Friday, December 19, 2014

Tipe Orang yang Tak Boleh Anda Jadikan Kekasih



VIVALIFE
Apa saja sih, ciri-ciri orang yang tak boleh kita jadikan pasangan?
Jum'at, 19 Desember 2014
Oleh : Ricky Anderson, Dhea Amanda Rustam


VIVAlife - Memiliki perasaan suka pada seseorang adalah hal manusiawi. Namun jika perasaan suka itu jatuh kepada orang yang tidak tepat, apa yang harus dilakukan?
Sebelum memilih kepada siapa Anda akan menjatuhkan rasa, simak informasi berikut, mengenai tanda-tanda orang yang tak boleh disukai, apalagi dijadikan pasangan, menurut laman Eharmony.

Sudah berpasangan

Hal ini yang jangan sampai dilupakan. Jika Anda memiliki perasaan pada seseorang yang sudah berpasangan, ada baiknya perasaan itu dihentikan. Jangan sampai perasaan suka yang tadinya baik, berubah menjadi buruk karena mengorbankan perasaan orang lain.

Gila kerja

Seseorang yang gila kerja pasti akan menempatkan pekerjaan dan segala kesibukannya di urutan pertama. Jika Anda menyimpan perasaan padanya, apakah sanggup jika nantinya harus menjadi nomor dua? Jadi pikirkan lagi baik-baik.

Suka pacaran jarak jauh

Tipe orang yang menyukai berhubungan secara Long Distance Relationship, biasanya tidak bisa menjaga komitmen dalam berhubungan. Karena dalam berhubungan dibutuhkan intensitas bertemu, tidak hanya dengan Anda, tapi juga dengan teman dan keluarga Anda.

Kasar dan pemarah

Jika Anda memiliki rasa suka dengan orang yang mempunyai sifat keras dan kasar, maka Anda sebaiknya berpikir ulang. Karena berhubungan bukan hanya menyangkut masalah perasaan, tapi juga kenyamanan dan keamanan bersama dengan orang yang kita sayang.

Perayu

Tipikal orang seperti ini jelas tidak bisa dijadikan pasangan. Karena ia bisa dengan mudah menebar rayuan gombalnya kepada orang lain, yang nantinya hanya akan menyakiti perasaan dan membuang waktu berharga Anda.

Thursday, September 18, 2014

Effects of Domestic Violence, Domestic Abuse (On women and Children) - HealthyPlace

Effects of Domestic Violence, Domestic Abuse (On women and Children) - HealthyPlace



The long-term effects of domestic violence are far reaching and often devastating for victims – most often women and children. Women and children, who live in an environment where domestic violence commonly occurs, face increased risks because of the tumultuous atmosphere in their lives. Women may develop an impaired ability to nurture their children and contribute to their positive development. Children, whether victims themselves or just witnesses, may withdraw from their parental relationship, suffer seriously delayed or distorted development, and emotional problems.

Effects of Domestic Violence on Women

Effects of domestic violence on women and children are far reaching. Learn about the effects of domestic abuse on domestic violence survivors.The effects of domestic violence on women go beyond the immediate physical injuries they suffer at the hands of their abusers. Frequently, domestic violence survivors suffer from an array of psychosomatic illnesses, eating disorders, insomnia, gastrointestinal disturbances, generalized chronic pain, and devastating mental health problems like post-traumatic stress disorder (PTSD).
Many abused women find it difficult to function in their daily lives because of the effects of domestic violence. Absences from work, due to injuries or visits to the doctor, often cause them to lose their jobs, making them less able to leave their abusive situations. They may feel ashamed that their partners abuse them, see themselves as unworthy of love, and suffer from a significantly diminished self-perception. Because of their feelings of low self-worth, these women become isolated from friends and family and do not participate in social activities common to others in their demographic.

Domestic Violence and Children

When most people hear or see the phrase, domestic violence and children, they see images of bruised, beaten, burned children in their mind's eye. Certainly, these physical injuries represent immediately visible effects of domestic abuse. But children who only witness domestic violence suffer consequences just as far reaching and devastating as those seen in physically battered children. Studies indicate that children from violent homes, who witness the abuse of their mothers at the hands of their fathers, experience mental health issues similar in intensityand magnitude to those experienced by physically battered children. Similar research shows children, who both witness their fathers abusing their mothers and are themselves battered, suffer the most profound behavioral and emotional distress. Children who grow up in violent households may exhibit a host of adverse behaviors and emotions, including:
  • Become violent themselves in response to threats (in school or at home)
  • Attempt suicide
  • Use drugs and abuse alcohol
  • Develop eating disorders
  • Abuse themselves (i.e. cutting)
  • Anxiety and depression
  • Poor social skills
  • Enter into an abusive relationship later on

