Thursday, March 4, 2010

Menggugat Kebijakan dan Pengadaan Fasilitas Umum untuk Difabel




Menggugat Kebijakan dan Pengadaan
Fasilitas Umum untuk Difabel
Oleh: Titiana Adinda (*

Istilah Difabel (difabel) digunakan sebagai pengganti istilah penyandang cacat yang terkesan negatif dan diskriminatif. Difabel sendiri berasal dari kata different ability. Yang berarti manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah itu jelas lebih manusiawi. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan.

Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.

Definisi di atas tak jauh berbeda dengan definisi dalam Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) yang menegaskan difabel adalah any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities.

Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa difabel merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap difabel berhak memperoleh : (1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi difabel anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Menurut data Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2000, prevalensi difabel di Indonesia mencapai 1,46 juta penduduk atau sekitar 0,74 % dari total penduduk Indonesia (197 juta jiwa) pada tahun itu. Presentase difabel di daerah pedesaan adalah sebesar 0,83 % lebih tinggi dibanding dengan persentase di daerah perkotaan sebanyak 0,63 %. Data tersebut tampak kontras dengan estimasi yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang memprediksi bahwa satu dari 10 orang Indonesia adalah difabel. Temuan SUSENAS tersebut juga dianggap terlalu kecil bila dibandingkan dengan hasil quick survey WHO tahun 1979, yang menyimpulkan bahwa prevalensi difabel di Indonesia mencapai 3,11 persen.
Sebagai warga negara yang baik, kita wajib mempertanyakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan jaminan kesejahteraan dan aksesibilitas bagi difabel ini. Untuk menilai apakah pemerintah sudah menjalankan amanat hati nurani rakyat atau belum khususnya kepada difabel. Alat ukurnya kita bisa menilainya dari ketersediaan peraturan dan pelaksanaan peraturan tersebut. Salah satunya adalah masalah aksesibilitas bagi difabel terhadap fasilitas publik. Ketersediaan aksesibiltas bagi difabel haruslah tersedia di fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, terminal, bandara, tempat beribadah, pasar, gedung perkantoran serta lainnya.

Menurut publikasi Country Study Report pada tahun 2005, salah satu penyebab kenapa persoalan rehabilitasi sosial dan aksesibilitas para difabel di Indonesia penuh keterbatasan karena hanya tersedia 0,5 persen dari total anggaran nasional bagi rehabilitasi dan aksesibilitas bagi difabel.


Aksesibilitas Difabel

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 ayat 4 disebutkan "Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan."

Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1997 sudah sangat jelas bahwa aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan

Hal tersebut diperjelas dalam Pasal 10 ayat 2 yang berbunyi, "Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat."

Sejalan dengan itu, yang dimaksud dengan aksesibilitas fisik adalah lingkungan fisik yang oleh difabel agar dapat dihampiri, dimasuki atau dilewati, dan dapat digunakan wilayah dan fasilitas yang terdapat di dalamnya tanpa bantuan. Dalam pengertian yang lebih luas, aksesibilitas fisik mencakup akses terhadap berbagai bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai fasilitas di luar ruangan termasuk sarana rekreasi.

Memang dapat menimbulkan frustrasi bagi difabel dalam menghadapi kenyataan bahwa berbagai hambatan arsitektural di dalam bangunan-bangunan dan fasilitas-fasilitas yang disediakan bagi kepentingan umum ternyata tidak selalu mudah atau bahkan sering tidak memungkinkan bagi para difabel untuk berpartisipasi penuh dalam situasi normal, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan maupun rekreasi.

Beberapa contoh hambatan arsitektural adalah tidak adanya trotoar, permukaan jalan yang tidak rata, tepian jalan yang tinggi, lubang pintu yang terlalu sempit, lantai yang terlalu licin, tidak tersedianya tempat parkir yang sesuai, tidak tersedia lift, fasilitas sanitasi yang terlalu sempit, telepon umum yang terlalu tinggi, tangga yang tidak berpagar pengaman, jendela atau papan reklame yang menghalangi jalan, dan masih banyak lagi.

