Saturday, September 19, 2015

Jadi Istri Kedua, Hinakah?

http://tabloidnova.com/Keluarga/Pasangan/Jadi-Istri-Kedua-Hinakah?fb_action_ids=10203671931318136&fb_action_types=og.comments

Ibu Rieny yth,
Saya wanita (23 tahun) anak bungsu dari lima bersaudara. Dua tahun ini saya menjalin hubungan dengan seorang pria (X), yang berusia 10 tahun lebih tua. X sangat dewasa dan banyak membimbing saya, semisal untuk urusan salat. Dia pula yang membantu memenuhi kebutuhan saya sehari-hari. Maklumlah Bu, saya pengangguran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya membantu orangtua yang membuka usaha di rumah.

X adalah seorang pengusaha yang hidup mapan dan berkecukupan. Hubungan dia dengan keluarga saya sangat akrab begitu juga dengan lingkungan sekitar saya. X supel dan royal. Dia tidak segan-segan memberikan sesuatu kepada orang lain. Hampir setiap hari saya bertemu dengannya, karena kebetulan ia harus lewat di depan rumah saya untuk menuju tempat kerjanya.

Masalahnya Bu, X sudah memiliki istri dan 4 orang anak. Hal itu sudah saya ketahui sejak awal, begitu juga kepada keluarga saya dia berkata terus terang telah memiliki anak dan istri. Dia tidak pernah menutupi statusnya kepada orang lain (bukankah itu lebih baik daripada saya mengetahuinya belakangan Bu?) Tapi, Bu, saya sepertinya terlena dengan semua ini. Saya juga mencintai dan menyayangi X terlebih lagi dia selalu menuruti apa yang saya inginkan.

Setahun yang lalu X mengundang, keluarga dan tetangga dekat saya ke rumahnya untuk menghadiri selamatan. Di sana saya bertemu dengan istri dan anaknya. Anak pertama X sudah mengetahui perihal hubungan saya dengan X dan dia tidak mempermasalahkan itu asalkan X tidak meninggalkan keluarganya. Sementara istri X samasekali tidak mengetahui (istri X tidak pernah bepergain jauh karena jarak rumah X dengan kota tempat tinggal saya lumayan jauh).

X sangat mencintai dan menyayangi saya lebih daripada istrinya, terbukti dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama saya. X telah memiliki rumah di kota tempat tinggal saya dan itu akan menjadi hak saya nanti jika menikah dengan dia (surat-surat rumah ada pada saya).

Sekarang ini X mengajak saya untuk serius dan menikah. Bagaimana ini Bu? Apa yang harus saya lakukan? Orangtua dan kakak-kakak saya menyerahkan semua ini kepada saya, karena toh saya yang akan menjalaninya. Bila saya mau, maka kedua orangtua saya pun akan merestuinya, walaupun saya tahu hati kecil mereka, terutama ibu saya, sangat berat menghadapi ini. Bila saya mengambil keputusan "ya" berarti saya akan menjadi "istri kedua" apakah itu hina bu? Dan bagaimana menghadapi tanggapan orang-orang nantinya Bu ? Apakah saya akan bahagia bersama X ?

Sebenarnya saya ingin lari dari semua ini, tetapi saya ingat bahwa mungkin ini adalah suratan nasib saya. X pernah berkata jika saya mengatakan "tidak" dia tidak akan marah dan akan tetap baik kepada saya. Tapi saya sudah terlanjur sayang dan kasihan terhadap X.
Bu Rieny, bantu saya untuk menghadapi semua ini, apa yang harus saya lakukan? Saya tidak ingin dikatakan merebut suami orang dan perusak rumah tangga orang Bu. Terima kasih.
Tati - Somewhere 
Tati yth,
Tentu saja Anda akan diakatakan merebut suami orang bila kelak memang jadi menikah dengan X. Dan, Anda juga akan menjadi perusak rumah tangga orang manakala Nyonya X kemudian tahu mengenai perkawinan Anda dengan X dan itu membuat hubungannya dengan X lalu memburuk, atau malah berpisah sekalian.

Jika kejadiannya seperti itu, maka bukan hanya Nyonya X yang butuh penyesuaian baru dengan status barunya, entah janda atau perempuan yang dimadu, tetapi juga dengan anak-anaknya. Anak-anak X akan butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan bahwa kini mereka harus berbagi ayah dengan orang lain yang masuk ke dalam hidup mereka, tanpa mereka undang, apalagi mereka harapkan.

Ketika saya masih duduk di bangku SMP, jadi sudah hampir 30 tahun yang lalu, ada seorang teman tante saya yang cantik, langsing, bajunya bagus-bagus karena suaminya direktur dari sebuah bank swasta terbesar saat itu. Mereka berdua sering pergi makan malam dan berdansa dengan tante dan Om saya. Pada saat itu, melihat kehidupan mereka yang riang gembira, saya kerap berpikir, "Wah, enak, ya, jadi istri direktur bank, happy-happy terus."