Suggestions for Domestic Violence Survivors
Domestic violence survivors need to seek help in coping with the effects of domestic abuse, even if they've left the abuser. Whether it's been days or years since the domestic violence last occurred, domestic abuse survivors can look to their communities for help:
  • Contact a local domestic violence support group
  • Make an appointment with a therapist who specializes in treating domestic violence survivors
  • Create a comprehensive domestic violence safety plan with the help of a victim assistance professional. The plan will include a strategy for getting yourself (and children, if any) to safety during a violent episode as well as a checklist of items to pack when leaving the abusive situation.
  • Consider your legal options. Domestic violence is a crime in all 50 states (Domestic Violence Laws). Your local domestic violence shelter can provide you with information and counseling about your legal rights.
The domestic violence programs in your community will help you whether you choose to stay with the domestic abuser, leave him, or return to him later. Don't delay in getting help for yourself and for your children (if you have any). Once you've gotten assistance and received counseling, you'll feel more equipped to make wise decisions for yourself and your future.

Sunday, August 31, 2014

Website tentang sexual health

Website tentang sexual health bisa diklik di : http://www.iwannaknow.org/teens/index.html


Thursday, July 31, 2014

Sekilas TENTANG UNDANG - UNDANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm

Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang Undang ini.
1. Apa sih Kekerasan dalam Rumah Tangga itu?

Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

2. Siapa saja yang termasuk lingkup rumah tangga?

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

3. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga

4. Apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik?

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

5. Apa yang dimaksud dengan kekerasan psikis?

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)

6. Apa yang dimaksud kekerasan seksual?

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

7. Apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga?
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).

8. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai hak-hak korban?

Tentu. Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39):
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.

9. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah?
Ya. Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus (pasal 12):
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.

Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban;
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

10. Bagaimana dengan kewajiban masyarakat?
Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk (pasal 15):
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27).

11. Bagaimana dengan ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku?
Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.

Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”

Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”

12. Bagaimana mengenai pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55).
Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
INGAT!!!
Disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bukan berarti perjuangan terhenti. Ini justru merupakan titik awal perjuangan yang sebenarnya. Pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melaksanakan Undang-Undang ini tetap harus kita lakukan. Demikian pula sosialiasi kepada masyarakat luas mengenai maksud dan tujuan UU ini, harus terus menerus diupayakan.

Wednesday, May 28, 2014

Talak

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt533782f670787/talak-menurut-hukum-islam-atau-hukum-negara,-mana-yang-berlaku?

Pertanyaan:
Talak Menurut Hukum Islam atau Hukum Negara, Mana yang Berlaku?
Talak menurut Islam sah apabila suami mengucapkan kata-kata talak. Namun menurut UU Perkawinan sahnya talak hanya di depan sidang. Nah kita sebagai umat Islam tentunya harus patuh terhadap hukum Islam, namun di satu sisi kita juga berada dalam Negara Republik Indonesia. Yang saya tanyakan, hukum manakah yang seharusnya kita ambil sebagai pedoman terkait dengan permasalahan talak di atas?
FARIDA HIDAYATI
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5165540a9b53c/lt51655436e57b1.jpg
 Terima kasih atas pertanyaan Anda.
 
Anda benar bahwa umat Islam tentu harus patuh terhadap atutan-aturan dalam hukum Islam, termasuk dalam hal talak. Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam(“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
 
Berkaitan dengan hal yang Anda katakan mengenai sahnya suatu talak hanya di muka pengadilan, perlu kami luruskan di sini bahwa hal itu bukan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melainkan diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) yang mengatakan bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
 
Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
 
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepadaPengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
 
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di muka Pengadilan Agama.
 
Lalu bagaimana talak dalam hukum Islam itu? Sayuti Thalibdalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 100) mengatakan bahwaseorang suami diakui menurut hukum, berdasar beberapa hal tertentu berwenang menjatuhkan talak kepada istrinya. Asal hukum talak itu adalah haram. Kemudian, karena ‘illahnya maka hukum talak itu menjadi halal, atau mubah atau kebolehan.
 
Jika talak diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurutNasrullah Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia. Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.
 
Dari sini jelas kiranya bahwa umat Islam tunduk pada pengaturan dalam hukum Islam perihal talak, yang mana hukum tersebut juga diatur dalam KHI. Lalu, bagaimana kedudukan hukum Islam (KHI) terhadap hukum negara (hukum positif) dalam hal talak itu? Menjawab pertanyaan Anda, dari sini kita bisa ketahui bahwa talak yang diatur dalam KHI itu bersumber dari hukum Islam dan pemberlakuan KHI itu sendiri itu ditegaskan berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI (“Inpres 1/1991”).
 