Hal-hal tersebut di atas menjadi masalah bagi difabel dari jenis dan derajat kecacatan tertentu sehingga mereka tidak dapat merealisasikan kesamaan haknya sebagai warga masyarakat. Sesungguhnya para difabel tidak mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih banyak hak daripada orang-orang pada umumnya. Mereka hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas kemampuannya.

Tersedianya bangunan dan fasilitas yang dapat diakses oleh semua orang merupakan persoalan kesamaan kesempatan dan keadilan sosial. Akses terhadap fasilitas-fasilitas umum merupakan hak, bukan pilihan semata. Lebih dari itu, penataan lingkungan yang sesuai dengan kaidah aksesibilitas akan juga memberikan lebih banyak kenyamanan bagi warga masyarakat pada umumnya.


Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) menegaskan bahwa difabel berhak untuk memperoleh upaya-upaya (dari pihak lain) yang memudahkan mereka untuk menjadi mandiri/ tidak tergantung pada pihak lain. Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan sosial, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi sosial mereka.

Selanjutnya, pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas melalui (1) menetapkan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik, dan (2) melakukan upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi.

Untuk mewujudkan langkah tersebut, negara harus melakukan tindakan-tindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik difabel, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan menjamin akses terhadap perumahan, gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya.

Kemudian, negara juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi, dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan akses para difabel dan para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap difabel. Untuk keperluan tersebut, difabel harus dilbatkan dalam proses konsultasi perencanaan bangunan.

Setidaknya aksesibilitas memiliki setidaknya empat azas yaitu: Pertama, azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Kedua azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. Ketiga azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk difabel. Keempat azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Hambatan terhadap Aksesibilitas

Hambatan arsitektural mempengaruhi tiga kategori, yaitu:
1. Kecacatan fisik, yang mencakup mereka yang menggunakan kursi roda, semi-ambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu kesulitan gerak otot;
2. Kecacatan sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra dan tunarungu;
3. Kecacatan intelektual (tunagrahita).


Hambatan Arsitektural bagi Pengguna Kursi Roda

A. Hambatan yang dihadapi oleh para pengguna kursi roda sebagai akibat dari desain arsitektural saat ini mencakup:
1. Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit.
2. Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar.
3. Tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja atau wastapel.
4. Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu semit
5. Permukaan jalan yang renjul (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda.
6. Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka.
7. Tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya.

B. Hambatan yang Dihadapi Penyandang Semi-ambulant
Semi-ambulant adalah tunadaksa yang mengalami kesulitan berjalan tetapi tidak memerlukan kursi roda. Hambatan arsitektural yang mereka hadapi antara lain mencakup:
1. Tangga yang terlalu tinggi.
2. Lantai yang terlalu licin.
3. Bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis.
4. Pintu lift yang menutup terlalu cepat.
5. Tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.

C. Hambatan Arsitektural bagi Tunanetra
Yang dimaksud dengan tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat membaca tulisan biasa meskipun sudah dibantu dengan kaca mata.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi para tunanetra sebagai akibat dari desain arsitektural selama ini antara lain:
1. Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat.
2. Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki.
3. Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup.
4. Lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai.

D. Hambatan bagi Tunarungu
Para tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya.

E. Hambatan bagi Tunagrahita
Para tunagrahita yang memiliki masalah dengan keintelektualannya akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.

Aksesibilitas berikutnya adalah akses terhadap informasi dan komunikasi. Para difabel harus mendapatkan akses terhadap informasi yang leluasa tentang diagnosa, hak-hak, dan pelayanan yang mereka terima pada semua tingkatan. Informasi-informasi tersebut harus dihadirkan dalam format yang dapat diakses oleh difabel seperti misalnya dalam format huruf braille, pengeras suara, huruf dicetak besar, penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign language) ataupun dalam bentuk lainnya yang ramah terhadap tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, ataupun difabel bentuk lainnya.

Disamping itu, negara memiliki kewajiban untuk juga menjamin bahwa media massa, utamanya televisi, radio, dan koran, dapat menghadirkan layanan media yang ramah difabel. Termasuk dalam hal ini adalah layanan informasi publik via komputer haruslah juga dapat diakses oleh difabel.

