Oleh:
Titiana Adinda
Dalam tiga episodenya serial film televisi Dunia Tanpa Koma yang tayang pada stasiun RCTI tiap malam Minggu pukul 21.00 WIB bertema tentang wartawan dan kasus pemerkosaan.Serial film televisi ini menarik untuk disimak bukan saja karena dipenuhi oleh pemain bintang seperti Raya (Dian Sastrowardoyo),Bayu (Tora Sudiro), Seruni (Wulan Guritno), Markus (Indra Birowo),Retno (Cut Mini) dan masih banyak pemain bintang lainnya, tapi juga karena tema yang diangkat dan ide yang hendak ditawarkan.Tulisan ini mencoba melihat bagaimana peran dan perilaku wartawan dalam dunia nyata dan dalam Dunia Tanpa Koma.
Selama ini media massa banyak dikeluhkan oleh kelompok-kelompok perempuan sebagai salah satu pihak yang menjadikan perempuan korban pemerkosaan sebagai korban kembali, bahkan berkali-kali atau yang dalam banyak literatur disebut sebagai victimized the victim. Menjadikan korban pemerkosaan kembali menjadi korban terjadi.Seringkali kali juga si wartawan (termasuk polisi, jaksa dan hakim) lebih mengungkapkan seolah pemerkosaan itu adalah perbuatan erotis dan bahkan menyenangkan si korban.Jarang sekali media yang mengupas pemerkosaan dari sisi penderitaan lahir batin korban.
Dalam episode pertama dengan tema pemerkosaan.Persepsi bahwa korbanlah yang berperan besar dalam terjadinya pemerkosaan masih tampak dari diskusi di meja redaksi majalah Target. Markus, salah satu wartawan dalam Dunia Tanpa Koma itu bahkan dengan enteng menganggap bahwa dalam kasus pemerkosaan korbanlah yang “menantang”pelaku. “paling-paling dia ikut goyang” katanya. Ucapan yang membuat teman-teman perempuannya Raya dan Seruni murka.Sampai ia melihat sendiri bagaimana wartawan infotainment memperlakukan Monita ( Intan Nuraini ), korban pemerkosaan itu. Dia pulalah yang membantu memberikan jalan bagi mobil Monita untuk bisa keluar dari kerumunan wartawan infotainment yang menghadangnya. Sementara Dion (Christian Sugiono) sang pemerkosa, dengan leluasa menyusun skenario dan alibi bahkan berhasil membujuk pacarnya Indrani (Andhara Early) untuk menjadi saksi palsu (lagi-lagi perempuan menjadi musuh perempuan sendiri) meski dia dicekam keraguan yang amat sangat. .
Dalam Dunia Tanpa Koma, kritik terhadap media dilontarkan juga oleh Dinar (Paquita Wijaya) yang menjadi pendamping korban, selama ini media lebih sering “menyerang” korban, katanya.Untunglah Monita mengenal Dinar sebagai pendamping perempuan korban.Sehingga Monita langsung melapor kepada Dinar sesaat begitu pemerkosaan terjadi.
Yang lebih seru adalah perdebatan di meja rapat wartawan Target. Sony (Ari Sihasale), salah satu bos majalah Target ngotot dengan para redaktur majalah itu bahwa bahwa isu kenaikan bahan bakar minyak lebih penting sebagai isu publik dibandingkan satu orang perempuan yang diperkosa.Adanya hirarkhi issue seperti ini memang kerap menjadi perdebatan bahkan dikalangan aktivis HAM sendiri melawan para aktivis HAP (Hak Asasi Perempuan). Dalam suatu rapat untuk menulis topik-topik dalam laporan tahunan pelaksanaan HAM yang dikeluarkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia tiap tahun, belasan tahun lalu, para lelaki mengaggap bahwa kasus pemerkosaan bukanlah masalah hak asasi manusia sehingga tak layak untuk masuk dalam suatu laporan tahunan tentang HAM.Meski pada saat itu Kepala Kepolisian RI sudah mengumumkan bahwa di Indonesia setiap 5 jam terjadi satu kasus pemerkosaan. Hirarkhi ini disebabkan juga adanya hirarkhi dalam HAM yang menganggap bahwa hak sosial politik lebih tinggi dan penting dari hak sosial, ekonomi dan budaya : dunia politik/publik lebih berharga dari pada dunia privat/domestik yang banyak dihuni perempuan.