Masih berkaitan dengan ini, dalam bagian konsiderans Inpres 1/1991 disebutkan bahwa para Alim Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan sehingga dibuatlah suatu Kompilasi Hukum Islam. Kemudian, KHI tersebut oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidangperkawinan, kewarisan, maupun perwakafan.
 
Oleh karena itu, menurut hemat kami, pengaturan dalam hukum Islam sudah sejalan dengan pengaturan dalam hukum positif yang mengatur mengenai talak, yakni pengaturan dalam KHI. Hal ini disebabkan karena KHI itu bersumber dari hukum Islam. Hanya saja, tidak adanya legalitas berupa bukti perceraian (dengan tidak dijatuhkannya talak di muka pengadilan) memang akan berdampak pada permasalahan status perkawinan dan masalah-masalah hukum lain yang mungkin timbul sehingga umat Islam juga perlu tunduk pada hukum negara, yakni hukum positif.
 
Sebagai referensi, Anda juga dapat membaca penjelasan mengenai hal ini dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
 
Referensi:
Sayuti Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. UI-Press: Jakarta.
 

Wednesday, April 30, 2014

HAK NAFKAH BAGI ISTRI dan ANAK



http://www.lbh-apik.or.id/fact%20-%20nafkah%20istri%20dan%20anak.htm


HAK NAFKAH
BAGI ISTRI dan ANAK


Masalah suami yang tidak mau memberikan nafkah pada keluarga banyak terjadi di sebagian masyarakat kita. Bagi istri atau ibu yang tidak mempunyai penghasilan, hal ini tentu sangat memberatkan karena harus menanggung biaya perawatan dan pendidikan anak-anaknya.

Secara normatif, hukum di Indonesia, —khususnya mengenai hak nafkah bagi istri dan anak, baik dalam masa perkawinan maupun setelah perceraian—, dapat dikatakan sudah cukup melindungi kepentingan perempuan. Pasal 34 ayat 1 UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa: Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya. Ini berarti bahwa suami berkewajiban penuh memberikan nafkah bagi keluarganya (anak dan istri).

Ketentuan ini merupakan konsekwensi dari ketentuan yang menetapkan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumahtangga serta pengurus rumahtangga sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 31 ayat 3. Sebenarnya, bila kita tilik lebih jauh, pembagian peran seperti ini akan menimbulkan ketergantungan secara ekonomi bagi pihak perempuan (istri). Akibat lebih jauhnya, perempuan (istri) tidak memiliki "akses ekonomi" yang sama dengan suami dimana istri tidak memiliki kekuatan untuk memaksa suami memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya. Sehingga seringkali suami memberi nafkah sesuka hatinya saja.



1. NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM MASA PERKAWINAN

Menurut ketentuan pasal 34 ayat 1 UU Perkawinan, baik nafkah istri maupun anak, adalah menjadi tanggung jawab suami atau ayah anak-anak. Tetapi dari beberapa kasus yang ditangani LBH APIK, istri yang diberi tanggungjawab mengatur semua kebutuhan keluarga terkadang sangat sulit mendapatkan hak nafkah dari suaminya, baik karena kemiskinan mereka maupun karena sikap suami yang menjadikan nafkah sebagai alat untuk menegaskan kekuasaannya sebagai suami. Akibatnya, banyak kaum isteri terpaksa dihadapkan pada suatu situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya khususnya bagi mereka yang tidak pernah bekerja. Pada situasi dimana suami meninggalkan keluarga begitu saja tanpa ada kabar berita, situasinya semakin sulit karena disamping tidak ada kejelasan tentang status perkawinannya, suami tidak dapat lagi ditemui atau dilacak tempat tinggalnya.


2. BAGAIMANA BILA INI TERJADI PADA ANDA?

Sayangnya tidak ada sebuah institusi sosialpun yang dapat menolong keadaan ini. Biasanya para istri minta bantuan keluarga -- baik keluarga suami maupun keluarga istri sendiri -- namun tentu saja hal ini tidak dapat diandalkan sebagai sebuah penyelesaian yang tuntas atas masalah ini. Namun demikian anda dapat menempuh cara-cara berikut ini:

a. Meminta bantuan Badan Penasihat Perselisihan Perkawinan

Meski seringkali tidak memuaskan karena cenderung memberikan nasihat yang bias gender dan tidak memiliki daya implementasi dan pemberian sanksi apa-apa kecuali memberi nasihat, namun badan inilah yang secara resmi bertanggungjawab untuk masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan.