Peraturan yang Mengatur Aksesibilitas

Setidaknya sampai saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa landasan hukum untuk difabel tentang kesejahteraan penyandang cacat dan penyediaan aksesibilitas di Indonesia yaitu UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah RI No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan,dan beberapa peraturan lainnya.

Dalam UU No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dalam pasal 10 dinyatakan tentang aksesibiltas disebutkan bahwa pada pasal 2 penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat hidup bermasyarakat sedangkan pada pasal 3 nya disebutkan penyediaan aksesibilitas yang dimaksudkan pada pasal (1) dan pasal (2) diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat dan di lakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Jelas sekali amanat dari undang-undang tersebut bahwa pemerintah dan atau masyarakat wajib menyelenggarakan aksesibilitas terhadap difabel. Hal tersebut juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah bahkan keputusan menteri pekerjaan umum.

Lalu bagaimana pelaksanaannya?

Kita bisa menyaksikan sendiri bahwa amat jarang fasilitas publik dikota-kota besar apalagi kota-kota kecil contohnya di Jakarta dan Surabaya seperti tempat ibadah, bank, rumah makan, sekolah, mal/plaza dan lainnya yang menyediakan jalan atau bidang miring bagi pengguna kursi roda. Semuanya beranak tangga. Lalu bagaimana orang yang menggunakan kursi roda bisa mengakses gedung tersebut?

Seperti menurut M.Ridwan Kamil, dosen arsitektur ITB bahwa setidaknya sebuah kota harus dapat secara komprehensif menyediakan aturan-aturan yang diterapkan ke dalam beberapa sektor. Pertama adalah menghilangkan diskriminasi di sektor employment atau tempat kerja/kantor. Kedua adalah hak aksesibilitas di sektor public service atau sarana publik seperti kantor pemerintah, sekolah, kantor pos, terminal maupun stasiun kereta. Ketiga adalah hak aksesibilitas di sektor public acommodation seperti halnya hotel, restoran, toko-toko. Terakhir adalah sektor sarana telekomunikasi yang diwajibkan untuk menyediakan sistem khusus bagi tunarungu dan tunawicara. (Kompas, Rabu, 7 Juni 2000).

Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menunjuk pelapor khusus untuk masalah difabel ini. Yang memberikan masukan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa dalam program kerjanya dan untuk menghapuskan diskriminasi sosial pada difabel. Sekretaris Jenderal PBB dalam sambutannya di Hari International Penyandang Cacat tahun lalu mengatakan bahwa negara-negara anggota harus memberikan kesempatan yang sama bagi difabel baik di bidang pekerjaan, pendidikan, kesehatan, informasi dan mendapatkan hak aksesibilitas.

Pendidikan arsitekur di perguruan tinggi seharusnya sudah wajib mengajarkan mata kuliah tentang bagaimana penyediaan aksesibilitas bagi difabel. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa sudah semua perguruan tinggi mewajibkan mata kuliah tentang bangunan yang aksesibilitasnya bisa dinikmati oleh difabel. Tapi mengapa pada pelaksanaannya amat jarang sekali bangunan fasilitas publik dilengkapi oleh sarana yang dapat diakses oleh difabel. Ambil contoh gedung-gedung perkantoran di sepanjang jalan Jenderal Sudirman, Jalan Thamrin ataupun Rasuna Said dilengkapi oleh fasilitas bagi pengguna kursi roda.

Contohnya adalah gedung Menara Duta di Jl.Rasuna Said yang memiliki jalan masuk gedung dengan anak tangga yang banyak sekali, tanpa dilengkapi oleh bidang miring. Lalu bagaimana jika pengguna kursi roda ingin masuk ke gedung tersebut?

Jadi percuma saja mata kuliah di perguruan tinggi arsitektur di Indonesia dipelajari tetapi tidak diimplementasikan dalam karya nyata. Peran pemerintah disini sangat penting untuk melakukan pengawasan bagi pembangunan gedung-gedung tinggi tersebut agar dilengkapi oleh fasilitas bagi difabel.