Dalam majalah Target, beruntung ada Retno dan Bayu yang sudah sadar gender dan berkeinginan membela korban. Kedua orang itulah yang akhirnya menerjunkan Markus untuk ikut bersama Raya memburu siapa sebenarnya pemerkosa Monita. Monita akhirnya berani menjelaskan peristiwa pemerkosaan itu kepada Raya dan Markus.Dia masih sangat trauma dengan pemerkosaan tersebut. Raya memeluknya penuh empati.Markus mulai mengerti mengapa teman perempuannya marah besar saat dia melecehkan korban.
Sebelumnya Raya memberikan cakram padat (CD) yang berisi lagu Melly Goslaw yang berjudul Diam bercerita tentang kekerasan terhadap perempuan.Lagu tersebutlah yang mendorong Monita untuk menceritakan pengalamannya pada Raya.Lagu yang membuat semua pendengarnya menjadi sangat miris bagai diiris-iris. Coba simak saja syair lagu tersebut:
Kau tunjuk mukaku, aku diam
Kau hina diriku, aku diam
Kau jambak rambutku, aku diam
Kau paksa ku berbuat, ku tak diam
Oh Sudah terlalu (dan seterusnya)
Akhirnya kasus pemerkosaan terhadap Monita ini berhasil juga menjadi cover story majalah Target.Hal ini digambarkan ketika Monita sedang merapikan pakaian-pakaiannya dalam kopernya,lalu tampaklah majalah Target dengan cover story peristiwa pemerkosaan terhadap Monita.
Yang barangkali kurang diangkat di serial film televisi ini adalah tidak digambarkan bagaimana reaksi masyarakat luas tentang kasus pemerkosaan ini padahal pelaku dan korbannya adalah artis ternama. Tapi serial film televisi ini berhasil menjadi semacam kritik kepada media massa yang amat jarang mengangkat peristiwa pemerkosaan dalam cover story mereka.
Bagaimanapun kita harus bangga dengan Leila S.Chudori yang telah lama kita kenal sebagai penulis cerpen dan novel yang sangat pro perempuan kalau tak ingin menyebutnya feminis. Kepeduliannya terhadap nasib perempuan dengan menampilkan gambaran bagaimana kehidupan wartawan dan isu kekerasan terhadap perempuan diangkat ke dalam skenario serial film televisi patutlah dipuji. Kerjasamanya dengan sutradara Maruli Ara yang sudah berhasil menyajikan tontonan yang bermutu ditengah-tengah berbanjirnya serial film televisi yang menjual mimpi kosong, melecehkan otak pemirsa, dengan hal-hal berbau mistik,takhayul atau menyontek produk dari luar negeri. Mengherankan juga karena meski iklannya sangat banyak sehingga mengganggu kenyamanan menontonnya, ternyata rating serial ini cukup rendah dibanding sinetron-sinetron pembodohan itu. Adakah yang salah dari penonton kita ?
Catatan:Aku mengucapkan terima kasih yang banyak kepada mbak Nursyahbani Katjasungkana,SH (aktivis perempuan dan anggota DPR RI komisi III,dari FKB)yang sudah "Menstrukturkan" dan mengedit tulisan ini,sehingga layak dimuat di Koran Tempo.
Komentar yang aku dapat dari Forum-Pembaca-Kompas dan ke emailku:
ReplyDelete1.Dari Mas Veven Wardhana:
Menanggapi perspektip seseorang tanpa samasekali melihat sendiri yang diperspektifkan memang kerap bikin terpeleset.