b. Meminta bantuan kepada instansi tempat suami bekerja

Cara ini bisa Anda lakukan dengan membuat surat permohonan yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan/instansi tempat suami Anda bekerja. Sebutkan juga, sudah berapa lama suami Anda tidak memberikan nafkah kepada keluarga, sementara Anda sendiri tidak bekerja atau anda bekerja tapi tidak dapat mencukupi kebutuhan pendidikan dan penghidupan anak-anak termasuk perawatan kesehatannya.

c. Melakukan Upaya Hukum

Jika jalan musyawarah seperti diatas tidak membawa hasil, Anda dapat melakukan upaya hukum baik ke Pengadilan Negeri (bagi yang non muslim) maupun ke Pengadilan Agama (bagi yang muslim). Pasal 34 ayat 3 UU Perkawinan menyatakan bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Selain itu Anda juga dapat mengadukan secara pidana berdasarkan ketentuan pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengancam hukuman maksimal dua tahun delapan bulan bagi pihak yang sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Untuk mengurus proses ini Anda bisa meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum atau pengacara terdekat.


3. HAK NAFKAH DALAM MASA PASCA PERCERAIAN

Pasal 41 UU Perkawinan menentukan bahwa akibat putusnya perkawinan suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Ketentuan ini juga dipertegas oleh pasal 105 (c) Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian pasal 41 (b) UU Perkawinan juga menyatakan bahwa bila Bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Prinsip ini diperkuat oleh Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak pasal 18 ayat 1 serta UU nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pasal 16 (d) yang pada pokoknya menyatakan dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak menjadi tanggungjawab bersama kedua orang tua.


4. BATAS WAKTU

Pasal 149 (b) KHI hanya memberikan batas waktu tiga bulan (masa iddah) bagi suami memberikan nafkah untuk istri setelah perceraian. Lalu bagaimana untuk bulan-bulan berikutnya, sementara istri tidak memiliki penghasilan ? Untuk kondisi demikian sangat dimungkinkan untuk menggunakan pasal 41 (c) yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Meski pasal ini tidak menentukan sampai kapan suami berkewajiban memberikan nafkah bagi mantan istrinya, tetapi bila kita mengacu pada Bab IV pasal 27 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka sesungguhnya hakim dapat menggali atau mengapresiasi pasal dari UU Perkawinan tersebut dengan mempertimbangkan bahwa nafkah bagi istri dapat diberikan selama istri tidak memiliki penghasilan lain atau belum menikah lagi.


5. BILA SUAMI TIDAK MELAKSANAKAN PUTUSAN PENGADILAN

Masalahnya, meski telah ada keputusan Pengadilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dalam praktek tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada para suami yang tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan keputusan Pengadilan tersebut. Bila ini terjadi maka langkah yang dapat Anda lakukan adalah:

Mengirim Surat Permohonan kepada Pengadilan
Anda bisa mengirimkan surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang memutuskan proses perceraian Anda, yang isinya mendesak Pengadilan agar mengeluarkan surat perintah eksekusi (pelaksanaan putusan). Apabila surat Anda tersebut telah diterima oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, maka pihak Pengadilan akan mengirimkan surat peringatan (Anmaanning) kepada mantan suami Anda untuk melaksanakan isi putusan Pengadilan. Bila surat peringatan pertama tidak dilaksanakan, Pengadilan akan mengeluarkan surat tersebut sampai tiga kali. Bila sampai ketiga kali mantan suami Anda belum juga melaksanakan isi putusan, maka Pengadilan akan melakukan upaya paksa.

Sunday, March 30, 2014

Masalah Harta Bersama (Harta Gono Gini) dalam Hukum

http://www.lbh-apik.or.id/fact%20-%20gono-gini.htm

Salah satu masalah hukum yang sering dihadapi oleh para isteri yang sedang menempuh proses perceraian atau sudah bercerai dengan suaminya adalah tidak adilnya pembagian harta bersama atau yang biasa juga disebut harta gono-gini. Jika Anda salah satu dari sekian banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam putusan pembagian harta bersama, Anda dapat mengetahui upaya apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk mengupayakan pembagian harta yang lebih adil melalui lembar info ini.


Pengertian Harta Bersama

Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari harta bersama.


Apa saja harta yang tidak termasuk harta bersama?

Menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan demikian, pada dasarnya, harta bawaan suami tetap menjadi milik suami dan harta bawaan istri tetap menjadi milik istri. Selain itu, mahar, warisan, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta bersama.