Peran Pemerintah, DPR dan Masyarakat
Pemerintah sudah sewajarnya peduli kepada difabel ini. Karena sama dengan warga negara lain Difabel juga membayar pajak sehingga wajib untuk menikmati hasil-hasil pembangunan. Sudah sewajarnya ada sinergi diantara kementerian. Misalnya kerjasama antara Menteri Kesejahteraan Sosial,Menteri Sosial, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Kesehatan, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Agama serta Menteri Pendidikan Nasional. Misalnya saja untuk Menteri Riset dan Teknologi mampu menciptakan tekhnologi kursi roda yang dapat digerakkan oleh listrik. Sehingga penggunanya dapat dengan sendiri menjalankan kursi roda tersebut. Serta pada kementerian Pekerjaan Umum dan Pemukiman dan Prasarana Wilayah bisa memawijabkan dan membangun fasilitas umum yang ramah terhadap difabel.

Bahkan dalam pidatonya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Cacat International 2005 menginstruksikan kepada para gubernur di Indonesia untuk menyediakan fasilitas yang memadai bagi difabel. Tapi sampai kini tidak ada perubahan yang signifikan terhadap kepentingan difabel. Setelah waktu berselang selama 4 tahun tidak ada perubahan yang berarti dalam pelaksanannya bahwa fasilitas publik harus ramah terhadap difabel.

Pada peringatan Hari Penyandang Cacat 2009. Lagi-lagi pemerintah hanya bisa berjanji akan menyediakan aksesibilitas penyandang cacat. Bahkan wakil presiden Boediono sampai menitikkan air mata ketika berhadapan dengan difabel dalam peringatan tersebut. Jelaslah yang dibutuhkan difabel bukan hanya air mata dan janji-janji tetapi sebuah realisasi dari peraturan yang ada bahwa fasilitas publik harus dapat diakses oleh diffable.

Menteri Agama bisa mengeluarkan instruksi kepada masyarakat dalam membangun rumah ibadah haruslah dapat diakses oleh difabel misalnya dengan menyediakan jalan khusus bagi kursi roda. Jangan lagi kita membaca kesulitan-kesulitan yang dialami oleh Bahrul Fuad dan teman-temannya yang kebetulan difabel ketika akan menunaikan ibadah shalat di Masjid Agung Surabaya yang tidak menyediakan jalan khusus bagi kursi roda (Cerita selengkapnya dapat dibaca di internet dengan alamat http://cakfu.info).

Pada pemerintah daerah juga amat dinantikan kesungguhannya untuk melaksanakan aksesibilitas bagi difabel ini. Seperti janji yang diberikan Fauzi Bowo selaku gubernur DKI Jakarta pada workshop “Aksesibilitas bagi Difabel” pada Jakarta, 10 Oktober 2009 dengan mengatakan bahwa pemerintah daerah DKI Jakarta akan mempersulit izin pembangunan gedung pemerintah maupun swasta yang tidak memiliki akses bagi difabel.

Sejak ditetapkan Tahun Internasional Penyandang Cacat tahun 1981 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Pemerintah RI, maka Pemprov DKI Jakarta telah menerbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 66/1981 tentang Ketentuan Penyediaan Sarana/Perlengkapan bagi Penyandang Cacat pada Bangunan-Bangunan Fasilitas Umum, Pusat Pertokoan/Perkantoran dan Perumahan Flat.

Dikatakan oleh Fauzi Bowo bahwa sebagai implementasi aspek fisik, kita telah meimliki regulasi yang mensyaratkan pada bangunan umum dan lingkungan dalam Perda No 7/1991 tentang Bangunan Dalam Wilayah DKI Jakarta pada pasal 107 yang saat ini sedang direvisi.

Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, diharapkan dapat menjadi kewajiban bagi setiap bangunan fasilitas umum, pusat pertokoan, perkantoran, dan perumahan flat (rusun), apartemen untuk menyediakan aksesibilitas bagi orang dengan kemampuan berbeda.