1. akhir kisah perkosaan bukan sebatas jadi cover story majalah. sisi majalah justru untuk mengiritik media di indonesia. dan sinetron ini mengena sasaran, termasuk bagaimana kritik setengah terselubungnya terhadap infotainmen yang miskin nurani.
2. akhir kisah dalam sinetron juga memaparkan: pemerkosa yang pandai berkelit [dengan bantuan pengacara perempuan!], juga dicokok polisi. [yang memang tak ada dalam sinetron: polisi yang malah meleceh korban perkosaan sebagaimana ada dalam realitas nyata].
selamat untuk titi dinda.
salam untuk sdr. sulaeman,
veven
2.Dari Sulaeman Herisuwendi:
Saya tidak pernah menonton drama TV ini, namun berdasarkan tulisan Titiana
Adinda ada beberapa hal yang mungkin bisa dipertajam untuk cerita yang lebih
fokus dan menyengat:
(1). Dari segi tema, cerita ini cukup bagus karena mencoba menarik
kepedulian dan kesadaran pemirsa akan bahaya tindak perkosaan yang sudah
sangat menghawatirkan di negeri ini yang memang anehnya luput dari perhatian
semua pihak untuk menanganinya secara tegas dan serius. Namun sangatlah
disayangkan bahwa klimaks dari cerita ini hanyalah berujung pada dimuatnya
peristiwa perkosaan menjadi covernya majalah Target. Meskipun itu sah-sah
saja dikarang sebagai kemerdekaan bercerita, tapi rasanya klimaks macam
itu kurang tandes dan kurang menyengat. Apakah si korban perkosaan yang
diangkat dalam cerita ini adalah seorang artis yang mencari popularitas
dengan memburu sensasi di cover majalah? Tentu tidak. Jadi ramuan diujung
cerita masih bisa diperbaiki.
(2) Masalah yang dituntut para korban perkosaan lebih kepada masalah mencari
keadialan hukum, bukan memperkarakan apakan ceritanya harus diangkat sebagai
berita utama atau sekedar berita di halaman pinggiran. Kalau seseorang
diperkosa di Jakarta kebetulan bertepatan dengan kejadian bencana alam
Tsunami di Aceh, maka tak ada advantage sama sekali untuk menopang bobot
cerita bila mulai mengkonfrontasikan peristiwa tsunami dengan perkosaan
seorang artis dalam konteks penentuan topik berita utama untuk sebuah
majalah. Dalam tahapan sedang membangun simpati pemirsa untuk mencoba
berpihak membela korban perkosaan (paling tidak menurunkan paradigma
victimized the victim) maka lebih aman untuk tidak mengedepankan polemik.
SH
Dari:Sebikom Comic
Yup, memang ada yang salah dengan penonton kita, tapi yang
lebih salah menurut saya emang policy makernya....
btw, makin produktif aja nih, selamat yaa. Saya juga mau
ikutan produktif ah.
Ajarin saya bikin blog dong
Dari :Pak Putu Oka Sukanta
Selamat dan terus menulis ya.
putu oka
Dari Pak Menristek (Pak Kusmayanto Kadiman)
Selamat Dinda.
Salam,
KK
Dinda,
ReplyDeletekeep on writing yah!
Dari : Pak Sulaeman Herisuwendi
ReplyDeleteMemang seperti ditulis diawal komentar saya bahwa tanggapan saya hanya berdasarkan ulasan Sdri Adinda, karena posisi saya secara geografi tidak memungkinkan menagkap TV dari tanah air. Setuju memang kritikan terhadap media massa adalah sentral dari pesan cerita ini. Terima-kasih klarifikasinya.
