Dimuat di dalam buku Seksualitas dan Kesehatan Repdroduksi; Perempuan dengan Disabilitas, Jurnal Perempuan, Agustus 2011
Hak Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Perempuan Disabel
Oleh: Titiana Adinda(*
Masalah hak seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan disable secara international telah telah diangkat dalam International Conference Population Development (ICPD) 1994 di Cairo. Salah satu mandat Negara-negara peserta dihimbau untuk memperhatikan kebutuhan orang-orang dengan ketidakmampuan (difabel) dari segi etika dan hak asasi manusia dan harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana, dan kesehatan seksual, HIV/AIDS, informasi, pendidikan, dan komunikasi.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang difabel. Meskipun di satu sisi telah mengakomodasi banyak kebutuhan difabel seperti hak-hak asasi manusia, namun belum mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas.
Menurut data dari WHO, penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 persen dari total penduduk keseluruhan. Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWCI) mencatat, jumlah penyandang disabilitas perempuan dua kali lebih banyak dari penyandang disabilitas laki-laki. Oleh karena itu amat penting membicarakan hak seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan disabel.
Ketersediaan informasi yang benar serta bertanggung jawab, layanan kesehatan serta perlindungan atas hak seksualitas dan kesehatan reproduksi seharusnya juga didapatkan oleh komunitas disabel di dimana pun mereka berada sehingga mereka merasa aman dan terlindungi dari resiko–resiko reproduksi seksual.
Rendahnya perhatian pemerintah tersebut juga diakibatkan dari pandangan masyarakat yang menganggap bahwa disabel bukan sebagai mahluk seksual. Sehingga mereka dianggap tidak mempunyai hasrat mengekspresikan seksualitasnya. Padahal pada faktanya komunitas disabel sangat rentan mengalami resiko–resiko reproduksi seksual, infeksi menular seksual, hiv aids, kehamilan tidak dikehendaki maupun tindak kekerasan seksual, sehingga sudah seharusnya mereka mendapatkan hak yang sama.
12 HAK KESEHATAN REPRODUKSI (ICPD CAIRO 1994)
Dua belas hak kesehatan reproduksi berdasarkan International Conference Population Development (ICPD) 1994 di Cairo adalah sebagai berikut:
1. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi
2. Hak mendapat pelayanan dan kesehatan reproduksi
3. Hak untuk kebebasan berfikir dan membuat keputusan tentang kesehatan reproduksinya.
4. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak
5. Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko kematian karena kehamilan, kelahiran karena masalah jender.
6. Hak atas kebebasan dan pelayanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi
7. Hak untuk bebas dari penganiayan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi
8. Hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi
9. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan dalam reproduksisnya
10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga
11. .Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam berpolitik yang bernuansa kesehatan reproduksi
Tentunya keduabelas hak reproduksi itu juga harus didapatkan oleh perempuan disable.
Mitos dan Fakta tentang Disabel
Memberikan pendidikan seks kepada perempuan dan anak-anak disabel harus diawali dengan keterbukaan sikap orang tua. Sayangnya, beberapa mitos tentang seksualitas disabel masih diyakini.
Padahal pendidikan seks dibutuhkan perempuan disabel agar mampu membatasi diri untuk menghindarkan mereka dari pelecehan seksual dan perkosaan.
Mitos-mitos seperti berikut perlu disingkirkan agar bisa memberikan pendidikan seks kepada perempuan disable secara terbuka. Adapun mitos itu adalah:
1. Mitos: Orang-orang disabel bukan makhluk seksual.
Fakta: Semua manusia, termasuk perempuan dan anak-anak disable, adalah makhluk seksual tanpa memandang mereka disabel secara fisik, mental, atau emosional.
Seperti semua manusia, mereka membutuhkan kasih sayang, perasaan diterima, dan rasa persahabatan. Namun, memang benar, anak-anak disabel punya kebutuhan berbeda terkait dengan pendidikan seks. Misalnya, kemampuan belajar yang lebih lambat daripada anak-anak yang tidak disable. .
