Wednesday, April 1, 2009

[Resensi Buku] Biarkan Aku Memilih




[Resensi Buku] Biarkan Aku Memilih

RESENSI BUKU
>> minggu, 2009 maret 29

Nestapa “Gay” di Negeri Syariat

Judul Buku : Biarkan Aku Memilih; Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out
Penulis : Hartoyo dan Titiana Adinda
Halaman : 134 halaman + xxx
Penerbit : Elex Media Komputindo (Gramedia Group)
Terbit : Februari 2009

Oleh
Murizal Hamzah

Tujuh polisi menghajar dua pemuda tanpa ampun. Belum puas, anggota Polisi Sektor Banda Raya, Banda Aceh, memaksa pemuda itu mencopot semua baju dan celana. Seorang polisi menodongkan senjata laras panjang ke anus pemuda itu. Kemudian seorang pemuda dipaksa memegang penis rekannya hingga ereksi. Tiga puluh menit kemudian, pukul 02.00 WIB, mereka digiring ke halaman Markas Polisi Sektor (Mapolsek) dengan berjongkok. Lalu dimandikan dengan selang air. Ketika seorang pemuda ingin buang air kecil, polisi meminta dia untuk kencing di atas kepala rekannya. “Proses itu berlangsung selama 15 menit. Aku sangat marah, tapi tidak bisa mampu berbuat apa-apa,” tulis Hartoyo dalam buku bersampul putih ini. (hlm. 84-85).

Apa kesalahan dua pemuda itu? Dalam buku inilah Toyo--panggilan akrab Hartoyo-- memaparkan secara ringkas kisah dirinya, seorang gay yang tinggal di negeri syariat. Tragedi penyiksaan ini diawali pada malam 23 Januari 2007 di Banda Aceh. Kala itu, pria dari Binjai Sumatera Utara ini sedang asyik memadu kasih di kosnya dengan pasangannya Bobby (nama samaran), warga Aceh. Warga menangkap mereka di lantai dua Kedai Kopi Pesona di Lamlagang Banda Aceh.

Dalam sekejap, pukulan bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuh gay ini. Mereka dianggap telah mencemarkan desa tersebut. Kemudian, warga bingung, mau dibawa ke mana dua gay ini? Jika diusung ke Kantor Waliyatul Hisbah alias polisi syariat--lembaga ini hanya ada di Aceh--warga khawatir esok nama desa ini masuk koran dan ini sama artinya mendatangkan aib. Akhirnya, polisi dipanggil untuk menjemput Toyo dan Bobby.
“Gay” Sejak SD

Di lembaga pengayom masyarakat inilah, dua gay itu kembali disiksa. Esok paginya, mereka dibebaskan setelah penggiat kemanusiaan datang. Seminggu kemudian, setelah didukung oleh berbagai lembaga pembela HAM, perempuan di Jakarta dan Aceh, Toyo yang bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Banda Aceh pascatsunami 2005 ini melapor balik kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 8 Oktober 2008 melakukan persidangan dengan empat terdakwa anggota polisi. Vonis hakim, pelaku dihukum tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan serta denda Rp 1.000. Pelaku tidak harus menjalani hukuman di penjara karena dihukum percobaan.

Dari kasus ini juga, Toyo memahami ada teman-temannya di lembaga kemanusiaan yang tetap mendukung dia atau menceramahinya. Padahal, sebagai lembaga kemanusiaan, mereka harus menghargai berbagai perbedaan, termasuk memilih menjadi gay. Karena itu, dia mempertanyakan lembaga-lembaga kemanusiaan di Aceh yang mengesampingkan isu penyiksaan dirinya karena berkaitan dengan seksualitas. Apakah seorang gay tidak layak untuk hidup aman di bumi Serambi Mekah?

Tak diragukan lagi, Toyo merupakan gay sejati. Sejak kecil hingga kini, dia senang dengan laki-laki. Masa kecil dilalui dengan sukacita sekaligus pada masa itu juga dia merasakan diri sebagai gay. Ketika kelas 5 SD, dia menawarkan saudaranya untuk dipijit. Toyo kecil tidak paham, mengapa dirinya senang mengamati pria bugil. Hingga jari Toyo pun meremas-reman penis saudaranya, menciumnya. Anehnya, saudaranya, membiarkan aksi itu. Sejak itulah, rasa suka dengan laki-laki terus dirasakan dan semakin besar (hlm 8).

Inspirasi bagi Keluarga
Menyimak lembaran demi lembaran, termasuk empat halaman berwarna foto Toyo di berbagai daerah, pembaca diberi kebebasan untuk memahami cara pikir dan bertindak seorang gay. Dalam pengantar penulis, secara terus terang pengalaman ini disampaikan bukan untuk mencari “pembenaran” dan meminta belas kasihan orang. Apalagi mengajak orang lain memilih menjadi gay.

Penulis mengakui, buku yang mengisahkan pengalaman hidup seorang gay dari sisi kemanusiaan selama ini belum banyak diterbitkan. Toyo menuturkan, menjadi gay adalah sebuah pilihan kejujuran hidup. “Buku ini menjadi inspirasi bagi keluarga yang mulai tahu bahwa ada anggota keluarganya yang menjadi bagian kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan quee (LGBTIQ). Bagaimana bersikap manusiawi terhadap anggota keluarga,” tulis Toyo yang menghabiskan masa kuliah selama lima tahun di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Sejatinya, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui dunia gay, termasuk juga di Aceh yang membentuk komunitas sendiri. Yang sangat menakutkan bagi seorang homeseksual adalah keluar dari persembunyian dan memproklamasikan kepada publik bahwa dirinya adalah gay. Dalam hal ini, Toyo telah memperlihatkan diri bahwa Indonesia tidak hanya memiliki keragaman suku bangsa, agama, budaya, tapi juga keragaman seksual. Dan tentu saja, semua orang bisa tinggal di seluruh pelosok Bumi Ibu Pertiwi ini. n

1 comment:

Creative People said...

kalau mau pesen buku ini gi mana ?????? aku ada di malang .... harga plus ongkir berapa ?