Ada pihak keberatan dengan wawancaraku di The Jakarta Post dan Republika
Rupanya ada pihak yang keberatan dengan wawancaraku di The Jakarta Post dan Republika. Mereka tidak merasa memecatku dan merasa membayarkan pesangonku. Padahal kisah aslinya adalah aku mesti berjuang dulu selama 15 bulan baru aku diberi pesangon. Menyiksa bukan 15 bulan menunggu? Padahal ketika itu aku sedang sakit parah. Untung masih kusimpan sms-sms dan email rayuan agar aku tidak mengugat mereka. Walaupun aku akhirnya mendapatkan pesangon itu karena aku berani menguggat mereka. Itupun aku mengunakan jasa pengacara. Tak tahu bagaimana ceritanya kalau aku berjuang sendirian. Untunglah ada kawan pengacara yang berbaik hati mau menolongku. Aku benar-benar sakit parah ketika itu.
Memang rasanya sakit sekali bagai teriris hati ini. Aku bahkan belum bisa melupakan peristiwa itu. Meskipun setiap hari aku berdo’a kepada Tuhan agar segera bisa melupakan peristiwa yang panjang dan melelahkan tersebut. Aku heran dengan pandangan mereka kepadaku. Sehingga perspektif kemanusiaan melihat kawannya sedang sakit keras tidak ada sedikitpun rasa kasihan. Padahal aku tidak masuk kerja karena tidak ingin menularkan sakitku yang menular ini kepada mereka. Tidakkah mereka mengetahuinya kalau penyakit yang aku idap ini menular?
Sudahlah semua sudah masa lalu, aku ingin sekali melupakannya tetapi tidak untuk memaafkannya. Biar nanti di pengadilan Tuhan semuanya akan jelas terlihat siapa yang menjadi korban sesungguhnya.
Kini aku bahagia dengan hidupku, walaupun bayang-bayang masa lalu masih menghantuiku. Tetapi aku telah terlahir menjadi orang baru. Aku sedang berusaha melupakan peristiwa paling menyakitkan dalam hidupku. Do’akan aku...
2 comments:
Amin. mengaminkan doa dinda. dalam hidup ini memang harus berjuang, tidak ada yang mudah.
sayang bunda buat dinda
Terima kasih mbak untuk do'amu mbak. Semoga aku cepat pulih seperti sediakala. Amin
Post a Comment