Kemudian ditetapkan UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat dan peraturan pelaksanaannya, serta Undang-Undang No 28/2002 tentang bangunan Gedung dan PP No 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 28/2002 tentang Bangunan dan Gedung, sebagai dasar hukum bagi Pemprov DKI Jakarta untuk revisi Perda 7/1991, maka penyediaan aksesibilitas bagi difabel merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh IMB (izin mendirikan bangunan).
Sebelumnya gubernur Jawa-Timur Dr. H Soekarwo berjanji akan membenahi fasilitas-fasilitas umum yang ada pada beberapa titik agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik pada para difabel. Hal ini dikatakan setelah mendapat kritikan dari para difabel saat acara halal bi halal di Gedung Grahadi, Senin (28/9). Menurutnya, memberikan akses pada penyandang cacat merupakan bagian dari pelayanan publik.
Kita lihat saja apakah janji gubernur ini hanya omong kosong saja atau benar-benar terlaksana. Pelaksanaan peraturan aksesibilitas pada difabel terlalu lemah pada pelaksanaan dan pengawasannya. Hal itu mungkin terjadi karena tidak adanya sangsi hukum bagi pihak-pihak yang tidak menyediakan aksesibilitas bagi difabel.
Peran DPR juga amat dibutuhkan untuk menanyakan implementasi landasan hukum yang dibuat oleh pemerintah. Apakah sudah berjalan dengan baik atau belum? Jangan hanya diam saja. Ingat bahwa difabel juga memberikan suaranya untuk memilih para wakil di DPR ketika pemilu, jadi jangan lupakan kepentingan mereka. Peran masyarakat untuk difabel juga penting. Misalnya mulai dari sekarang para pemuka agama dari agama apapun dalam ceramahnya menggangkat isu bahwa memberi perhatian dan fasilitas khusus kepada difabel adalah perbuatan terpuji dan sangat berpahala. Ini penting mengingat peran tokoh agama di negeri ini sangatlah didengarkan oleh pengikutnya.
Begitu juga dengan perkumpulan profesi seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) hendaknya mengeluarkan sikap yang tegas bahwa dalam rancangan bangunan anggotanya selalu memperhatikan fasilitas bagi difabel. Dan apabila ada anggotanya yang melanggar ketentuan itu maka dapat dikenai sanksi.

Jika ingin menjadi bangsa yang lebih manusiawi dengan memperhatikan hak-hak difabel yang berarti kita telah mengamalkan Sila dalam Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Kita wajib mempertanyakan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan jaminan kesejahteraan bagi para difabel ini.

Sudah waktunya kita memikirkan penyediaan aksesibilitas tersebut sebagai bentuk pengakuan kita akan hak-hak difabel. Apalagi Indonesia telah juga meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya tahun 2005 yang bersama-sama dengan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah bentuk pengakuan dan jaminan Negara terhadap hak-hak difabel.


Daftar Pustaka:
Makalah Aksesibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang Cacat, Didi Tarsidi, pada seminar Hari International Penyandang Cacat Jawa-Barat, 1998
Anonim, Survey Sosial Ekonomi, Biro Pusat Statistik, 2000
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=917
http://republika.co.id/koran/14/93409/Air_Mata_untuk_Hak_Penyandang_Cacat
http://cakfu.info
http://www.jatimprov.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5438&Itemid=2
http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=BeritaDaerah&op=detail_berita_daerah&id=988

(* Titiana Adinda, seorang penulis aktif yang sudah beberapa buah tulisan artikel dan buku dengan tema-tema menarik. Ia juga salah satu pendiri Indonesia Media Watch.

3 comments:

Mahesapandu said...

tulisane bagus tapi panjang bgt..

Salam kenal, jgn lupa mampir ke blogku..

Titiana Adinda said...

He..He.. Itu buat sebuah jurnal sih, jdnya panjang deh :) Ok aku akan mampir, thx bgt...

felicity said...

Bagus banget artikelnya...

Sayang di Indonesia kesadaran tentang hak2x kaum diffabel masih sangat rendah.

Di sini toilet, pintu masuk, lift, tempat parkir khusus bagi mereka sudah disediakan dimana2x bahkan di lokasi terpencil.

Jadi inget dulu salah satu INGO di Aceh membangun sekolah yang menyediakan toilet khusus buat kaum diffabel. Ternyata... sang kontraktor tidak memahami maksudnya.... Alhasil, toilet dibuat, tapi jalan/jalur kursi roda nggak ada sama sekali...

Sebuah PR panjang untuk dikerjakan...