Sampai pada suatu hari saya kehilangan tante tadi dan saya dengar ia sakit keras, dirawat di RS. Ketika kemudian saya melihatnya lagi, ia sudah kehilangan daya tariknya. Kurus, mukanya murung, dan kalau bertemu tante dan ibu saya ia sering terlihat menangis. Belakangan saya ketahui, si Om rupanya terpikat pada seorang gadis dan menikahinya sehingga istri dan anak-anaknya shock dan tidak bisa menerima kenyataan itu.

Tante ini tak bercerai karena suaminya memang tak berniat untuk menceraikannya. Sejalan dengan berlalunya waktu, ia tak pernah seceria dahulu. Sampai pada suatu hari, saya 'menguping' ketika ia bercerita pada tante saya bahwa ia merasa menemukan dirinya kembali, harga dirinya lagi dan ingin happy-happy seperti dulu lagi. Karena apa? Rupanya suaminya memiliki istri lagi, yang lebih muda dari anak pertama mereka.

Saya ingat benar apa yang dikatakannya. Begini Tati: "Selama dimadu, aku berpikir aku ini kalah lo sebagai perempuan. Dia muda, cantik, seksi dan, binal. Aku tidak bisa bergaya 'nakal ' seperti itu, dan karenanya aku tertekan sekali.Tetapi, ketika Mas kawin lagi, aku kok bisa mengubah semua cara pandang diriku yang buruk itu ya? Aku jadi sadar bahwa memang ia hobi kawin, jadi aku dimadu bukan karena aku lebih jelek dan lebih tua"

Bahkan dengan 'madu'nya yang ini, ia bisa tidak bermusuhan, sehingga si nomor 2 akhirnya tersisih dari 'peredaran' dan sampai meninggalnya, si Om ini punya 3 istri, karena kemudian ia menikah lagi untuk keempat kalinya.

Yang mau saya sampaikan pada Tati, bila X dengan mudah mengawini Anda, ada baiknya Anda memikirkan pula apa yang akan Anda rasakan bila kemudian X punya lagi istri ketiga dan keempat? Tidak mungkin? Sangat mungkin, dong! Uangnya banyak, statusnya terpandang, dan perempuan yang berpikiran seperti Anda juga tidak cuma Tati seorang. Jadi, tinggal menunggu waktu saja, bilamana perkawinan kedua akan disusul oleh yang berikutnya. Bukankah manusia cenderung mengulangi perilaku yang mendatangkan perasaan nyaman pada dirinya? Kalau menikah kembali ternyata menyenangkan untuk X, why not ia lakukan dan lakukan lagi?

Pembicaraan tentang istri kedua, hemat saya tak bisa diletakkan dalam kerangka hina atau tidak hina. Siapalah saya ini kok boleh mengatakan bahwa Anda hina karena menikah dengan suami orang. Bukankah Anda orang yang 'merdeka' berkehendak dan membuat keputusan untuk diri Anda?

Saya cuma bisa menyarankan agar Anda berpikir masak-masak mempertimbangkan apakah 'ongkos sosial' yang harus Anda bayar memang sesuai dengan pemilikan rumah, belanja dan hidup berkecukupan yang tampaknya Anda harapkan akan Anda peroleh dengan menikah dengan X.

Yang saya maksud dengan 'ongkos sosial' adalah label yang melekat sebagai istri muda. Dalam status dalam kehidupan sosial X, apakah Anda berpeluang untuk mendampinginya pada acara-acara dimana X harus hadir bersama istri? Bepergian bersama dan bersikap seperti suami-istri di hadapan khalayak ramai. Hal-hal ini biasanya akan sukar diperoleh oleh seorang istri kedua.

Jadi, kalau Anda katakan suratan nasib, saya kok ingin 'tersenyum kecut' ya, Tati, karena sepanjang kita masih bisa membuat keputusan yang mandiri untuk hidup ini, maka kita seyogianya berpikir dan berpikir ulang, tentang manfaat jangka panjang dari keputusan yang kita ambil dalam hidup kita. Dan, membuat keputusan untuk menikah, hemat saya adalah salah satu keputusan terpenting yang dibuat seseorang dalam kehidupannya.

Karenanya, sebelum Anda melangkah pada sebuah kepastian, boleh deh Anda menanyakan beberapa pertanyaan ini pada diri sendiri, dan menajwabnya dengan jujur. Atas dasar profil jawaban Anda, mudah-mudahan Anda bisa memperoleh sebuah gambaran, apakah memang kawin adalah jawaban yang tepat untuk Anda saat ini.

Pertama, sebutkan alasan baik yang membuat Anda ingin menikah. Artinya, ketika Anda benar menikah, ayah dan ibu memang senang dan setuju (bukan terpaksa setuju), kakak-kakak tak malu atau sungkan menghadapi lingkungan dan tak perlu menyembunyikan status Anda, dan alasan itu disebut baik bila di saat Anda merasa senang dan bahagia, ini tidak Anda lakukan di atas ketidak bahagiaan orang lain.

