dinda menuliskan semua pengalaman itu dengan lugas, sekaligus menegaskan ketegarannya yang luar biasa.

Pada tahap awal, Dinda hanya sering merasakan demam dan pusing, sebagaimana gejala flu biasa. Seorang dokter menyarankannya untuk segera operasi usus buntu. Dinda melakoninya. Namun, tak kunjung sembuh. Hingga di awal tahun 2004, Dinda, yang saat itu masih aktif di Komnas Perempuan, mengalami puncak sakitnya. Hasil pemeriksaan, baik CT-scan maupun MRI, menyimpulkan adanya peradangan di selaput otak (meningitis) dengan deskripsi meningitis Tb. Mulailah, hari-hari Dinda dilalui di rumah sakit, ruang terapi, dan kamar rawat.

Rasa rendah diri Dinda yang pertama adalah kesulitan bicara. Dengan kondisi bibir yang miring ke kiri dan bicara yang terbata, membuatnya sedih. “Ya Tuhan, kalau begini terus, aku tidak tahan menerima cobaan ini.” Rasa percaya diri semakin hilang saat tahu dirinya terkena amnesia, pandangannya jadi dobel, dan mata kirinya semakin mengecil.

Kehilangan ingatan merupakan satu siksaan tersendiri. Terutama bila kenangan akan aktivitas menyenangkan yang pernah dilakukannya tak bisa dilakukan lagi. Untuk melakukan hal-hal biasa (rutin) saja tentu menjadi kerinduan luar biasa. Di bagian-bagian selanjutnya, Dinda bercerita bagaimana ia harus belajar lagi mengoperasikan Mic. Word, sebuah aktivitas biasa yang telah mahir dilakukannya jauh sebelum sakit.

Belum usai dari keterpurukan, Dinda harus menerima fakta pahit di tempatnya bekerja. Maret 2005, selang ia sedang memulihkan keadaanya, Dinda di-PHK tanpa prosedur semestinya. Dinda pun meradang. Ia menuntut Komnas Perempuan secara hukum. Tidak main-main, hampir 15 bulan lamanya, Dinda berjuang mendapatkan haknya. Dan, untuk kesekian kalinya, jauh di lubuk hatinya, Dinda makin merasa sangat sepi. Sakit dan penderitaan yang dialaminya seolah membuatnya banyak kehilangan teman dan juga “nasib” baik.

Masa pemulihan

Keakrabannya dengan penderitaan di saat sakit, membuat Dinda mulai terbiasa dan bisa menerima keadaan dirinya. Perlahan-lahan, Dinda bangkit sebagaimana ia sendiri mengeraskan hati untuk sembuh. Aktivitas demi aktivitas dia lakukan, konsultasi, terapi, dan menulis artikel di media massa.

Yang menarik adalah tumbuhnya kesadaran Dinda untuk melakukan konsientisasi tentang meningoensefalitis, termasuk dituliskannya di buku ini. Tentunya supaya jangan ada lagi orang yang terkena penyakit ini. Menurut data dari berbagai sumber, angka kematian penderita meningoensefalitis di Indonesia mencapai 18-40 persen, dengan angka kecacatan 30-50 persen.

Meningitis sendiri, lebih sering terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-2 tahun. Gejala yang umum terjadi adalah demam, sakit kepala, dan kekakuan otot pada leher. Penderita ini juga mengalami fotofobia (takut cahaya) dan fonofobio (takut dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak bingung, susah untuk bangun tidur, bahkan tak sadarkan diri. Pada bayi, umumnya menjadi sangat rewel dan terjadi gangguan kesadaran. Gejala lainnya adalah warna kulit menguning (jaudice), tubuh dan leher terasa kaku, demam ringan, tidak mau makan atau minum ASI. Tangisannya pun menjadi lebih keras dan bernada tinggi, serta ubun-ubunnya terdapat benjolan atau bagian itu terasa kencang.

Menjaga kebersihan diri adalah kiat pertama mencegah terjangkitnya penyakit ini. Media penularan bakteri Neisseria meningitidis meningokokus ini melalui udara. Hubungan langsung dengan terkena lendir atau percikan hidung atau tenggorokan ketika orang bersin, mencium, batuk, atau barang-barang pribadi seperti gelas dan sikat gigi, juga rentan pada penularan.

Pencegahan lain bisa dilakukan dengan vaksinasi Hemophilus influenzae tipe b untuk anak-anak. Sementara vaksin meningokukus diberikan untuk orang dewasa. Para jamaah haji biasanya mendapatkan vaksin ini sebelum masuk di negara Arab Saudi.

Akhirnya, Dinda menyadari bahwa di dalam penderitaanya, ia masih bisa mensyukuri semua nikmat yang diberikan Tuhan. Perhatian orang-orang dekat, keluarga, dan sahabatnya membuatnya semakin semangat menyalakan api hidup. Dari balik kamarnya, lahir gagasan-gagasan indah, termasuk menjadi penggagas beladiri SDFW (Self Defense for Woman) Indonesia di Jakarta dan menuliskannya dalam buku dengan judul yang sama.

Rasanya, judul buku “Harapan Itu Masih Ada” ini bukan sekadar puitisasi fonetik. Dinda, sang penulis telah benar-benar menaruh harapan itu dalam hatinya, dalam hidupnya. Dan, sekarang tinggal menjaga nyala harapan itu, agar tetap hidup untuk dirinya juga untuk orang lain.

*Y. Budi U, Ketua Komunitas Studi INSPICIO

1 comment:

  1. hebat mba yg satu ini. tidak bisa dilemahkan oleh penyakit or lainnya. Bravo mbak! Jadi malu sendiri....

    ReplyDelete