Sebenarnya dasar ulasan saya bersumber pada kalimat ini:
"Tapi serial film televisi ini berhasil menjadi semacam kritik kepada media massa yang amat jarang mengangkat peristiwa pemerkosaan dalam cover story mereka. "
Tentu kalimat diatas bisa punya tafsiran bercabang bagi yang baca, misalnya seolah tersirat kesan bahwa para simpatisan tokoh Monita sudah lama mengidam-idamkan berita perkosaan bisa menjadi sesuatu yang layak dihargai jadi cover story atau berita utama. Siratan rasa ini ditopang juga oleh paparan-paparan cerita di alinea lainnya. Saya pun yakin pasti ini hanya keterkecohan akibat kekurang-pasan penulis merangkai kalimat, sesuatu yang lumrah terjadi tanpa harus takut kehilangan bobot. Toh pesan cerita
keseluruhan masih tetap nampak yaitu kritikan terhadap sikap media massa.
Kritik ini berhasil ditunjukkan dalam cerita dengan memunculkan sikap respek team redaksi Target terhadap si korban serta sudi membantunya termasuk memuat beritanya secara pas (bukan malah "to victimize the victim").
Isu cover story sendiri saya yakin sebetulnya (dan seharusnyalah) hanya bagian dari kosmetik cerita ini, sekedar bumbu untuk mem-"boost up" ilustrasi perubahan sikap redaksi Target dengan maksud agar ending dari cerita jadi lebih bagus. Tapi jangan dibalik itu jadi pengharusan.
Terlepas dari semua itu, secara keseluruhan saya masih menilai drama seri ini tentunya tetap menarik ditonton karena temanya yang relevant dibahas.
SH
Dari Mbak Dian Kartika Sari:
ReplyDeleteDinda,
Tulisan mu bagus.
Jangan berhenti menulis, ya
karena tulisan akan mengabadikan pikiran.
salut deh
salam
dian
======
Ujang:
ReplyDeleteTulisanmu bagus banget.Analisamu juga setajam dulu.Aku aja yang nonton DTK tidak setajam kamu melihatnya.Mungkin karena yang main Dian Sastro kali ya.He..He..Aku ngefans sama dia.Terus menulis ya.Asyik baca tulisanmu...
Wassalam,
Ujang
Tau nggak Din..., selama ini aku nggak pernah ngikutin sinetron di TV... jangankan ngikutin.. nonton 1 episode sinetron sampai habis aja nggak pernah. Tapi DTK ini lain dari yang lain... serial ini malah aku tunggu2 selalu. Cerita, alur, penokohan, musik.. semuanya menarik -- Bravo buat Leila Chudori!
ReplyDeleteBuat aku, film ini menarik bukan cuma isu perkosaannya saja, tapi karena mengangkat realitas hidup yang kadang absurd, tidak hitam-putih... banyak daerah abu-abu, banyak pilihan-pilihan yang tidak mudah diukur dengan salah atau benar. Soal Cinta Raya yang mendua pada Bram dan Bayu, misalnya... atau soal Marita yang memilih jadi perempuan simpanan meski dia punya kans besar jadi penyanyi tenar, atau pilihan Bayu untuk pindah ke Aceh... dan tentu saja soal kekerasan baik yang dilakukan laki-laki atau perempuan.
Sayang serial ini sudah selesai... meski dengan ending yang tidak selesai... yah begitulah hidup ;)
Hi Dinda,
ReplyDelete(can I call you that way?)
Gue baru aja dapat alamat blog elo (http://titiana-adinda.blogspot.com/) dari milis cosmo; artikel2 yg menarik -- love the way you wrote! Terutama yg gue suka adalah review elo ttg "DTK". Gue langganan Tempo, dan gue ingat baca & terkagum2 dg review lo di sana. Can you imagine how excited I am, to (finally) able to directly read your writings? *grin
Barusan gue tambahkan alamat blog elo ke dalam dokumentasi "my favourites", biar bisa gue buka2 lagi, hehe.. And in the mean time, you just keep on writing!