Ketidakadilan Pembagian Harta Bersama

Seringkali pihak isteri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam pembagian harta bersama. Ketidakadilan ini terkait dengan masalah pembakuan peran suami isteri dalam Undang-Undang No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. UUP juga telah menempatkan isteri sebatas pengelola rumah tangga (domestik) dengan aturan yang mewajibkan isteri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dampaknya, banyak isteri yang tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari nafkah sendiri sehingga tidak bisa mengolah ketrampilan yang dimilikinya untuk memperoleh penghasilan. Dalam hal ini, para isteri mengalami ketergantungan ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Isteri yang telah "dirumahkan" tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara ekonomi. Beban isteri pun semakin berat jika dalam perkawinan sudah lahir anak-anak yang menjadi tanggungannya.

Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda yang memberatkan pihak isteri. Kadang kala isteri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah utama) dan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan isteri saja,umumnya enggan melakukan pekerjaan rumah tangga meski isterinya sejak pagi bekerja di luar rumah.
Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari harta bersama karena tidak sedikit isteri yang berkontribusi lebih besar daripada suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur secara proporsional dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing pihak. Misalnya dalam kasus perselisihan harta bersama antara ibu Nina (bukan nama sebenarnya) dan suaminya. Ibu Nina memilih untuk membagi harta bersama melalui pembuatan kesepakatan bersama dengan suaminya. Sebelumnya, dibuat daftar harta bersama yang dimiliki oleh Ibu Nina dan suami selama perkawinan. Dalam kesepakatan tersebut, baik Ibu Nina maupun suami memperoleh bagian harta sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak.
Namun, penting untuk diingat bahwa dalam membuat kesepakatan Anda harus dalam keadaan bebas dari segala tekanan, intimidasi dan ancaman.

Jika Anda tidak mendapatkan kesepakatan yang adil, sedikitnya Anda memperoleh separuh bagian harta bersama sesuai hukum yang berlaku.


Hal yang dapat Anda lakukan untuk menghindari percampuran harta karena perkawinan

Jika Anda tidak menghendaki harta kekayaan yang Anda peroleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama, Anda harus membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan ,diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagian harta bersama jika terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang anda peroleh dan harta suami terpisah sama sekali.


Membuat perjanjian perkawinan adalah hal yang penting untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.

Dalam perjanjian perkawinan juga dapat diatur ketentuan bahwa jika terjadi perceraian (termasuk cerai karena kematian), Anda berhak mendapatkan prosentase lebih dari separuh bagian apabila Anda tidak bekerja,dilarang bekerja, menanggung beban ganda, menanggung beban perwalian anak,mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sebagainya. Jika Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda dapat melakukan musyawah mengenai besarnya pembagian harta bersama yang akan Anda terima.

Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi disahkan oleh notaris dan dicatatkan dalam lembaga pencatatan perkawinan. Pada saat perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan. Bagi yang beragama Islam, perjanjian perkawinan dicatatkan di KUA dan bagi yang beragama non Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.


Cara mengajukan gugatan pembagian harta bersama

Bagi yang beragama Islam, gugatan harta bersama dapat diajukan ke Pengadilan Agama bersamaan dengan gugatan perceraian atau dapat juga diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Anda dapat memilih prosedur mana yang sesuai dengan kepentingan Anda. Perlu Anda ketahui, jika pasangan Anda setuju bercerai tetapi tidak setuju dengan pembagian harta bersama, putusan cerai Anda bisa terhambat. Jadi, jika Anda menghendaki putusan cerai segera dilaksanakan maka sebaiknya Anda mengajukan gugatan pembagian harta bersama setelah adanya putusan cerai. Namun, jika Anda ingin menghemat biaya peradilan dan sudah ada kesepakatan pasangan suami–isteri untuk bercerai maka gugatan pembagian harta bersama sebaiknya diajukan bersamaan dengan pengajuan gugatan perceraian.
Pengadilan Agama berwenang memutuskan pembagian harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang pasangannya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Sementara, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, gugatan harta bersama baru dapat diajukan setelah adanya putusan perceraian ke Pengadilan Negeri terkait.

Jika Anda tidak puas dengan putusan harta bersama yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, Anda dapat mengajukan upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 hari sejak Anda mengetahui atau menerima putusan Pengadilan tingkat pertama.


Permasalahan yang sering dihadapi perempuan ketika mengajukan gugatan harta bersama dan cara mengatasinya

1. Harta yang diperoleh dalam perkawinan biasanya dibeli atas nama suami dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta pun disimpan oleh suami.

Solusi: Walaupun harta atas nama suami, hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang harus Anda lakukan adalah membuat foto kopi setiap dokumen yang berkaitan dengan harta bersama.
2. Sering kali isteri tidak tahu bahwa pembuktian merupakan hal penting dalam berperkara untuk dapat memperoleh hak atas harta bersama.