Perlu diingat, perkembangan fisik mereka pada umumnya normal. Karena kematangan fisik yang normal serta perkembangan emosional dan kognitif yang terlambat inilah perempuan dan anak-anak disabel membutuhkan pendidikan seks agar mereka mampu mengekspresikan kebutuhan seks dengan cara-cara yang pantas.
2. Mitos: Orang disabel biasanya kekanak-kanakan dan tidak mandiri.
Fakta: Mitos ini mungkin muncul dari pandangan bahwa orang disabel tidak mampu berpartisipasi dalam hubungan intim. Masyarakat sering kali menganggap lebih mudah memperlakukan orang disabel sebagai anak-anak saja.
Tentu saja mitos atau pandangan tersebut akan membuat masyarakat terus berpikir bahwa orang disabel tidak butuh pendidikan seks. Lebih penting lagi, dengan meyakini ini, masyarakat tidak mengakui hak disabel sebagai manusia.
3. Mitos: Orang disabel tidak dapat mengendalikan seksualitas mereka.
Fakta: Ya, begitulah anggapan yang beredar dalam masyarakat. Kalangan disabel tidak dapat melakukan kontak seksual. Kaum disabel dianggap seperti anak-anak, atau mitos bahwa perempuan disabel dianggap tidak mampu mengendalikan kebutuhan seks mereka.
4. Mitos: Orang dengan disabel tidak perlu pendidikan seks.
Fakta: Kita semua adalah makhluk seksual, dan kita semua membutuhkan pendidikan seksual.. Ketidaktahuan seksual merupakan kendala besar bagi kita semua. Situasi yang membuat lebih buruk ketika perempuan disable secara sistematis tidak diberi tahu tentang hak seksualitas.
Berbicara tentang pendidikan seksual bagi perempuan dan anak disable ternyata juga ada sejumlah mitos tentang pendidikan seksual bagi disable, mitos-mitos tersebut adalah:
Mitos: Pendidikan seks hanya perlu diberikan pada orang yang mau menikah.
Fakta: Menurut sebuah penelitian, sikap seperti itu tidak bakal menunda aktivitas seksual di kalangan remaja. Justru pemahaman yang sangat sedikit dan keliru tentang seksualitas memudahkan banyak remaja terjerumus ke dalam perilaku seks tidak sehat.
Mitos: Pendidikan seks mendorong para pelajar menjadi aktif secara seksual.
Fakta: Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengevaluasi 47 program di Amerika Serikat dan beberapa negara lain. Dalam 15 studi, pendidikan seks dan HIV/AIDS menambah aktivitas seksual dan tingkat kehamilan serta infeksi menular seksual.
Namun, 17 studi lain menunjukkan, pendidikan seks dan HIV/AIDS menunda aktivitas seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual, juga mengurangi tingkat kejadian infeksi menular seksual serta kehamilan yang tak direncanakan.
Mitos: Mengajarkan tentang alat kontrasepsi akan mendorong para pelajar aktif secara seksual dan meningkatkan angka kehamilan pada remaja.
Fakta: Para ahli yang telah mempelajari isu ini menyimpulkan, pendidikan tentang seks dan HIV/AIDS yang komprehensif, termasuk program ketersediaan kondom, tidak menambah aktivitas seksual, tetapi justru efektif dalam mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi di antara para remaja.
Mitos: Kerap terjadi kegagalan alat kontrasepsi, sehingga kita lebih baik mengajari para remaja untuk bersikap menghindarinya.
Fakta: Kontrasepsi modern sangatlah efektif, asalkan memilih jenis yang benar-benar cocok dan digunakan secara benar. Rata-rata kehamilan pada perempuan yang menggunakan suatu jenis pil sekitar 0,03 persen, sementara yang memakai kondom untuk perempuan sekitar 21 persen, dan yang tanpa KB sekitar 85 persen. Bandingkanlah.