Lalu, apakah dengan menjadi istri kedua ini ada tujuan hidup Anda yang lalu terhambat untuk Anda realisasikan? Misalnya, Anda ingin kawin, melahirkan dan membesarkan anak dengan status sosial yang jelas. Apakah Anda punya tujuan bahwa melalui perkawinan Anda ingin lebih tenteram dan bahagia? Lalu, kalau menjadi istri kedua, apalagi tanpa persetujuan istri pertama, apa benar Anda akan lebih tenang dan tenteram dibandingkan ketika Anda belum menikah?

Yang terakhir, menilik perilaku X yang dengan tenang bisa menghadirkan Anda di rumah dimana istrinya berada, dapatkan Anda harapkan bahwa ia akan menjadi suamiyang pandai menjaga perasaan istrinya, membuat istrinya merasa aman dan terlindungi dan dikasihi secara total?

Sungguh, saya tak ingin memengaruhi apapun yang akan Anda putuskan, Jeng Tati. Hanya saja, saya ingin sekali ingatkan, perempuan selalu berada dipihak yang rugi dalam kasus-kasus seperti ini.Tidak terlalu tepat kalau dikatakan bahwa istri kedua pasti dapat lebih banyak (waktu bersama suami, uang dan pengakuan sebagai istri). Yang lebih sering saya temui, mereka lebih banyak harus hidup dalam bayang-bayang sang suami saja. Kalau sudah begini, meskipun punya rumah di atas pucuk gunung, saya yakin tak otomatis merupakan jaminan bahwa kita akan bahagia.

Kebahagiaan yang sebenarnya hanya akan bisa kita peroleh manakala kita menjalani hidup dengan perasaan nyaman karena yakin benar bahwa kita sudah membuat keputusan yang tepat dalam hidup. Mudah-mudahan Anda kini bisa lebih bijaksana dan berpikir panjang sebelum memuat keputusan. Salam sayang. 

Tuesday, September 1, 2015

Jangan Jadi Pelaku Kekerasan Verbal di Kantor


Verbal abuse atau kekerasan verbal memang merupakan bentuk kekerasan tersembunyi. Di tempat kerja, pelaku abuse atau abuserkerap tidak menyadari bahwa perilaku dan ucapannya melukai perasaan orang lain. Orang yang menjadi sasaran pun kerap tidak menyadarai bahwa dia adalah korban.

"Pelaku verbal abuse biasanya memiliki karakter narsistis, merasa diri paling hebat," ujar dr. Anggia Hapsari, Sp.K.J. Ciri lain adalah reaktif atau bereaksi berlebihan, manipulatif, takut salah, oportunis, dan kesepian, sehingga senang mencari-cari masalah. Itu sebabnya kata-kata yang kerap dia ucapkan sebenarnya menggambarkan karakteristiknya sendiri.

Adalah Alice Carleton yang berupaya mencari jawaban tentang penyebab penyakitnya selama ini. Pencariannya selama 15 tahun membuahkan hasil. Ia mempresentasikan makalahnya yang berjudulSociety Hidden Pandemic: Verbal Abuse, Precursor to Physical Violence atas undangan Michigan Counseling Association. Alice mengungkap bahwa verbal abuse bisa meningkatkan kadar kolesterol. "Setiap kali kita mengalami stres, hormon kortisol dilepas ke dalam sistem peredaran darah. Kortisol ini merusak sistem kekebalan tubuh dan mengganggu kerja insulin serta meningkatkan kadar kolesterol darah," papar Alice.

Dijelaskan lebih lanjut, gejala awal dari dampak verbal abuse adalah gangguan tidur, tersedak tanpa sebab, sariawan berkepanjangan, gatal-gatal, gelisah di kantor, atau tidak dapat duduk diam. Mendengar suara detak sepatu 'sang monster' dari kejauhan saja, korban langsung kehilangan rasa percaya diri. Reaksi lainnya, korban menarik diri, depresi, dan sering berbohong supaya tidak dimarahi. Korban mengalami lack of trust sehingga merasa harus melindungi diri dengan cara berbohong.

"Efek dari stres adalah, kalau karyawan itu masih muda, usia 20-an, mereka akan mengalami gagap. Disuruh apa pun jadi lambat. Melambatnya proses berpikir akan berdampak pada gerakannya yang serba lambat pula. Adapun penyakit yang paling lazim adalah sakit lambung, migrain, gatal-gatal pada kulit, dan tension headache atau sakit di leher bagian belakang," papar dr. Anggia.

Sadari segera jika Anda sering berteriak, mencibir, mengungkap kesalahan staf di hadapan orang lain, mengkritik penampilan atau hasil kerja staf Anda dengan pedas. Atau, Anda sering melakukan ini: mengajak staf Anda berbicara, kemudian meninggalkannya selagi ia berbicara. Sadari pula jika Anda kerap mendapati staf Anda sering sakit -terutama cenderung menghindari masalah daripada mencari pemecahannya.

"Pelaku verbal abuse biasanya punya kesulitan mengelola kemarahannya," kata Anggia. Program pengelolaan emosi atau anger management dapat diikuti untuk menurunkan kecenderungannya.



Immanuella F. Rachmani
Konsultan: dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ - RS Siloam, Jakarta