Solusi: Jika Anda ingin mengajukan gugatan cerai dan harta bersama, sebaiknya Anda mengumpulkan semua bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta bersama seperti sertifikat kepemilikan rumah, tanah, mobil dan kekayaan keluarga lainnya. Ini penting agar pada saat menggugat harta bersama isteri tidak mengalami kesulitan pada tahap pembuktian.
Apabila suami tidak mempunyai itikad baik untuk membagi harta bersama, sebaiknya jangan memberitahu suami kalau Anda berniat untuk mengajukan gugatan cerai dan harta bersama karena membuka kemungkinan suami "mengamankan" atau menyembunyikan dokumen-dokumen tersebut.

3. Jika Anda belum juga memiliki dokumen-dokumen yang diperlukan padahal Anda sudah ingin mengajukan gugat cerai, maka Anda mesti secepat mungkin menguasai secara fisik harta benda atau kekayaan yang bisa Anda kuasai. Hal ini penting dilakukan sebagai strategi agar pihak suami yang mengajukan gugatan harta bersama sehingga beban pembuktian ada di pihak suami.

Upaya yang dapat ditempuh jika suami menguasai harta bersama

Jika Suami tidak mau memberikan bagian harta bersama, berikut hal-hal yang dapat dilakukan oleh pihak isteri :

1. Melakukan upaya musyawarah atau mediasi dengan pihak suami untuk mencari titik temu dan membuat kesepakatan.

Dalam melakukan musyawarah dengan pihak suami, pihak isteri harus memperhitungkan biaya kehidupannya dan anak-anak serta kemampuannya untuk menanggung biaya-biaya atau pengeluaran dikemudian hari. Meskipun Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda tetap dapat melakukan musyawah mengenai besarnya pembagian harta bersama yang Anda terima yang akan dituangkan dalam perjanjian atau kesepakatan bersama. Jika selama perkawinan isteri tidak bekerja, dilarang bekerja, memiliki ketergantungan secara ekonomi pada suaminya maka isteri sebaiknya mengupayakan mendapat lebih dari separoh (seperdua) harta bersama atau sedikitnya separoh harta bersama. Dalam kondisi pihak isteri menanggung beban biaya menghidupi anak-anak, isteri mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), isteri bekerja sebagai pencari nafkah utama atau harta kekayaan diperoleh dari jerih payah isteri maka pihak isteri sangat dianjurkan untuk mengupayakan mendapat bagian lebih besar dari separoh harta bersama.

2. Tetap mempertahankan harta bagiannya dari harta bersama meskipun pihak suami melakukan teror dan intimidasi dan secepat mungkin mengajukan gugatan pembagian harta bersama.

3. Jika terjadi kekerasan atau ancaman kekerasan dari pihak suami, maka isteri harus secepat mungkin melaporkan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dialami ke kantor polisi terdekat. Anda juga dapat menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terdekat atau LBH APIK di Jakarta dan daerah.

Bagaimana jika pihak suami tidak mematuhi putusan Pengadilan tentang pembagian Harta bersama? Upaya yang dapat Anda dapat tempuh adalah:

1. Melakukan upaya musyarawah dengan pihak suami dan jika diperlukan melibatkan pihak keluarga suami atau isteri dalam musyawarah tersebut;

2. Mengajukan upaya eksekusi putusan harta bersama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap ke Pengadilan yang berwenang.


Saturday, February 22, 2014

Penurunan Angka Kematian Ibu adalah Bentuk Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi

Oleh: Titiana Adinda [1]



          Persoalan angka kematian ibu (AKI)  adalah masalah besar lainnya yang dihadapi oleh perempuan Indonesia selain persoalan kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan perkosaan. Padahal angka kematian ibu berkaitan erat dengan hak atas kesehatan termasuk kesehatan reproduksi.  Hal tersebut sangat berpotensi dalam melanggar hak asasi manusia yaitu hak ekonomi, sosial, dan dimana pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvesi hak ekonomi, sosial dan budaya dari tahun 2005.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yaitu SDKI-2012  menyebutkan, sepanjang periode 2007-2012 kasus kematian ibu melonjak cukup tajam. Diketahui, pada 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 359 per 100 ribu penduduk atau meningkat sekitar 57 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada 2007, yang hanya sebesar 228 per 100 ribu penduduk.
Dalam literatur demografi, AKI merupakan indikator yang menunjukkan banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup (BKKBN, 2011).
Ditengarai masih tingginya AKI disebabkan buruknya kualitas kesehatan ibu di negeri ini. Hal ini berhubungan erat dengan ketiadaan atau kurangnya akses terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan yang merupakan persoalan yang terjadi Indonesia.