Mitos: Alat kontrasepsi tidak menangkal HIV dan infeksi menular seksual lainnya. Fakta: Memang hanya kondom yang dalam memberikan perlindungan yang signifikan terhadap penularan infeksi seksual, termasuk HIV. Itu sebabnya para remaja sebaiknya mendapat pendidikan yang benar mengenai kondom.
Pendidikan Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi
Sangat penting untuk melakukan pendidikan hak seksual dan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan anak-anak disable. Tentu saja metode pendidikan harus dilakukan secara berbeda sesuai dengan keadaan dan kemampuan disable tersebut. Tentu saja bahan pengajaran pendidikan seksualitas bagi tuna netra akan berbeda dengan tuna grahita ataupun tuna rungu.
Dalam pengajaran bagi disable bagi tuna netra dan tuna rungu harus menggunakan boneka peraga. Dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan fisik antara perempuan dan laki-laki. Juga perlu memberikan pelatihan bagi orangtua perempuan dan anak disable untuk diberikan pengetahuan tentang hal-hal sederhana misalnya bagaimana memasang pembalut yang digunakan pada saat menstruasi. Juga menyiapkan orangtua untuk menjelaskan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi lainnya.
Penting juga untuk mengajarkan para disable tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran (KDP), pelecehan seksual dan perkosaan. Para disable dapat diajarkan tentang cara-cara menghindari KDRT, KDP, pelecehan seksual dan perkosaan.
Misalnya saja perilaku pelaku saat mulai dirayu, mereka harus menolak dengan cara halus. Saat desakan terlalu kuat, mereka bisa lari. Jika tidak sempat, mereka bisa menggunakan semprotan gas air mata. Tapi jika tidak punya, mereka bisa menggunakan tendangan ke bagian selangkang. Jika dibekap, mereka bisa menggigit tangan pelaku.
Pendidikan hak seksualitas dan kesehatan reproduksi telah dirintis oleh Kementrian Pendidikan Nasional meresmikan Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi (Kespro) Remaja Tunarungu dan Tunanetra, sejak akhir tahun 2010.
Program edukasi bertajuk KESPRO ini adalah modul pendidikan kesehatan reproduksi interaktif dan berbasis teknologi informasi dan komputer yang ditunjukkan untuk siswa siswi Sekolah Menengah Pertama Sekolah Luar Biasa (SLB) A (Tunanetra) dan B (Tunarungu).
Hal ini berkaitan dengan pemerintah Indonesia yang berkomitmen dan mengikat diri dalam perjanjian internasional atas pengakuan hak anak, hak kesehatan reproduksi melalui ratifikasi Konvensi Hak Anak (Kepres Nomor 36 tahun 1990) serta Komitmen Internasional ICPD 1994 di Kairo
Media pembelajaran dikembangkan bagi program “MAJU dan LANGKAH PASTIKU” ialah modul cetak dan Braille, modul training untuk Guru dan Master trainer, boneka kesehatan reproduksi, celemek kesehatan reproduksi, kamus isyarat kesehatan reproduksi berbentuk CD film dan cetak
Program ini dimulai diberlakukan 1 September 2010, dan kita harapkan dapat menjangkau lebih banyak perempuan dan anak disable. Sehingga pengetahuan tentang hak seksual dan kesehatan reproduksi bagi disable dapat diterima dengan baik oleh para disable di Indonesia.
(* Penulis adalah penulis beberapa buah buku.
Daftar Pustaka:
http://difabelperempuan.blogspot.com
http://pikremajabrayatpesing.blogspot.com/2011/03/12-hak-kesehatan-reproduksi-icpd-cairo.html
http://sexuality.about.com/od/sex_and_disability/a/disability.html
http://bataviase.co.id
http://health.kompas.com/read/2010/09/29/12223542/Siswa.SLB.pun.Diberi.Pendidikan.Seks.
Semua orang punya hak sama, tak terkecuali perempuan disabel..
ReplyDelete