Oleh: Hendri Yulius*
Eve Ensler,
sang penggagas teater “The Vagina Monologue“ bertema seksualitas perempuan ini
mengaku dengan jujur, mementaskannya untuk publik dibayangi ketakutan akibat
ketabuan akan seks ini berhasil diterabasnya. Sebab seksualitas perempuan tak
pernah hadir secara apa adanya. Ia selalu diikuti dengan beban moral dan
stereotipe ‘perempuan jalang’ (bitch) ketika seksualitas itu dimunculkan ke
ruang publik yang merupakan buah dari budaya patriarki. .
Erica Jong,
penulis perempuan keturunan Yahudi pada tahun 70-an lewat novel trilogi karyanya
yang berjudul “Fear of Flying”, menceritakan pengalaman perempuan yang telah
berumah tangga untuk berpetualang untuk menemukan jati dirinya secara seksual
dan menemukan kenikmatan orgasmik yang selama ini begitu dirindukannya.
Ada juga Wei
Hui dari Cina yang lewat novelnya berjudul “Shanghai Baby” berkisah tentang
gadis muda bernama Coco yang memiliki kekasih impoten yang membuatnya akhirnya
berselingkuh dengan lelaki keturunan Barat. Perselingkuhan ini menimbulkan
pertanyaan tentang cinta dan pengkhianatan.
Hal serupa juga
terjadi di Indonesia, Ayu Utami lewat Novelnya Saman pertama kali bicara seks
menuai hujatan dan argumen berbasis moralitas sempit menggeser pokok novel Ayu
yang sebenarnya bicara tentang kompleksitas seksualitas manusia, ketimpangan
gender, hingga carut-marut politik Orde Baru dan mereduksinya menjadi seolah
karya yang bicara seks dengan vulgar.
Mengapa karya
sastra perempuan yang bicara seks selalu ditempatkan dalam ranah sekunder,
bahkan seringkali direduksi menjadi karya pornois? Tak bisa tidak, kita harus
melihat isu moralitas yang sering digunakan untuk menghakimi karya perempuan.
Moralitas yang hadir dalam kekuasaan budaya patriarkis bergerak dalam moda
dikotomi antara aktif (lelaki) dan pasif (perempuan). Perempuan ditempatkan
dalam wilayah pasif dan domestik yang membuatnya harus tunduk dan diam terhadap
seksualitasnya.
Pandangan
seksis ini mendapat justifikasi dari esai Sigmund Freud yang berjudul “Feminity”.
Dia berargumen bahwa seorang gadis lebih bergantung dan kurang agresif.
Lanjutnya, perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, hanya karena tidak
memiliki penis.
Oleh karenanya,
perempuan yang dianggap aktif dan menantang seksualitas akan dianggap sebagai
‘perempuan jalang’ karena telah melanggar batasan norma ini. Sementara, lelaki
tidak. Inilah yang dinamakan kekerasan simbolik yang diterakan lewat hinaan dan
pembentukan stereotipe.
Griselda
Pollock menulis bahwa citra perempuan selalu mencerminkan makna yang berasal
dari tempat lain, yakni struktur sosial. Tentu, struktur sosial ini belum
pernah bisa dilepaskan dari kekuasaan budaya patriarkis yang membungkam
seksualitas perempuan. Oleh karena itu, tulisan yang merupakan arena
pertarungan makna simbolik harus dapat direbut. Karya sastra merupakan arena
yang dapat digunakan untuk merebut subjektivitasnya dan meleburkan batasan
dikotomi aktif/pasif dan moral/amoral itu.
Pemikir feminis
Perancis, Helene Cixous berpendapat bahwa dengan menulis, perempuan dapat
menerabas batas dikotomi dan melakukan transformasi budaya. Bukanlah nalar
berbasis moralitas dikotomis yang seharusnya dijadikan landasan menulis, tetapi
hasrat. Hasrat yang membebaskan.
*Penulis Buku “3-Some”
No comments:
Post a Comment