Penyebab Angka Kematian Ibu Tinggi
Menurut Bank Dunia (2006), ada empat alasan sebagai penyebab rendahnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang. Alasan tersebut adalah:
Pertama, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan. Hal ini mengakibatkan ibu hamil tak memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengatur kehamilan mereka.
Kedua, dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan. Ibu hamil boleh jadi mengetahui dan memiliki kesadaran tentang pentingnya mendatangi pusat-pusat pelayanan kesehatan—misalnya puskesmas—namun urung melakukannya karena tak mendapat izin dari suami.
Ketiga, ketiadaan fasilitas kesehatan. Ini merupakan persoalan yang jamak terjadi di Tanah Air, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang sulit diakses karena keterbatasan infrastruktur.
Keempat adalah aspek-aspek non-teknis seperti adat-istiadat atau budaya. Misalnya, ibu hamil merasa enggan untuk ditangani oleh dokter atau tenaga kesehatan yang berjenis kelamin laki-laki.

Kewajiban Negara
          Menyadari bahwa hak kesehatan dan reproduksi merupakan perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya maka masyarakat harus mengawal pemerintah dalam pemenuhan hak kesehatan dan reproduksi tersebut dengan mengupayakan penurunan angka kematian ibu. 
          Selama ini pemerintah berkelit dengan dalih keterbatasan kemampuan untuk memenuhi hak-hak ekosob masyarakat. DPR juga harus mendorong arah kebijakan yang menuju pemenuhan hak ekosob. Misalnya, selama ini anggaran yang dialokasikan untuk bidang kesehatan di bawah lima persen. Dalam hal ini, DPR dapat mengarahkan agar alokasi anggaran untuk kesehatan reproduksi mencukupi.
Terkait hak kesehatan reproduksi, Komnas HAM menyoroti ketidakmampuan pemerintah memenuhi target Millennium Development Goals (MDGs) yakni mengurangi jumlah kematian ibu melahirkan. Menurutnya, ketidakmampuan itu menunjukan minimnya kemauan politik pemerintah dalam memenuhi hak kesehatan reproduksi. 
Jadi jelas pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah tekad yang sungguh-sungguh dalam mengurangi angka kematian ibu dengan langkah yang komprehensif. Diantaranya wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur kesehatan untuk ibu hamil, melakukan upaya perubahan kebudayaan yang menempatkan ibu hamil menjadi skala prioritas yang hars diperhatikan kondisi kesehatannya. Juga sosialisasi dan penyadaran masyarakat tentang kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki sehingga ibu hamil tidak dilarang untuk memeriksakan kondisi kesehatannya ke fasilitas kesehatan yang tersedia. Dan juga secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan wawasan bahwa memeriksakan kesehatan adalah tindakan yang sangat penting untuk ibu-ibu hamil.

******









[1] Penulis adalah administrative officer di Our Voice Indonesia

Tuesday, January 28, 2014

NARASI RORO MENDUT: DEKONSTRUKSI MITOS SEKSUALITAS, KEPERAWANAN DAN PERKOSAAN



Oleh: Dewi Candraningrum*

Sebagai seorang gadis rampasan, Roro Mendut menolak dijadikan selir kesekian dari Panglima Besar Mataram. Sebagai gadis pantai, Roro Mendut terlalu berani menolak kemapanan dan kehidupan yang nyaman. Dia adalah perlambang dari sebuah kemandirian perempuan yang tiada takut pada kepapaan, kemiskinan, bahkan kelaparan. Dia adalah perempuan yang tak gentar mengatakan tidak. Tak gentar melawan represi sistemik patriarki yang menjebloskan dia ke dalam penjara keputren demi ritual seks para pemiliknya.

Tak ragu memilih dan meminang lelakinya sendiri. Tak gamang menghapus mitos keperawanan yang terlalu dipuja teman-teman sebayanya. Tak takut melawan tindak perkosaan yang sewaktu-waktu mengintai. Dia mengendalikan sendiri seksualitasnya. Dia tak takut mengendarai tubuhnya. Dia mengklaim hampir seluruh petak-petak tubuhnya. Dia adalah sebuah narasi yang meruntuhkan mitos patriarki, yang pernah dimiliki Indonesia sejak abad ke-17. Yang pelan terkubur. Dan kemudian narasinya tak diingat kembali.

Pronocitro berbisik tak habis heran, “Terpilih oleh istana, bukankah itu anugerah impian setiap gadis rakyat?”
“Terpilih? Mas Prono, saya selalu iri hati pada lelaki. Mereka dapat memilih”.
“Memilih atau memaksakan kehendak?”

