Sunday, September 30, 2012

YANG DIRENDAHKAN: SASTRA TENTANG TUBUH


Oleh: Hendri Yulius*

Eve Ensler, sang penggagas teater “The Vagina Monologue“ bertema seksualitas perempuan ini mengaku dengan jujur, mementaskannya untuk publik dibayangi ketakutan akibat ketabuan akan seks ini berhasil diterabasnya. Sebab seksualitas perempuan tak pernah hadir secara apa adanya. Ia selalu diikuti dengan beban moral dan stereotipe ‘perempuan jalang’ (bitch) ketika seksualitas itu dimunculkan ke ruang publik yang merupakan buah dari budaya patriarki. .
Erica Jong, penulis perempuan keturunan Yahudi pada tahun 70-an lewat novel trilogi karyanya yang berjudul “Fear of Flying”, menceritakan pengalaman perempuan yang telah berumah tangga untuk berpetualang untuk menemukan jati dirinya secara seksual dan menemukan kenikmatan orgasmik yang selama ini begitu dirindukannya.
Ada juga Wei Hui dari Cina yang lewat novelnya berjudul “Shanghai Baby” berkisah tentang gadis muda bernama Coco yang memiliki kekasih impoten yang membuatnya akhirnya berselingkuh dengan lelaki keturunan Barat. Perselingkuhan ini menimbulkan pertanyaan tentang cinta dan pengkhianatan.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, Ayu Utami lewat Novelnya Saman pertama kali bicara seks menuai hujatan dan argumen berbasis moralitas sempit menggeser pokok novel Ayu yang sebenarnya bicara tentang kompleksitas seksualitas manusia, ketimpangan gender, hingga carut-marut politik Orde Baru dan mereduksinya menjadi seolah karya yang bicara seks dengan vulgar.
Mengapa karya sastra perempuan yang bicara seks selalu ditempatkan dalam ranah sekunder, bahkan seringkali direduksi menjadi karya pornois? Tak bisa tidak, kita harus melihat isu moralitas yang sering digunakan untuk menghakimi karya perempuan. Moralitas yang hadir dalam kekuasaan budaya patriarkis bergerak dalam moda dikotomi antara aktif (lelaki) dan pasif (perempuan). Perempuan ditempatkan dalam wilayah pasif dan domestik yang membuatnya harus tunduk dan diam terhadap seksualitasnya.
Pandangan seksis ini mendapat justifikasi dari esai Sigmund Freud yang berjudul “Feminity”. Dia berargumen bahwa seorang gadis lebih bergantung dan kurang agresif. Lanjutnya, perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, hanya karena tidak memiliki penis.
Oleh karenanya, perempuan yang dianggap aktif dan menantang seksualitas akan dianggap sebagai ‘perempuan jalang’ karena telah melanggar batasan norma ini. Sementara, lelaki tidak. Inilah yang dinamakan kekerasan simbolik yang diterakan lewat hinaan dan pembentukan stereotipe.
Griselda Pollock menulis bahwa citra perempuan selalu mencerminkan makna yang berasal dari tempat lain, yakni struktur sosial. Tentu, struktur sosial ini belum pernah bisa dilepaskan dari kekuasaan budaya patriarkis yang membungkam seksualitas perempuan. Oleh karena itu, tulisan yang merupakan arena pertarungan makna simbolik harus dapat direbut. Karya sastra merupakan arena yang dapat digunakan untuk merebut subjektivitasnya dan meleburkan batasan dikotomi aktif/pasif dan moral/amoral itu.
Pemikir feminis Perancis, Helene Cixous berpendapat bahwa dengan menulis, perempuan dapat menerabas batas dikotomi dan melakukan transformasi budaya. Bukanlah nalar berbasis moralitas dikotomis yang seharusnya dijadikan landasan menulis, tetapi hasrat. Hasrat yang membebaskan.
*Penulis Buku “3-Some”


Friday, September 28, 2012

Diam - Potret