http://www.lbh-apik.or.id/fact%20-%20nafkah%20istri%20dan%20anak.htm
HAK NAFKAH
BAGI ISTRI dan ANAK
Masalah suami yang tidak
mau memberikan nafkah pada keluarga banyak terjadi di sebagian
masyarakat kita. Bagi istri atau ibu yang tidak mempunyai
penghasilan, hal ini tentu sangat memberatkan karena harus
menanggung biaya perawatan dan pendidikan anak-anaknya.
Secara normatif, hukum di
Indonesia, —khususnya mengenai hak nafkah bagi istri dan anak, baik
dalam masa perkawinan maupun setelah perceraian—, dapat dikatakan
sudah cukup melindungi kepentingan perempuan. Pasal 34 ayat 1 UU
Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa: Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup
berumahtangga sesuai dengan kemampuannya. Ini berarti bahwa suami
berkewajiban penuh memberikan nafkah bagi keluarganya (anak dan
istri).
Ketentuan ini merupakan
konsekwensi dari ketentuan yang menetapkan suami sebagai kepala
keluarga dan istri sebagai ibu rumahtangga serta pengurus
rumahtangga sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 31 ayat 3.
Sebenarnya, bila kita tilik lebih jauh, pembagian peran seperti ini
akan menimbulkan ketergantungan secara ekonomi bagi pihak perempuan
(istri). Akibat lebih jauhnya, perempuan (istri) tidak memiliki "akses
ekonomi" yang sama dengan suami dimana istri tidak memiliki kekuatan
untuk memaksa suami memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya.
Sehingga seringkali suami memberi nafkah sesuka hatinya saja.
1. NAFKAH UNTUK KELUARGA DALAM MASA
PERKAWINAN
Menurut ketentuan pasal 34 ayat 1 UU
Perkawinan, baik nafkah istri maupun anak, adalah menjadi tanggung
jawab suami atau ayah anak-anak. Tetapi dari beberapa kasus yang
ditangani LBH APIK, istri yang diberi tanggungjawab mengatur semua
kebutuhan keluarga terkadang sangat sulit mendapatkan hak nafkah
dari suaminya, baik karena kemiskinan mereka maupun karena sikap
suami yang menjadikan nafkah sebagai alat untuk menegaskan
kekuasaannya sebagai suami. Akibatnya, banyak kaum isteri terpaksa
dihadapkan pada suatu situasi yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya khususnya bagi mereka yang tidak pernah bekerja. Pada
situasi dimana suami meninggalkan keluarga begitu saja tanpa ada
kabar berita, situasinya semakin sulit karena disamping tidak ada
kejelasan tentang status perkawinannya, suami tidak dapat lagi
ditemui atau dilacak tempat tinggalnya.
2. BAGAIMANA BILA INI TERJADI PADA ANDA?
Sayangnya tidak ada sebuah institusi
sosialpun yang dapat menolong keadaan ini. Biasanya para istri minta
bantuan keluarga -- baik keluarga suami maupun keluarga istri
sendiri -- namun tentu saja hal ini tidak dapat diandalkan sebagai
sebuah penyelesaian yang tuntas atas masalah ini. Namun demikian
anda dapat menempuh cara-cara berikut ini:
a. Meminta bantuan Badan Penasihat
Perselisihan Perkawinan
Meski seringkali tidak memuaskan karena
cenderung memberikan nasihat yang bias gender dan tidak memiliki
daya implementasi dan pemberian sanksi apa-apa kecuali memberi
nasihat, namun badan inilah yang secara resmi bertanggungjawab untuk
masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan.
b. Meminta bantuan kepada instansi tempat
suami bekerja
Cara ini bisa Anda lakukan dengan membuat
surat permohonan yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan/instansi
tempat suami Anda bekerja. Sebutkan juga, sudah berapa lama suami
Anda tidak memberikan nafkah kepada keluarga, sementara Anda sendiri
tidak bekerja atau anda bekerja tapi tidak dapat mencukupi kebutuhan
pendidikan dan penghidupan anak-anak termasuk perawatan kesehatannya.
c. Melakukan Upaya Hukum
Jika jalan musyawarah seperti diatas tidak
membawa hasil, Anda dapat melakukan upaya hukum baik ke Pengadilan
Negeri (bagi yang non muslim) maupun ke Pengadilan Agama (bagi yang
muslim). Pasal 34 ayat 3 UU Perkawinan menyatakan bahwa jika suami
atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan.
Selain itu Anda juga dapat mengadukan
secara pidana berdasarkan ketentuan pasal 304 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengancam hukuman maksimal dua tahun
delapan bulan bagi pihak yang sengaja menempatkan atau membiarkan
seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu. Untuk mengurus proses
ini Anda bisa meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum atau pengacara
terdekat.
3. HAK NAFKAH DALAM MASA PASCA PERCERAIAN
Pasal 41 UU Perkawinan menentukan bahwa
akibat putusnya perkawinan suami tetap memiliki kewajiban memberikan
nafkah kepada anak-anaknya. Ketentuan ini juga dipertegas oleh pasal
105 (c) Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian pasal 41 (b) UU
Perkawinan juga menyatakan bahwa bila Bapak dalam kenyataanya tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa
ibu ikut memikul biaya tersebut. Prinsip ini diperkuat oleh
Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi
Hak Anak pasal 18 ayat 1 serta UU nomor 7 tahun 1984 tentang
ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan pasal 16 (d) yang pada pokoknya menyatakan dalam
urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak menjadi
tanggungjawab bersama kedua orang tua.
4. BATAS WAKTU
Pasal 149 (b) KHI hanya memberikan batas
waktu tiga bulan (masa iddah) bagi suami memberikan nafkah untuk
istri setelah perceraian. Lalu bagaimana untuk bulan-bulan
berikutnya, sementara istri tidak memiliki penghasilan ? Untuk
kondisi demikian sangat dimungkinkan untuk menggunakan pasal 41 (c)
yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi bekas istri. Meski pasal ini tidak menentukan sampai kapan
suami berkewajiban memberikan nafkah bagi mantan istrinya, tetapi
bila kita mengacu pada Bab IV pasal 27 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka sesungguhnya hakim dapat menggali
atau mengapresiasi pasal dari UU Perkawinan tersebut dengan
mempertimbangkan bahwa nafkah bagi istri dapat diberikan selama
istri tidak memiliki penghasilan lain atau belum menikah lagi.
5. BILA SUAMI TIDAK MELAKSANAKAN PUTUSAN
PENGADILAN
Masalahnya, meski telah ada keputusan
Pengadilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dalam
praktek tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada para suami
yang tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan keputusan Pengadilan
tersebut. Bila ini terjadi maka langkah yang dapat Anda lakukan
adalah:
Mengirim Surat Permohonan kepada
Pengadilan
Anda bisa mengirimkan surat yang ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang memutuskan
proses perceraian Anda, yang isinya mendesak Pengadilan agar
mengeluarkan surat perintah eksekusi (pelaksanaan putusan). Apabila
surat Anda tersebut telah diterima oleh Pengadilan Agama atau
Pengadilan Negeri, maka pihak Pengadilan akan mengirimkan surat
peringatan (Anmaanning) kepada mantan suami Anda untuk
melaksanakan isi putusan Pengadilan. Bila surat peringatan pertama
tidak dilaksanakan, Pengadilan akan mengeluarkan surat tersebut
sampai tiga kali. Bila sampai ketiga kali mantan suami Anda belum
juga melaksanakan isi putusan, maka Pengadilan akan melakukan upaya
paksa.