Mendut tersenyum. Ada yang ingin ia katakan tetapi ragu-ragu. Akhirnya, mata terkatup ia berbisik, “Pronocitro, aku orang terus terang. Kau tidak marah aku memilihmu?”
(Mangunwijaya, 1983:320-1)

Sebagai cerita rakyat klasik yang merupakan bagian dalam Babad Tanah Jawi dengan menggunakan teks Jawa Kuno, kisah ini pada pandangan pertama, tampak seperti sebuah tragedi cinta seorang perempuan dari Kadipaten Pati, pada seorang laki-laki, yang kemudian menjadi gagal karena menjadi selir rampasan pada era Sultan Agung, Kasultanan Mataram Jawa. Dengan latar pergundikan Jawa pada saat itu, tak urung Adipati Pragola dari Pati dan Tumenggung Wiraguna, tak ada yang tak kepencut dan kepengin menjadikannya konkubin.

Bukan Roro Mendut, jika tak berhasil mematahkan hati laki-laki. Semuanya tertolak, dengan rasa malu yang telak. Wiroguno yang tertolak menghisap musuhnya tersebut dengan meminta setoran pajak tinggi. Sejak saat itulah, Mendut memaksimalkan caranya menelikung patriarki. Mengeksploitasi seluruh daya cantiknya, dengan ludahnya, menjilati lintingan rokok-rokok dagangannya, dan menjualnya dengan harga fantastis. Pada kali kedua, dia tidak terkalahkan. Menekuk kuasa patriarki sampai benar-benar tunduk pada ludahnya. Pada bibirnya.

Kita perlu berterima kasih pada YB Mangunwijaya yang telah mendokumentasikan rokok lintingnya ini dalam sebuah novel trilogi sejarah yang ditulis dari tahun 1983 sd 1987 dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama: Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri. Erotisme dinarasikan dalam wajah verbal yang tidak vulgar, tetapi penuh keberanian, keberingasan dan humor. Sebagai salah satu pusaka nusantara, Roro Mendut merupakan cikal bakal bagi eksplorasi industri rokok abad ke-21 ini dalam menjual dan mengeksploitasi citra perempuan. Meskipun citra laki-laki tangguh, cool, dan keren lebih banyak menghiasi iklan audio-visual, tetapi erotisme perempuan yang takluk kepadanya, masih dapat dijumpai dalam banyak iklan rokok.

Apa yang terjadi lebih dari tiga ratus tahun lalu, sekarang direpresentasikan secara terjungkal. Perempuan yang mandiri dan menolak bantuan lelaki tak lagi bisa dijumpai dalam banyak iklan. Hampir seluruh iklan yang memasang wajah perempuan, kebanyakan, menarasikan, mereka yang submisif dan manut. Manut pada produk pemutih. Manut pada produk susu. Manut pada produk mi cepat saji. Manut pada produk-produk kosmetik. Dan lain-lain. Perempuan-perempuan dalam iklan adalah perempuan-perempuan yang tenggelam dan ditenggelamkan kapital. Perempuan yang manut pada rasa takut! Para perempuan tak lagi mendut.

Mendut dalam bahasa Jawa adalah mengambang, menggelombang. Dia tidak tenggelam. Tidak menenggelamkan dan ditenggelamkan. Dia mengombak tabah. Dia mengatasi apa-apa yang di bawahnya, apa-apa yang di atasnya. Demikian pemilik nama sang Roro yang tak bisa ditenggelamkan oleh seorang Panglima Tentara. Dia adalah narasi yang meruntuhkan keperawanan sebagai “naskah segala” bagi perempuan. Keperawanan hanyalah mitos yang diperbaharui untuk menakut-nakuti anak-anak perempuan. Dari mitos keperawanan ini, seluruh rasa takut anak-anak perempuan diterbitkan, dicetak-ulang, dan diperjualbelikan dalam unit-unit keluarga dan institusi-institusi pendidikan dari tingkat usia dini hingga universitas.

Banyak sekali anak-anak perempuan yang menjadi korban perkosaan menjadi takut, ditakuti, menakuti, penakut, karena menganggap bahwa dirinya telah kehilangan seluruh dokumen diri yang paling berharga. Roro Mendut, sedari dini, sudah mengajari: “Jika engkau diperkosa, engkau hanya terluka sedikit saja. Dan kehormatanmu, harga dirimu, jati dirimu, masih utuh. Engkau bukan perempuan bekas. Engkau perempuan utuh. Engkau tidak perlu takut. Engkau adalah mendut”.

Solo, 17 Maret 2013

*Aktivis Perempuan Dan Dosen Universitas Muhammadiyah Solo